Oleh: Defri Cahyo Husain
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Website Manggala 2021-2022
Sewaktu kecil, saya sering diajarkan bahwa puasa itu menahan lapar dan haus—entah ini adalah definisi yang sengaja disederhanakan agar mampu dipahami oleh masyarakat awam, dan tentu sebagian besar dari kita juga diajarkan demikian. Saya tidak sepenuhnya membenarkan pemahaman itu, begitu pun sebaliknya. Hanya saja, konsepsi kita terhadap puasa sepertinya perlu kita benahi lagi.
Konsep dasar dari puasa sebenarnya bisa kita artikan menahan diri dari hawa nafsu. Namun, dalam proses memantik pengalaman kesadaran kita terhadap konsep utuh atau falsafah dari realitas puasa, saya merasa tertarik membahasnya melalui perspektif Abu Hamid Muhammad ibn Muhammad al-Ghazali, atau sering dikenal dengan sebutan Imam Al-Ghazali.
Dalam kitabnya “Ihya’ Ulum al-Din”, Imam Al-Ghazali membahas panjang lebar perihal puasa pada bab “Asrar al-Shiyam” (Rahasia Puasa). Dari bab tersebut, ada dua poin penting menurut saya, yang bisa memudahkan kita memahami falsafah dari realitas puasa.
Dialektika antara Keimanan dan Kesabaran
Menurut Imam Al-Ghazali, puasa itu seperempat iman. Hal ini merupakan bentuk silogisme dari dua sabda Nabi Muhammad Saw. Hadis pertama menyebutkan bahwa puasa adalah sebagian dari kesabaran; kedua menyatakan bahwa sabar adalah sebagian dari keimanan. Dari dua premis itu, bisa kita tarik satu konklusi sebagaimana pendapat menurut Imam Al-Ghazali tadi.
Dua hadis tersebut sebenarnya tidak hanya menunjukkan posisi puasa dalam iman, tetapi juga menghubungkan antara puasa, keimanan, dan kesabaran. Sehingga dapat saya katakan, puasa itu adalah dialektika antara keimanan dan kesabaran.
Berdasarkan keterangan ini, sabar menjadi inti utama realitas puasa. Baik sabar dalam menahan diri dari nafsu lahir maupun batin, keduanya merupakan ujian yang sangat berat, sekaligus juga menjadi barometer kualitas keimanan seseorang.
Sabar itu hakikatnya ada dua: Sabar dari, dan Sabar untuk. Kebanyakan orang memahami konsep sabar hanya sebatas “Sabar dari”, yaitu bersabar atas segala sesuatu yang menimpanya. Sedangkan “Sabar untuk” yang juga dimaknai dengan kata istikamah—yakni bersabar untuk selalu dan kontinu dalam melakukan suatu perkara ibadah—sering kali luput dalam pemahaman kita.
Oleh karena itu, dalam praktek puasa menurut Imam Al-Ghazali ini, kita tidak hanya sekadar bersabar menahan diri dari hawa nafsu, tetapi juga harus bersabar untuk terus istikamah melaksanakan segala bentuk perintah Allah Swt. dan menjauhi larangan-Nya, agar keimanan kita terus meningkat sepanjang kita berpuasa.
Puasa Ibarat Masjid al-Haram
Jika dibandingkan dengan ibadah lain, puasa diibaratkan seperti Masjid al-Haram dengan masjid-masjid yang lain. Pada hakikatnya, semua masjid itu adalah rumah Allah Swt., tapi yang secara langsung diberi gelar dengan “Baitullah/Rumah Allah” hanyalah Masjid al-Haram. Begitu pun dengan puasa, Allah Swt. mengistimewakan ibadah ini dibanding ibadah-ibadah yang lain.
Menurut Imam Al-Ghazali, ada dua variabel maknawi yang hanya dimiliki oleh ibadah puasa: Pertama, di dalam puasa ada rahasia. Jika kita melakukan ibadah lain, seperti Shalat, Zakat, Haji, dan lain-lain itu bisa secara jelas dan tampak oleh seluruh makhluk ciptaan-Nya kalau kita sedang melaksanakannya. Berbeda dengan puasa, verifikasi pastinya hanya diri sendiri dan Allah Swt. yang tahu.
Puasa adalah ibadah yang sifatnya subjektif, tidak ada satu pun orang yang bisa menilainya. Sekalipun bibir seseorang tampak kering, atau napasnya cukup bau—layaknya ciri-ciri orang berpuasa pada umumnya, hal itu tidak bisa menjamin kalau dia sedang berpuasa atau tidak, bisa jadi dia sedang terkena penyakit sariawan atau mungkin suatu makanan yang dimakan membuat mulutnya bau.
Rasulullah Saw. pernah bersabda terkait keistimewaan puasa dibanding ibadah yang lain:
كلُّ عملِ ابنِ آدمَ يُضاعفُ ؛ الحسنةُ بعشرِ أمثالِها ، إلى سَبْعِمائةِ ضِعفٍ ، قال اللهُ تعالى :إِلَّا الصَّوْمَ ؛ فإنَّه لِي ، وأنا أجزي به
“Setiap amal perbuatan anak cucu Adam itu akan dilipatgandakan; (amal) kebaikan (dibalas) dengan sepuluh sampai tujuh ratus kali lipat. Allah Swt. berkata: kecuali Puasa; karena puasa itu untukku, dan aku yang akan membalasnya (sendiri) ….” (HR. Bukhari)
Kedua, puasa adalah ibadah yang secara terang-terangan menantang setan. Ketika ibadah lain—seperti yang saya sebutkan di atas—hanya secara inplisit melawan bisikan setan, puasa adalah satu-satunya ibadah yang secara terang-terangan menantang setan, khususnya setan yang ada dalam diri kita, yaitu hawa nafsu.
Ibaratnya, setan itu sebenarnya tidak berdaya jika tidak kompatibel dengan dimensi rohani manusia, kitanya saja yang tidak pernah memikirkan kompatibelitas itu, makanya setan selalu cocok dengan diri kita. Dan ini merupakan penjelasan konkret mengenai hadis yang mengatakan bahwa setan akan terbelenggu di bulan suci Ramadan.
Sederhananya, analogi kata terbelenggu itu bukan secara harfiah diikat dengan rantai atau semacamnya, melainkan secara otomatis terbelenggu karena harusnya jiwa orang-orang yang berpuasa itu tidak kompatibel dengan situasi setan dan kesetanannya, dikarenakan yang ada dalam pikirannya bisa jadi hanya perihal lapar dan bagaimana nantinya dia akan menghilangkan lapar itu di waktu Magrib tiba.
Ada satu hadis yang turut dikutip juga oleh Imam al-Ghazali dalam kitabnya itu, yang menguatkan penjabaran saya di atas. Nabi Muhammad Saw. bersabda, “Sesungguhnya setan itu berjalan dalam diri anak cucu Adam lewat jalan darah. Maka sempitkanlah jalannya setan itu dengan kamu lapar (puasa).” (Muttafaq ‘Alaih)
Makna “Sempitkan” dalam hadis tersebut bukan berarti menghilangkan, sebab peluang setan bisa masuk itu tetap akan ada. Namun, logikanya dengan kita merasa lapar dalam keadaan berpuasa, potensi kita akan memikirkan hal lain itu kecil, karena kita hanya akan terpikirkan dengan apa yang sedang kita hadapi, yaitu kelaparan.
Oleh karena itu, anggapan yang telah tertanam di kepala kita sejak kecil, bahwa puasa itu hanya sebatas menahan lapar dan haus, menurut saya masih kurang tepat. Lebih dari itu, realitas puasa justru sangat mendalam sebagaimana falsafah puasa menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya yang terkenal itu. Allahua’lam bi al-Shawwab.