Esai  

Kematian Nabi Muhammad Saw; Kisah dan Hakikatnya

Ilustrasi Nabi Muhammad Saw. (Sumber: muslim.okezone.com)
Ilustrasi Nabi Muhammad Saw. (Sumber: muslim.okezone.com)

Oleh: Dzakir Muhamad Yafi Ali Qomar

Penulis adalah Direktur Layouter dan Desainer Majalah Manggala 2020-2021

Islam telah menjadi mercusuar peradaban sejak berabad-abad lamanya, dan menjadi inspirasi bagi semua umat manusia. Peradaban Islam bermula ketika agama Islam diturunkan ke dunia melalui Nabi Muhammad Saw. Sejak itulah peradaban Islam lahir dan menancapkan diri dalam sejarah dunia. Nabi Muhammad Saw. membawa ajaran Islam dengan nilai-nilai yang telah disampaikan kepada manusia sepanjang masa kenabiannya, baik berupa kitab suci (Al-Qur’an) maupun melalui tingkah laku dan pentunjuk-petunjuk beliau.

Meskipun begitu, Nabi Muhammad Saw. mau bagaimana pun tetaplah seorang manusia yang suatu waktu pasti akan merasakan kematian. Setelah 23 tahun menempuh berbagai ujian dan cobaan dalam berdakwah, ketika dakwah telah sempurna dan Islam telah tersampaikan, tampaklah tanda-tanda perpisahan dari beliau.

Lantas, apa saja peristiwa yang terjadi menjelang kematian Nabi Muhammad Saw? Hikmah apa yang bisa kita ambil dari kematian beliau?

Sakaratul Maut; Derita Besar Rasulullah Saw.

Pada bulan Ramadan tahun ke-10 Hijriah, Nabi Muhammad Saw. ber-i’tikaf dua puluh hari lamanya; belum pernah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya. Biasanya beliau hanya ber-i’tikaf selama sepuluh hari saja, disertai Malaikat yang bertadarus bersama beliau sebanyak dua kali. Pada awal bulan Safar tahun ke-11 Hijriah beliau pergi menuju Bukit Uhud, kemudian melakukan shalat untuk para syuhada, sebagai ungkapan perpisahan bagi yang masih hidup dan telah wafat. (Shafiyurrahman Al-Mubarakfuri. al-Raheeq al-Makhtum)

Rasulullah Saw. mulai merasakan sakit pada akhir bulan tersebut. Ditengah perjalanan beliau menghadiri prosesi pemakaman salah seorang sahabat di Baqi, beliau merasakan pusing di kepalanya dan panas mulai merambat ke sekujur tubuhnya, sehingga para sahabat dapat merasakan panasnya dari sorban yang beliau pakai. Sesampainya di rumah istri beliau, Maimunah Ra., sakitnya bertambah berat hingga beliau tidak dapat keluar dari rumahnya. (Muhammad Al-Ghazali, Fiqih Sirah)

Esoknya, beliau pergi ke rumah Aisyah Ra. dibantu oleh al-Fadhl bin Abbas dan Ali bin Abi Thalib Ra.—berjalan dengan diapit oleh mereka di sisi kanan dan kiri. Kepalanya diikat menggunakan kain hingga sampai di kamar Aisyah Ra.

Ketika Fajar pada hari Senin tanggal 12 Rabiul Awal tahun 11 Hijriah telah masuk, dan orang-orang tengah shalat di belakang Abu Bakar Ra., tiba-tiba kain penutup yang melintang di kamar Aisyah Ra. Terbuka. Rasululllah Saw. pun muncul dari baliknya, sambil tersenyum memandang mereka yang tengah berbaris shalat.

Kemudian Abu Bakar Ra. mundur hendak memberi tempat kepada beliau, karena mengira beliau ingin melaksankaan shalat, demikian pula kaum Muslimin, mereka nyaris menangguhkan shalat. Mereka hendak keluar shaf karena bergembira menyaksikan Rasulullah Saw. Akan tetapi beliau segera memberi isyarat dengan tangannya agar mereka melanjutkan shalat. Kemudian beliau masuk kamar lagi seraya melabuhkan kain penutup itu.

Karena mengira Rasulullah Saw. telah sembuh dari sakitnya, maka orang-orang bergegas meninggalkan masjid setelah menunaikan shalat. Ternyata, itu adalah pandangan perpisahan beliau kepada para sahabatnya. Rasulullah Saw. kembali ke kamar Aisyah lalu berbaring seraya menyandarkan kepalanya di dada Aisyah, menghadapi sakratul maut.

Kala itu, Aisyah berkata: “Saat itu di hadapan beliau terdapat bejana berisi air. Beliau kemudian mengusapkannya ke wajah seraya berkata,La Ilaha Illallah, sesungguhnya kematian itu punya sekarat.’” Ketika menyaksikan hal tersebut, Fatimah Ra. berucap: “Alangkah berat penderitaan Ayah!” Tetapi beliau menjawab: “Sesudah hari ini, ayahmu tidak akan menderita lagi.”

Selain itu, Aisyah Ra. juga bercerita: “Sesungguhnya Allah Swt. telah menghimpun antara ludahku dan ludahnya pada saat kematian beliau. Ketika aku sedang memangku Rasulullah Saw., tiba-tiba Abdur Rahman masuk seraya membawa siwak. Aku lihat Rasulullah Saw. terus memandangnya sehingga aku tahu kalau beliau menginginkan siwak. Aku bertanya, ‘Kuambilkan untukmu?’ Setelah memberi isyarat ‘Ya’, kuberikan siwak itu kepada beliau.

“Karena siwak itu terlalu keras, kutawarkan untuk melunakkannya, dan beliau pun memberi isyarat setuju. Kemudian beliau memasukkan kedua tangannya ke dalam bejana berisi air yang ada di hadapannya lalu mengusap wajahnya seraya berucap, ‘La Ilaha Illallah, sesungguhnya kematian punya sekarat.’

“Kemudian beliau mengangkat tangannya seraya berucap, ‘Fir Rafiqil A‘laa’ sampai beliau wafat dan tangannya lunglai.” (Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi, Fiqih al-Sirah al-Nabawiyah Ma’a Mujazin Litarikhi al- Khilafah al-Rasyidah)

Hakikat Akhir Kehidupan Rasulullah Saw.

Peristiwa-peristiwa bagian akhir dari kehidupan Rasulullah Saw. ini mengungkapkan hal terbesar dalam kehidupan ini: hakikat yang menjadi pangkal kehancuran para tiran dan orang-orang yang mempertuhankan dirinya, mengantarkan wujud ini kepada kefanaan, mewarnai seluruh kehidupan manusia ini dengan warna ubudiyah dan ketundukkan kepada pencipta langit dan bumi, serta memberi kesadaran (baik secara suka atau terpaksa) kepada orang-orang yang membangkang maupun orang-orang yang taat, para penguasa, para Nabi dan Rasul, serta orang-orang kaya dan orang-orang fakir.

Ajal adalah hakikat yang selalu ada di sepanjang zaman dan setiap tempat, di telinga semua orang yang mendengar dan di benak setiap orang yang berpikir, bahwa tidak ada Tuhan kecuali hanya Allah Swt. semata, tidak ada kedaulatan kecuali bagi Yang Maha Kekal Abadi, tidak ada siapa pun atau apa pun yang dapat menolak keputusan-Nya, tiada batas bagi kekuasaan-Nya, tiada tempat lari dari hukum-Nya, dan tidak ada yang dapat mengalahkan urusan-Nya.

Tidak ada hakikat yang bisa mengungkapkan makna tersebut selain daripada kematian dan sakaratul maut, karena denngan kedua fenomena itu Allah menundukkan segenap penduduk dunia ini semenjak fajar kehidupan sampai terbenamnya.

Jembatan dunia ini telah banyak dilewati oleh orang-orang yang tertipu oleh kekuatan yang digenggamnya atau penemuan-penemuan yang didapatkannya. Tetapi tiba-tiba mereka dihempaskan oleh hakikat terbesar ini ke dalam padang ubudiyah terhadap Pencipta langit dan bumi. Mereka pada akhirnya menghadap kepada Allah Swt. sebagai hamba dengan penuh ketundukan.

Setiap jiwa pasti akan mengalami kematian. Hukum ini berlaku secara umum, tanpa pengecualian. Tidak ada yang mampu menghentikannya. Walaupun para pakar Ilmu Sains dan Teknologi terhimpun menjadi satu, mengerahkan seluruh kemampuan dan peralatan modern mereka untuk menangkal dan menghindarkan diri dari kekuatan kematian, mereka tak akan mampu untuk menghentikan tantangan Ilahi ini sedikit pun.

Sangat mudah bagi Allah Swt. untuk menjadikan Rasul-Nya terbebas dari sakratul maut dengan segala penderitaannya, tetapi Hikmah Ilahiyah menghendaki bahwa ketentuan Allah Swt. ini berlaku bagi semua orang bagaimana pun kedudukannya di sisi-Nya, dengat begitu mereka mengetahui dengan baik bahwa segala yang ada di langit dan bumi ini pasti akan kembali pada-Nya.

Tidak ada seorang pun yang boleh menolaknya, bahkan Rasulullah Saw. sendiri juga tunduk kepada hukum dan ketentuan-Nya. Tidak boleh ada orang yang merasa tidak perlu memperbanyak mengingat kematian dan sakaratul maut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *