Esai, Opini  

Antara Cinta dan Wanita

Ilustrasi cinta dan wanita. (Sumber: Ilustrator Manggala)
Ilustrasi cinta dan wanita. (Sumber: Ilustrator Manggala)

Oleh: Muhammad Rifky Handadari Raharjo

Penulis adalah Kru Esai Website Manggala 2021-2022

Cinta, tak sedikit orang senang membicarakan hal tersebut. Masih sebuah pertanyaan sampai saat ini, mengapa kita senang membicarakan hal yang tak terdefinisikan itu? Untuk seorang lelaki seperti saya, tentu perihal cinta senantiasa disangkutpautkan dengan yang namanya wanita. Lantas pertanyaan kedua, apakah mereka terdefinisikan? Bukankah wanita adalah sosok yang memiliki jutaan keindahan dan anugerah yang tak dapat digambarkan, sebagaimana cinta?

Hampirilah kafe-kafe di selatan kota Jakarta, lantas kau akan menemukan sekumpulan pemuda-pemudi membicarakan cinta. Hadirilah acara reuni SMA orang tuamu, lantas kau akan mendapati candaan mengenai cinta pertamanya. Tak sampai di situ, singgahlah ke rumah sakit, lantas kau akan temui orang yang berjuang untuk kekasihnya. Terakhir, mampirlah kau ke kuburan, niscaya kau akan lihat orang kehilangan belahan jiwanya. Itulah hakikat manusia sebagai seorang pecinta, dan memang sudah kodratnya manusia diciptakan berpasang-pasangan sebagai sumber ketenangan hati. (Q.S. Al-Furqon: 74)

Lantas apa itu cinta? Memang benar bahwa tidak ada definisi pasti mengenai hal itu. Setiap pengertian yang dikemukakan pun tidak akan pernah bisa disetujui oleh semua orang, tidak seperti fakta 1+1=2 yang selalu disetujui oleh banyak orang. Namun setidaknya penulis akan merujuk kepada salah satu pendapat dari Imam Ibnu Qayyim perihal definisi cinta.

Di dalam kitabnya yang berjudul Raudhatul Muhibbīn, beliau menjelaskan beberapa definisi cinta. Pertama, “Al-mailu al-dāim bil qolbil hāim,” yang artinya kecenderungan yang selalu ada, dengan hati yang bingung atau gelisah. Dengan pengertian ini kita jadi memaklumi mengapa orang yang sedang mencintai selalu mencondongkan dan mengaitkan segala hal kepada yang dicintainya.

Kedua, “Itsārul mahbuub ‘ala jamī’i al-mashuub,” yang maknanya adalah memprioritaskan orang yang dicintai di atas semua orang yang kita sertai. Itulah mengapa orang yang sedang mencintai akan selalu menjadikan objek cintanya sebagai prioritas teratas. Tidaklah kepala keluarga mau bekerja dari pagi hingga larut malam kecuali demi memenuhi kebutuhan orang ia prioritaskan, yaitu keluarganya.

Itulah mengapa cinta sudah dikemas begitu sempurna dalam Agama Islam. Dengannya, segala sesuatu pasti terasa begitu indah, dan itu merupakan sebuah fitrah sebenarnya, bahwa setiap manusia dihiasi rasa cinta oleh Allah Swt. kepada setiap lawan jenisnya (Q.S. Ali Imran: 14). Dengan itu pula, Dia benar-benar menjaga segala keharmonisan, hak, bahkan martabat, baik dari pihak laki-laki maupun wanita.

Berbicara tentang cinta-sebagaimana yang telah saya singgung di atas-pasti disangkutpautkan dengan yang namanya wanita. Sebab cinta ini sebagai sebuah rasa, benar-benar dilindungi jika sudah tertanam di dalam sanubari sang kaum hawa tersebut. Saking Allah Swt. menjaga perasaan hamba-Nya itu, seorang wanita yang ditinggal mati atau cerai oleh suaminya tidak diperbolehkan langsung menikah sampai jangka waktu yang telah ditentukan (Q.S. Al-Baqarah: 234). Agar apa? Selain untuk menjauhi fitnah, juga menjaga perasaan wanita yang mungkin masih larut dalam kesedihan, sehingga mereka diberi waktu untuk sendiri terlebih dahulu.

Oleh karena itu, sudah terjawab mengapa Rasulullah Saw. begitu memuliakan wanita. Seorang ibu misalnya, beliau memuliakannya sebanyak tiga kali lipat dibanding ayah (HR. Bukhari no. 5971 dan HR. Muslim no. 2548). Kenapa? Karena ibu mampu melakukan tiga hal yang tidak mampu dilakukan ayah, yaitu mengandung, melahirkan, dan menyusui. Ibaratnya, seorang ibu-lah yang mendapat medali emas, perak, juga perunggu. Kemulian itu didapat tak lain dan tak bukan adalah karena dia seorang wanita.

Banyak sekali contoh-contoh wanita luar biasa yang patut kita contoh, seperti Sayidah Khadijah Ra. dan Sayidah Aisyah Ra. Menurut saya, menjadikan mereka sebagai role model di era modern ini sungguh masih sangat relevan dan tidak ketinggalan zaman. Mengapa? Karena warisan teladan yang diwariskan oleh mereka kepada kita semua akan senantiasa relatable dengan perkembangan zaman, dan arisan-warisan tersebut juga akan terjaga selamanya, baik melalui firman-Nya, sabda rasul-Nya, atau buku-buku sejarah yang ditulis para sejarawan yang dapat dipertanggungjawabkan.

Teladan pertama yang akan kita bahas adalah Sayidah Khadijah Ra., sosok wanita yang namanya terukir indah di hati Rasulullah Saw. Banyak sekali hal yang bisa dicontoh dari sosok beliau, salah satunya adalah kemahirannya dalam berdagang. Hal ini tentu sepaket dengan kepiawaiannya dalam mengelola uang, mencari relasi, dan memilih Sumber Daya Manusia (SDM) yang baik untuk dijadikan sebagai partner bisnis. Tentu saja, SDM terbaik yang pernah bekerja bersamanya adalah Rasulullah Saw. yang kelak menjadi suaminya.

Namun di samping itu semua, ada satu hal lagi yang tidak boleh luput dari perhatian kita, yaitu bagaimana sosok Sayidah Khadijah Ra. menggunakan harta kekayaannya untuk membantu dakwah Rasul, semuanya lillahita’ala. Beliaulah sosok role model businesswoman yang patut ditiru oleh para pemudi zaman ini.

Teladan kedua adalah Sayidah Aisyah Ra., putri dari Sayidina Abu Bakar As-Shiddiq Ra., sekaligus istri Rasulullah Saw. Di antara keistimewaan beliau yaitu kecerdasan dan kepintarannya yang sangat luar biasa. Selain itu, beliau juga hidup cukup lama bersama suaminya. Karena alasan itu pulalah beliau telah meriwayatkan lebih dari dua ribu hadis.

Tak mengherankan jika sosok Sayidah Aisyah Ra. sering menjadi tempat bertanya para sahabat mengenai berbagai masalah dalam agama ini. Contohnya bisa dilihat di Hadis Riwayat Muslim no. 1209. Beliau juga menjadi bukti bahwa agama ini tidak menghalangi hak-hak wanita dalam menuntut ilmu. Dengan melihat bagaimana sosok Istri Nabi Saw. itu, sudah sepatutnya para pemudi lebih sungguh-sungguh lagi dalam menuntut ilmu setinggi-tingginya, baik yang formal maupun nonformal.

Setelah kita mengambil teladan dari sosok-sosok luar biasa tersebut, harapannya adalah akan muncul Neo-Sayidah Khadijah dan Neo-Sayidah Aisyah, yang dapat menjadi pencerah peradaban ini. Mereka kompeten dalam permasalahan ilmu dunia, dan tidak dipandang sebelah mata dalam permasalahan ilmu akhirat. Keduanya seimbang, seperti dua buah sayap yang tak bisa berfungsi tanpa salah satunya.

Kesimpulannya, cinta dan wanita sebenarnya adalah dua hal yang tidak bisa kita pisahkan. Bahkan di dalam diri wanita ada nama Allah Swt., yaitu “Al-Rahīm” (rahim) yang artinya Yang Maha Penyayang. Hal itu juga senada dengan sifat naluri perempuan; penyayang dan memiliki hati yang lembut.

Ya, begitulah mereka; rumah yang sepi ketika diisi wanita shalehah, maka akan menjadi taman surga. Dengan kelembutan hatinya, mereka menjadi pendidik terbaik dalam berperilaku. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Hafez Ibrahim dalam syairnya, “Al-Ummu madrasatul ula, idza a’dadtaha a’dadta sya’ban thayyibal a’raq.” Artinya: Ibu adalah sekolah pertama bagi anaknya. Jika seorang ibu itu baik, maka baik pula anaknya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *