Esai, Opini  

Apakah Kau Jatuh Cinta Padaku, Atau Mencintai Imajinasimu Tentangku?

Jatuh Cinta

Pernahkah anda bertemu seseorang, lalu dalam sekejap anda merasa jatuh cinta kepadanya? Seperti kepada seorang wanita yang anda lihat duduk sendiri di sudut kafe dengan buku di tangannya. Atau kepada seseorang yang mungkin anda ketahui, tapi anda belum mengenalnya secara utuh. Kalau anda pernah merasakannya, mungkin tulisan ini dapat menjawab sesuatu yang mungkin tidak anda sadari. Mengenai jatuh cinta. Ini dapat menjadi menarik, sebab hal tersebut dapat menjadi penyebab paling serius dari patah hati.  Tapi kalau tidak anda tertarik dengan hal seperti ini: Silahkan tinggalkan tulisan saya, daripada membuang-buang waktu anda.

Proyeksi dalam Intuisi Manusia

Ada beberapa kepingan yang ingin saya jelaskan pada tulisan saya kali ini. Sejujurnya, persoalan ini muncul dari keresahan saya secara pribadi. Setiap kali melihat seseorang, tidak hanya wanita, imajinasi saya langsung bekerja “orang ini pasti kayak gini, orang itu pasti kayak gitu”. Setiap orang memiliki fungsi Intuisi di dalam dirinya, yang memungkinkan untuk menyambungkan pola dari apa yang sudah ia ketahui. Intuisi adalah salah satu kepingan yang ada di diri manusia, dan masih banyak kepingan-kepingan lain yang harus disadari manusia agar ia dapat menjadi manusia secara utuh (Wholeness, Carl Jung). Saya akan memulai ceramah saya dengan membicarakan “Proyeksi”.

Di dunia psikologi sendiri, term Proyeksi sudah maklum kita dengar. Term tersebut dicetuskan oleh Sigmund Freud ketika membahas Mekanisme Pertahanan bagi seseorang. Setidaknya, Proyeksi berfungsi untuk dua alasan: Pertahanan akan kecemasan, dan kedua berfungsi sebagai Self-Schema. Dan keduanya sama-sama berposisi sebagai sikap preventif bagi seseorang, agar sesuatu yang mengganggu di ketidaksadaran, tidak dapat naik dan menguasai kesadaran manusia.

Secara mudahnya, Proyeksi adalah sebuah gambaran yang anda munculkan di kepala anda, yang bersifat subjektif, mengenai isu atau sebuah objek, positif ataupun negatif. Penjelasan mengenai pemroyeksian paling mudah adalah ketika anda melihat seseorang yang mungkin anda sukai. Kepala anda secara otomatis memroyeksian banyak hal: orang ini pasti kayak gini atau kayak gitu. Kalau saya berpasangan dengan dia, pasti dia akan berbuat seperti ini ke saya atau seperti itu, serta gambaran-gambaran lainnya. Sisi positifnya adalah, anda mungkin terhindar dari kejahatan dengan menggunakan pertahanan ini.

Tempat pemroyeksian adalah pikiran. Sebab itu, pikiran manusia adalah dunia tersendiri, yang turut membangun jiwa manusia secara keseluruhan. Ketika sedang berjalan di malam hari, anda melihat kumpulan pria yang sedang merokok di atas kap mobil. Sebenarnya, anda ingin melalui jalan di mana pria-pria itu berada. Lalu tiba-tiba, anda mengurungkan niat anda, dan berbelok ke jalan lain meskipun jarak tempuhnya lebih jauh. Di sana pikiran bekerja memroyeksikan sesuatu “Nanti mereka akan menganggu saya.” Ketakutan itu muncul dan membuat anda mengambil keputusan “Lebih baik saya berbelok ke jalan lain.”

Pemroyeksian akan sesuatu selalu memberikan pilihan. Iya atau tidak, bukan benar atau salah. Keputusan akan selalu berada di tangan anda. Ketika pikiran anda melulu, memroyeksikan suatu hal negatif, kemungkinan anda mengatakan tidak akan tinggi. Begitupun sebaliknya. Benar atau salah harus selalu didasari oleh fakta. Sebab data-data yang anda olah di intuisi anda, hanya akan menyentuh “kemungkinan”.  Begitupula ketika anda melihat seorang wanita yang sedang duduk di sudut kafe dengan buku. Pikiran anda mungkin memroyeksikan “dia pasti wanita yang sangat pintar, dan dapat menjadi teman diskusi yang menantang.” Kebenaran akan proyeksi itu masih berada diambang kekeliruan. Tetapi karena suatu hal, anda mengatakan demikian.

Ketidaksadaran-Personal dan Ketidaksdaran-Kolektif

Seperti yang sudah saya sebut di atas, di dalam konsep psyche (Jiwa) dari Carl Jung, seseorang memiliki banyak kepingan di dalam dirinya, yang tersebar di tiga tempat: kesadaran, ketidaksadaran-personal, dan ketidaksadaran-kolektif. Gambaran yang muncul, bisa jadi meluap dari dua tempat: ketidaksadaran-personal dan ketidaksdaran-kolektif. Ketidaksadaran-personal terisi dari sesuatu yang diserap manusia dari dunia di luar dirinya. Dan hal-hal tersebut, secara tidak sadar, menjadi data di diri kita. Mungkin kita pernah merasakan: Saya ingin memiliki kekasih seperti Ayah atau Ibu saya. Sebab sepengalaman anda, Ayah atau Ibu anda adalah standar dari pasangan yang ingin anda miliki. Dan setiap perlakuan dan sifat Ayah atau Ibu anda, itulah data yang anda miliki. Ketidaksadaran-kolektif melulu berkaitan dengan mitos. Mitos adalah bagian dari Archetype, yang sudah saya sempat singgung di tulisan saya sebelumnya. Dan salah satu Archetype yang ada diri manusia, adalah Anima/Animus.

Menurut Carl Jung, setiap gender memiliki elemen gender lain di dalam dirinya. Maskulin memiliki elemen Feminim di dalam dirinya (Anima). Dan sebaliknya, Feminim memiliki elemen Maskulin di dalam dirinya (Animus). Maskulin dan Feminim tidak mengarah pada lelaki atau perempuan, tetapi menurut Jung, mengarah pada energi jiwa. Seperti yang dikatakan Jung: “Wanita dikompensasi oleh elemen maskulin dan karena itu alam bawah sadarnya, bisa dikatakan, memiliki jejak maskulin. Hal ini menghasilkan perbedaan psikologis yang cukup besar antara wanita dan pria, dan oleh karena itu saya menyebut faktor pembuat proyeksi pada wanita sebagai jiwa atau pikiran.” Di sisi lain, elemen Maskulin atau Feminim tersebut, dapat menjadi alasan mengenai “kekasih ideal” manusia.

Seorang teman pernah bercerita: Hidup saya sangat berantakan. Saya tidak dapat mengurus diri saya sendiri. Saya seringkali lupa menaruh barang-barang penting. Jadwal keseharian saya pun sama tidak jelasnya. Sepertinya, saya membutuhkan seseorang yang mampu melengkapi saya pada sisi itu. Seorang yang teratur dan dapat membantu saya untuk membenahi hidup. Seorang kawan lain pernah bercerita kepada saya: Saya ingin sekali memiliki kekasih seperti Rangga (AADC), yang tenang dan cerdas. Sepertinya, pria seperti dia dapat melengkapi hidup saya yang terlalu dikelilingi oleh keramaian. Rangga di sana, termasuk mitos yang bersarang di diri kawan saya tersebut.

Jadi, Apakah itu Benar Cinta Kepada dirinya?

Dari sana, kawan saya memasangkan “standar” pada kekasih yang harus ia miliki nantinya. Kemudian, setiap kali ia melihat seseorang yang terlihat memenuhi standarnya, ia akan jatuh cinta pada orang tersebut. Sebenarnya, pembicaraan saya mengenai Anima/Animus ini sangat berkaitan erat dengan Shadow yang sudah sempat saya singgung juga di tulisan sebelumnya. Antara Shadow dan Anima, sama-sama bagian dari Archetype manusia. Dan sebelum sampai pada kesimpulan jatuh cinta, seseorang akan pemroyeksikan terlebih dahulu tentang seseorang yang ia lihat.

Pembasahan pentingnya adalah, terkadang anda tidak dapat membedakan anda sedang jatuh cinta dengan dirinya, atau jatuh cinta dengan imajinasi anda tentang dirinya. Sebab, jatuh cinta memang terkadang tidak masuk akal. Seseorang dapat jatuh cinta pada pandangan pertama. Kasus seperti ini dapat muncul karena ketika anda melihat seseorang tersebut, pikiran anda langsung pemroyeksian sesuatu yang sebenarnya bukan dirinya. Sebab itu, keluhan semacam kekasih saya berubah setelah sekian tahun itu menjadi mungkin. Anda akan menerima dia atau tidak, itu urusan lain.

Ceramah ini saya tutup dengan perkataan Carl Jung di dalam sebuah wawancara:

“Anima adalah kekuatan yang otonom… Jatuh cinta pada pandangan pertama…kau tahu, kau telah memiliki beberapa gambaran di dalam dirimu tanpa kamu menghetahuinya. Sekarang kamu lihat wanita itu, seorang wanita yang menyerupai tipe idealmu dan seketika… kau jatuh cinta. Dan setelah itu, mungkin kau terjebak pada kekeliruan.. dan kamu tidak memiliki pilihan apa-apa setelah itu.”

Jadi sebelum anda menyentuh kesimpulan “Jatuh cinta”. Lebih baik, anda pertanyakan terlebih dahulu ke diri anda sendiri “Apakah saya benar-benar jatuh cinta padanya, atau jatuh cinta pada imajinasi saya tentangnya?” Setelah menjawab itu, anda harus konsekuen dengan jawaban anda.

Baca Juga Artikel Lainnya: “Tuhan Yang Maha Ibu?”

Oleh: Mahardika Mufthi

Penulis adalah pemimpin redaksi Majalah Manggala 2018/2019

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *