Oleh: Diang Kumala
Penulis adalah Kru Esai Manggala 2021-2022
Feminisme merupakan sebuah ideologi yang sejak dulu, hingga saat ini menjadi sesuatu yang senantiasa digaungkan oleh masyarakat. Pengertian feminisme itu sendiri menurut Najmah dan Husnul Khatimah dalam bukunya yang berjudul Revisi Politik Perempuan (2003:34) menyebutkan bahwa feminisme adalah suatu kesadaran akan penindasan dan eksploitasi terhadap perempuan, baik dalam keluarga, tempat kerja, maupun masyarakat, serta adanya tindakan sadar akan laki-laki maupun perempuan untuk mengubah keadaan tersebut secara leksikal.
Feminisme kerap kali dikaitkan dengan sejarah yang menggambarkan perempuan dalam bentuk yang amat diskriminatif, rendahan, dan menomorduakan perempuan. Sejarah yang saya maksud, sebagaimana yang dikemukakan oleh Anas Qasim dalam bukunya “Al-Huquq al-Siyasiyah li al-Mar’ah” bahwa kondisi laki-laki di Yunani demikian perkasa (Syafiq, 2001:20). Misalnya, pada saat itu lelaki boleh menikahi perempuan tanpa ada batasnya. Kalau sudah dinikahi, perempuan dianggap sebagai milik mutlak laki-laki yang menikahinya. Dalam arti kata, perempuan bisa diperlakukan sesuai dengan kehendak lelaki yang memilikinya.
Dalam peradaban Roma juga misalnya, wanita setelah menikah sepenuhnya berada di bawah kekuasaan suami, ini mencakup kewenangan menjual, mengusir, menganiaya, dan membunuh. Hukum Roma mencabut dan menghilangkan hak-hak sivil wanita, dan segala hasil usaha wanita menjadi hak milik keluarga laki-laki. Wanita dianggap sebagai objek, dimana suami membayar sejumlah uang tertentu kepada calon ayah mertuanya, dan sebagai imbalannya istri harus melakukan semua pekerjaan rumah tangga ataupun pekerjaan lain tanpa boleh menolak. Seorang istri tidak memiliki hak untuk menuntut kekayaan suaminya setelah meninggal, dan suami boleh mencabut hak waris bagi istrinya. (Fatimah, 2001:22)
Oleh karena itu menurut saya, hal inilah yang membuat para penganut feminisme menentang stigma yang sudah mengakar sejak dulu. Wajar saja ada banyak pihak menyuarakan feminisme, menganggap bahwa pada hakikatnya laki-laki dan perempuan adalah dua makhluk yang berbeda secara fisik, tapi memiliki kesempatan dan hak yang sama. Ideologi ini hadir sebagai bentuk penolakan terhadap anggapan masyarakat yang stereotip, menyudutkan, bahkan cenderung menghinakan perempuan. Ia juga menuntut persamaan hak sepenuhnya antara kaum perempuan dan laki-laki.
Saya melihat dewasa ini, seruan akan feminisme terus berkembang, menghadirkan berbagai macam aliran dan perspektif yang kian berbeda. Emansipasi dan kesetaraan gender merupakan tuntutan yang senantiasa disuarakan oleh penganut paham ini. Penolakan terhadap seksisme juga sering menjadi pembahasan hangat terkait hal ini. Perihal seperti inilah yang kerap kali dijadikan landasan penganut feminisme untuk terus menyuarakan ideologinya.
Mulanya, feminisme berkutat dalam kebebasan untuk menyamaratakan hak laki-laki dan perempuan. Ini wajar dan memang benar, karena berkaitan dengan kemanusiaan. Namun yang saya sayangkan, seiring berkembangnya zaman, paham ini sering disalahartikan, bahkan secara tidak langsung dapat menghilangkan fitrah sebagai perempuan. Tindakan yang berlebihan dan menuntut kebebasan yang tiada batas menjadi penyalahgunaan makna feminisme itu sendiri.
Feminisme sebenarnya hadir sebagai penyelamat dari tindakan semena-mena kaum lelaki, menjadi titik terang pembelaan akan harga diri perempuan. Karena memang manusia hakikatnya adalah makhluk sosial, hidup berdampingan, dan saling membutuhkan. Untuk itu, kodrat manusia itu semuanya sama, meski punya peran yang berbeda-beda. Jangan sampai mengatasnamakan feminisme, justru menuai pertikaian, membangun benteng kebencian terhadap laki-laki, sebab sejatinya feminisme bukanlah ideologi kebencian.
Hidup bebas sebagai perempuan bukan berarti menggugurkan kewajiban sebagai seorang istri dan ibu dalam keluarga. Single Parent yang berasal dari paham feminisme, yakni anggapan status kepala keluarga bisa dialihkan kepada perempuan-yang menjadi simbol kemandiriannya-bukanlah hal yang lumrah, terlebih di Indonesia. Hakikatnya, laki-lakilah yang dijadikan pemimpin, dan figur suami memiliki peranan penting dalam struktur keluarga.
Tidak hanya itu, yang paling saya sayangkan adalah bermunculnya paham Feminisme Lesbian, yakni gerakan budaya dan sudut pandang berpikir mengenai perubahan sosial dan tatanan gender, mengajak perempuan untuk memusatkan energi kepada perempuan lain, bukan kepada lelaki melalui prinsip heteroseksual.
Sebagai seorang perempuan, saya menyetujui adanya gerakan feminisme, tetapi dengan tetap memperhatikan batasan. Selagi bentuk feminisme itu terarah dan tidak melenceng dari nilai-nilai keislaman. Wanita harus menyelaraskan perannya di luar dan di dalam rumah. Hal ini juga tak ternafikan untuk lelaki sebagai kepala keluarga. Hak-hak perempuan memang harus diperjuangkan; hak untuk menuntut ilmu serta menggapai cita-cita seperti halnya lelaki misalnya.
Perempuan tentu berhak untuk tumbuh cerdas, mendapatkan kesetaraan dalam struktur sosial, ekonomi, politik, dan berbagai aspek lainnya. Firman Allah Swt. dalam surah Al-Nahl ayat 97 menjadi landasan bahwa baik laki-laki ataupun perempuan yang beriman dan beramal saleh akan mendapat balasan yang terbaik di sisi-Nya, dan tidak ada halangan untuk berkontribusi membangun kehidupan. Dikuatkan lagi dengan surah Al-Hujurat ayat 13, bahwa manusia mempunyai kedudukan dan derajat yang sama. Perbedaan ras, suku, dan bangsa sebenarnya hanya untuk saling mengenal. Di luar dari itu, tidak ada perbedaan antara keduanya, melainkan kualitas iman dan takwanya.
Kemudian, teruntuk pejuang ideologi ini, tetaplah bela dan perjuangkan kebenaran akan hak dan harga diri perempuan, selagi masih berada di jalan yang benar, yaitu jalan feminisme yang tidak salah diartikan. Terlepas dari semua itu, jangan lupakan kodrat dan etika yang baik sebagai perempuan, karena perempuan mengemban amanah yang begitu mulia, yakni mendidik generasi pembangun peradaban.