Jika kita baca literatur seputar feminis, maka akan didapati bahwa term tersebut kurang lebihnya telah digeneralisasi sehingga bermakna seorang laki-laki ataupun perempuan yang mengamati, memperhatikan, serta memberikan solusi bagi kehidupan perempuan. Tujuan dari pemahaman tersebut adalah agar kehidupan perempuan jauh lebih baik dan progresif. Dalam konteks ini, mungkinkah term feminis itu bisa dilekatkan kepada seorang muslim atau muslimah? Memahami sebuah term terlebih yang telah menjadi sebuah gagasan, tentu perlu untuk ditelusuri dari mana asal mula term tersebut ada. Oleh karena itu, perlu kiranya untuk menulusuri jejak dimensi konteks sosio-historis yang meliputinya.
Amina Ghorfati menulis tesis berjudul Feminism and its Impact on Woman in The Modern Society yang dipresentasikan di Menteri Pendidikan dan Penelitian Saintifik Republik Algeria tahun 2015. Dia menyebutkan bahwa secara historis, konteks sosio-politik USA dan Eropa pada abad ke-19 sangat mempengaruhi munculnya gerakan pemahaman tersebut, di mana perempuan mengalami beberapa masalah, seperti tidak diperlakukan secara adil, hak-hak mereka sebagai perempuan tidak terpenuhi, serta tidak sama dalam perlakuan kontrol sosial yang dihegemoni oleh kekuasaan dan peran laki-laki (2015: 6).
Berdasarkan hal tersebut, munculah gerakan untuk membebaskan perempuan dari hegemoni kaum pria di Barat. Gerakan inilah yang kemudian kita pahami sebagai feminisme. Perlu diketahui dahulu bahwa istilah tersebut muncul pertama kali oleh Hunburtine Auclert dalam jurnal La Citoyenne_as La Feminité pada tahun 1880 yang mengkritik dominasi politik laki-laki serta menuntut kemerdekaan untuk hak perempuan sebagaimana yang telah dijanjikan sejak revolusi ferancis (Ghorfati, 2015: 7).
Jika kita renungkan, sesungguhnya feminisme ini tiadalain muncul karena didorong motif sosial dan politik masyarakat perempuan di Barat saat itu. Secara aspek sosial dan politik mereka dipandang rendah serta tidak mendapatkan hak-hak mereka. Dengan kata lain, fenomena yang terjadi saat itu adalah adanya kultur patriarki. Tidaklah heran jika para kaum feminis sering kali menyuarakan keadilan -dalam bahasa Amina Ghorfati remove all barriers– yang sama dalam sosial, politik, dan ekonomi.
Dalam membangun idealismenya, para kaum feminis lazimnya diawali dengan membedakan definisi seks dan gender. Diferensialnya seks itu merupakan tanda biologis bawaan sejak lahir sedangkan gender itu merupakan sisi atribut psikologis yang terbentuk oleh lingkungan budaya dan sosial masyarakat. Sederhananya, mereka menjadikan seks sebagai tanda alamat “kelamin biologis” dan gender sebagai “kelamin sosial”. Kedua istilah tersebut kemudian didukung oleh dua konsep yang dipopulerkan yaitu nature dalam term seks dan nurture dalam term gender.
Dari kedua konsep yang digunakan terhadap term seks dan gender ini, maka kemudian lahirlah berbagai macam tipe kaum feminis. Di antaranya ada feminis liberal, feminis radikal, dan feminis sosialis. Feminis pendukung konsep nurture lazimnyalebih dominan dalam diskursus femenisme dari pada feminis pendukung konsep nature yang cenderung damai, serta bersahahabat dengan religiositas. Akan tetapi meskipun bersebrangan antara satu sama lain, namun tetap memiliki tujuan yang sama yaitu kesetaraan serta dukungan sesama lain dalam usaha memperoleh kekuatan untuk menciptakan pilihan (Kuza’i, 2013:111).
Uniknya, terdapat sebagian sarjana muslim atau muslimah yang mengadopsi feminisme ini dalam memahami Islam. Sebagian dari mereka populer dinamai sebagai Islamic femenits atau muslim femenits. Lebih uniknya lagi adanya upaya mengawinkan antara gagasan femenis dan ajaran Islam, sehingga terkesan mereka mencari justifikasi dari teks-teks keagamaan. Tidak hanya itu, bahkan sampai mendekontruksi syariat Islam yang telah dinilai stagnan (as-tsawâbit). Misalnya tokoh Islamic femenits, Amina Wadud (1999:2) menuduh tafsir-tafsir keagamaan klasik khusus tafsir Al-Qur’an telah dihegemoni oleh kaum pria sehingga menganggap tidak mewakili perempuan. Dengan kata lain konsep-konsep syariat seperti keadilan, kepimpinan laki-laki, waris dan sebagainya dinilai tidak ful objektif dan harus didekontruksi.
Memang ada doktrin-doktrin feminis yang serupa dengan Islam seperti hak memiliki kesempatan yang sama dalam melakukan perbuatan kebaikan. Sekilas secara serupa sama, akan tetapi secara filosofis sangatlah berbeda dalam nilai (value) serta aspek epistemologi. Kita menyadari betul apa yang dikatakan oleh Thomas Khun (1970:24) bahwa “…normal-scientific research is directed to articulation of those phenomena and theories that paradigm already supplies”. Oleh karena itu, feminisme sangatlah dipengaruhi oleh latar belakang masyarakat Barat yang humanisme-sekular.
Tentu hal ini berbeda dengan worldview Islam yang menjadikan “tuhan” sebagai pondasi berpikir, kehidupan, dan perbuatan. Dengan demikian, filosofis ajaran Islam dan femenisme sangatlah berbeda secara dimensi nilai, serta epistemologinya. Tidak hanya itu, secara historis bahwa latar belakang masyarakat Islam juga berbeda sangat dengan pengalaman masyakarat di Barat.
Tulisan ini hendak menjadikan mujâhidah sebagai figur tandingan bagi gerakan kaum feminis. Meskipun kosa kata tersebut pada umumnya menunjukan single woman, karena feminis pun demikian pada awalnya gerakan yang dipelopori oleh para perempuan. Implementasi kosa kata ini agar dapat mengenalkan secara ekplisit mengenai bahwa dalam Islam juga “ada” gerakan yang mendukung hak-hak perempuan. Dengan kata lain rekan saudari-saudari muslimah tidak harus memilih femenisme yang cenderung humanisme dan sekular.
Term mujâhidah ini memiliki makna semantik yang lebih luas dalam memperjuangkan hak-hak perempuan. Morfologinya berasal dari kata “jahada” yang menunjukan makna “kesungguhan serta mencurahkan daya upaya sesuai kemampuan” (Ibn Mandzur, t.t: 135, vol.3). Uniknya, makna semantik ini memiliki hubungan dengan realitas yang lebih tinggi yaitu Tuhan. Coba kita perhatikan setidaknya Q.S An-Nisâ: 95, Q.S Al-Mâidah: 50, Q.S At-Taubah: 44 dan 81, di mana morfologi jâhada dikaitkan dengan realitas tuhan (yu’minŭna billah, dan fī sabilillah). Pada Q.S Muhammad: 31 dikaitkan dengan konsep sabar, sedangkan Q.S Al-Ankabŭt: 6 lebih mendepankan ganjaran yang akan diterima dari upayanya. Tentu ganjaran tersebut akan diperoleh jika seorang muslim atau muslimah berusaha sesuai kemampuanya karena semata-mata mengharapkan pahala Allah swt.
Dengan demikian jelas secara ekplisit bahwa feminis dan mujâhidah memiliki beberapa sisi perbedaan. Namun mungkinkah kedua hal ini dapat berjalan secara bersamaan? perlu diketahui bahwa sesama feminis itu saling menyalahkan antara satu sama lain, seperti feminis pendukung konsep nature dan nurture, Meskipun ada tujuan yang sama yaitu “menciptakan daya pilihan yang sama”. Tujuan ini serupa dengan mujâhidah khususnya dalam memperjuangkan hak-hak wanita. Diferensialnya terletak pada sampai di mana batasan-batasan daya pilihan tersebut. Maka prospeknya diharapkan bagi femini agar tidak sampai melanggar ketentuan suatu cara pandang tertentu.
Kesimpulannya, feminis dan mujâhidah merupakan dua gerakan yang berbeda dalam menyikapi persoalan-persoalan yang dihadapi oleh perempuan. Keduanya memiliki basis filosofis serta worldview yang berbeda dalam konteks implementasi gerakan-gerakanya. Prospek atau ekpetasi dari kedua gerakan ini sama-sama memperhatikan, mengamati, serta memberikan solusi agar kehidupan perempuan lebih baik dan progresif. Tentu arah prospek harus digiring kepada kerja sama “kemanusiaan” khususnya dalam persoalan perempuan, serta tidak menyentuh atau mendekontruksi aspek syariat Islam yang stagnan sampai hari kiamat. Wallahu a’lâm bi shawâb.
Oleh: Muhammad Ghifari
Penulis adalah Editor Majalah Manggala Periode 2019-2020