Oleh: Farid Hamdani
Penulis adalah Editor Majalah Manggala 2021-2022
Sudah tidak asing lagi bagi kita, ketika memasuki bulan Agustus pasti teringat bahwa Indonesia mempunyai sejarah yang begitu besar; Meraih Kemerdekaan. Meskipun begitu, masih banyak sebenarnya orang di sekeliling kita yang tidak tahu apa arti dari kemerdekaan itu sendiri, sehingga secara sadar atau tidak sadar, menghilangkan kata ‘merdeka’ yang sejak awal telah melekat di tubuh seorang manusia. Maka dari itu, lewat tulisan ini saya akan mengajak para pembaca untuk mengingatkan kembali arti dari kata tersebut, khususnya kemerdekaan dalam kacamata Islam.
Dalam KBBI, secara etimologi merdeka berati bebas; kemerdekaan artinya kebebasan. Sedangkan secara terminologi, merdeka artinya bebas dari segala penjajah dan penjajahan atau penghambaan, dan kemerdekaan adalah suatu keadaan di mana seseorang atau negara bisa berdiri sendiri, bebas, dan tidak terjajah. Kemudian, istilah kemerdekaan dalam Bahasa Arab juga disebut “al–istiqlāl”. Hal ini merupakan bentuk penafsiran dari “al-taharur wa al-khalas min al-qayd wa al–saytharah al-ajnabiyah”, yang artinya bebas dan lepas dari segala bentuk penguasaan dari pihak lain. (Kemerdekaan Dalam Perspektif Islam, pku.unida.gontor.ac.id, diakses pada Senin, 16 Agustus 2021)
Oleh karenanya, kemerdekaan dalam kacamata Islam sendiri saya melihat sejatinya adalah bebas untuk bertindak. Hal ini dapat dipahami karena manusia adalah mahluk hidup yang diberi kepercayaan oleh Allah Swt. sebagai pemimpin di bumi (Al-Baqarah: 30). Namun bukan berarti sangat bebas. Kebebasan atau kemerdekaan itu dibatasi dengan hukum-hukum dalam syariat Islam. Batasan tersebut, kita bisa temukan dalam Al-Qur’an sebagai sumber hukum yang pertama dan Hadis sebagai sumber hukum yang kedua.
Islam dan Kemerdekaan
Bisa saya katakan, Islam ini begitu indah, dengan adanya hal yang bisa mengatur semua lingkup kehidupan manusia dari berbagai aspek yang begitu banyak. Di satu sisi, manusia menurut Islam adalah mahluk yang merdeka/bebas sejak ia ada, dan di sisi lain adalah hamba-Nya, dalam artian ada hubungan sakral antara makhluk dan Pencipta. Untuk itu, manusia sudah semestinya tidak bisa dan tidak boleh menjadi budak bagi selain penciptanya.
Perbudakan manusia atas manusia yang lain sama halnya dengan melanggar hak Tuhan. Apalagi di zaman yang serba canggih, kita bisa rasakan banyak kejadian seperti ini, dimana perbudakan yang dimaksud adalah mengambil hak orang lain. Saya teringat beberapa literatur yang pernah saya baca mengatakan, “Manusia yang memperbudak manusia lain sama dengan memosisikan dirinya sebagai Tuhan yang Maha Esa.” (Al-Hurriyyat Al-Asirah, Muhammad Al-Hamuri, hal. 34)
Tidak hanya itu, kita ketahui bersama perihal alasan diutusnya Nabi Muhammad Saw. dan nabi-nabi yang lain adalah misi suci, salah satunya membawa kemerdekaan dari segala bentuk penindasan manusia atas manusia lainnya. Al-Qur’an pun menegaskan hal itu, “(Inilah) Kitab yang kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya yang terang-benderang dengan izin Tuhan mereka.” (Q.S Ibrahim: 1).
Dalam ayat tersebut bisa saya simpulkan, mengeluarkan adalah membebaskan. Kegelapan pada kalimat itu bermakna kekafiran, kezaliman, kesesatan, dan kebodohan. Karena setiap agama yang dibawa para nabi mengemban misi kemanusiaan, dan itu merupakan refleksi serta aksi dari pernyataan Kemahaesaan Tuhan.
Bahkan keyakinan tentang kemerdekaan dalam kacamata Islam ini sebenarnya telah dipraktikan langsung oleh Nabi Saw. lewat perintah-perintahnya kepada manusia untuk membebaskan sistem perbudakan secara bertahap, melalui hukuman-hukuman untuk memerdekakan hamba sahaya bagi yang melanggar beberapa aturan Allah Swt misalnya.
Mengindahkan Kemerdekaan Lewat Kacamata Sang Al-Faruq
Ada salah satu kisah sahabat nabi yang digelari Al-Fāruq, yaitu Sayidina Umar Bin Khattab, khulafaurasyidin ke-2, tentang tindakannya yang mewujudkan penghapusan kezaliman manusia atas manusia yang lain. Kala itu, dikisahkan bahwa Abdullah, anak dari Amr bin Ash, Gubernur Mesir pada waktu itu, menganiaya seorang petani desa yang miskin.
Mengetahui hal itu, Sayidina Umar bin Khattab lantas segera memanggil anak sang gubernur tersebut. Beliau pun mengatakan, “Sejak kapan kamu memperbudak orang, padahal ia dilahirkan ibunya dalam keadaan merdeka?” Kemudian beliau mempersilakan si petani miskin tersebut mengambil haknya yang ia perlukan terhadap anak pejabat tinggi negara itu.
Berdasarkan kisah tersebut, kita bisa mengambil pelajaran bersama dari sikap Khalifah Umar bin Khattab, dimana beliau memperlihatkan kebijakan yang harus dilakukan oleh seorang pemimpin. Beliau benar-benar memperlakukan sama kepada semua orang yang berada dalam kekuasaanya. Sayidina Umar ingin menunjukan bahwa di depan hukum, setiap orang mempunyai hak untuk merdeka, terlepas dari kedudukan sosialnya yang dianggap rendah.
Oleh karena itu menurut pandangan saya, agaknya kita sebagai muslim melalui peringatan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ini, jangan sampai melupakan makna dari kemerdekaan itu sendiri, khususnya dalam kacamata Islam. Maka benarlah pernyataan UUD 1945 alinea pertama, bahwa segala bentuk penjajahan di atas dunia ini harus dihapuskan, termasuk soal tradisi mengambil hak kebebasan dan kemerdekaan orang lain, dan itulah yang diajarkan dalam Islam. Wallahu a’lam bishawwab.