Dalam bingkai potret segi empat
Saban hari aku tatap lekat-lekat
Ronanya menyebar bayang
Memori kanak 20 tahun silam
Jarak memang membentang
Berdiri atau mematung-memalang
Tapi afeksi kian hari kian tenggelam
Mengekor tiap pijak dan jalan
Dahulu …
Di pematang sawah
Dirinya duduk tegap tampak gagah
Sosok sarat juang tak berjubah
Tak berkerah
Apalagi berjas mewah
Hai, Abah…
Saban kali di ujung swastamita
Dia tanggalkan bakul, cangkul, di cendana
Berlalu nan merengkuh jiwa
Ajarkan diri huruf dan angka
Tulis dan baca
A B C D A satukan baca, katanya
A D C B A, aku baca sekenanya
Salah!
Rotan, ijuk,bahkan ranting dahan turut diancamkan dipukulkan
Eja lagi! Baca lagi!
Aku merintih.
Melaju seperti itu, melangkahi detik-detik yang berdetak
Menelan hari-hari untuk hasil yang bergizi, pasti
Keesokan pagi, daksanya kembali bersiap
Dengan sarung menggantung
Atau caping memiring-menudung
Sebelum pergi
Dikecupnya pipi kanan nan kiri
Ibu, aku, satu-satu
“tidak cape, bah ?” lontar tanya, remah
“Insan merupa sajian tuhan yang perlahan pergi nan menghilang” lirihnya mengijabah
“Hiduplah dengan sungguh nan utuh, hidangkan halakah yang gelabah”
Abah berlalu,
Bergrilya dengan ladang dan undakan
Berjenaka amikal dengan benih dan bekal
Mulai fajar berpijar sampai surya menua
Dan aku, purna
Dirinya ia ‘tlah jadikan tumbal harsa keluarga
Tanamkan atma buntara
Jangan manja, dan jadilah bijaksana
Rebaskan peluh-peluh yang jujuh
Biakkan baik-baik yang laik
Hendaknya.
Uh, aku berkelana begitu jauh
Mengungsi dari satu kenangan pada kenangan yang lain
Padahal hidup di hari ini
Hari-hari yang diceraikan masa lalu
Dihalau kilometer dari abah dan ibu
Dikepung asap lebat barikade rindu
Terima kasih, Abah…
Meski tidak menyentuh tubuh yang utuh
Semoga saja parabel ini menjadi
Penyambung
Lirihmu dan laraku
Kuat dalam nirwana
Mencipta cita bersama.
Baca Juga Puisi Lainnya: Untuk Ayah
Oleh: Imas Dera Fadilah