Memahami Islam tidak cukup berlandaskan secara apa yang literal-tekstual dalam Al-Quran dan al-sunah. Namun harus disertai dengan nalar pikir yang sehat, kritis serta pemahaman yang benar sebagaimana diwariskan oleh para ulama sejak dahulu atau biasa kita sebut sebagai turāts (warisan). Cara berpikir ini sangat diperlukan guna menghadapi berbagai tantangan modernitas di era ke-21 khususnya di masyarakat Indonesia. Tidak hanya itu, cara tersebut juga dapat menjadi pertahanan dari gerakan-gerakan pemahaman atas nama Islam yang rigid, ekstrem, bahkan teroris.
Banyak data telah menunjukan secara ekplisit mengenai gerakan-gerakan atas nama Islam yang berbahaya bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Di antaranya lihat misalnya, Prof. Noorhaidi Hasan dalam disertasinya berjudul Laskar Jihad; Islam, Militancy and The Quest For Identity in Post-New Order Indonesia yang membahas mengenai sebuah ormas radikal di era baru Indonesia. Di mana ormas tersebut menyerukan umat muslim Indonesia untuk menyebabkan chaos atas nama jihad Islam di Poso pada tahun 2001, serta menyuarakan gerakan separatisme di Aceh dengan GAM (Gerakan Aceh Merdeka) (2005: hal 218).
Belum lagi kasus baru yaitu ISIS yang sudah sejak sekitar 2015 merekrut WNI untuk memerangi—bahasa lembut untuk term teroris—pemerintahan yang sah. Ironisnya setelah kalah perang sebagian eks WNI mau menggalkan medan perang tersebut namun ditolak oleh Negara karena belum siam dengan deradikalisasi (www.bcn.com diakses 22 Maret 2020). Tentu gerakan ini diklaim sebagai aliran teroris bagi pemerintah Indonesia, serta masih banyak contoh lainya mengenai hal demikian yang ekstrem, bahkan teroris.
Oleh karena itu, tidaklah heran bahkan sebuah langkah yang tepat jika Menteri Agama, Fachrul Razi ingin menangani secara serius terhadap ancaman gerakan tersebut di Indonesia. Begitu pula apa yang dilakukan oleh ketua BPIP Prof. Yudian Wahyudi dengan sologannya Jihad NKRI dalam melindungi Indonesia dari ancaman-ancaman ekstrimisme bahkan terorisme. Apalagi lebih uniknya lagi gerakan tersebut dilandasi atas nama Islam. Tentu hal tersebut tidak bisa diterima dalam ajaran Islam sendiri yang justru kontra terhadap gerakan-gerakan tersebut.
Dalam konteks inilah, gagasan Islam Moderat (Wasathiyyah) sangatlah relevan untuk diimplementasikan kepada masyarakat Indonesia. Akan tetapi perlu diketahui terlebih dahulu bahwa Islam merupakan agama moderat. Hal ini sebagaimana tersurat dalam firman-Nya: “Dan demikian (pula) Kami telah menjadikan kamu (umat Islam), umat yang adil (wasathan) dan pilihan agar kamu menjadi saksi atas (perbuatan) manusia dan agar Rasul (Muhammad) menjadi saksi atas (perbuatan) kamu…” (Q.S Al-Baqarah: 143). Dengan demikian gagasan tersebut tidak serta merta ada eksistensinya tanpa landasan yang kuat, justru sebaliknya memiliki landasan filosofisnya dan teologisnya.
Dari sisi fenemonologis, khususnya dalan bentuk mengaplikasikan gagasan Islam moderat, Prof. Dr. Ahmad Umar Hasyim (2014: hal 9-15) menyebutkan bahwa setidaknya ada 3 fenomena yang diterapkan. Di antaranya, pertama: moderat dalam akidah (wasatiyatul al-aqīdah) Kedua: moderat dalam syariat (al-wasatiyyah fi a-syarīah). Dan ketiga: moderat dalam perilaku dan akhlak (al-wasatiyyah fil al-akhlāq wa al-asulūk). Jika kita renungkan terhadap fenomena-fenomena tersebut, ini menunjukan secara implisit universalitas Islam khususnya dalam aspek kehidupan manusia pribadi dan sosial masyarakat yang relevan dalam konteks temporal maupun lokalitas (shahīh li kulli zamān wa makān).
Hemat penulis 3 bentuk fenomena implementasi Islam moderat ini bisa menjadi basis yang kuat dalam menghadapi fenomena aliran meyimpang di Indonesia. Misalnya pertama, dalam aspek Akidah Moderat (wasatiyyah al-aqidah), di mana dengan menjadikan akidah Ahl Sunnah wal Jamā‘ah (Asyāirah, Māturidyyah, dan At-tsariyyah) sebagai fondasi fundamental keyakinan umat Islam Indonesia. Dalam konteks ini, kita bisa terapkan sebagai counter attack terhadap gerakan-gerakan tersebut di mana diferensisialnya terletak dalam ajaran akidah Islam fundamental. Dengan demikian ajakan teror sebagai gerakan jihad Islam menurut mereka bisa terbantahkan dengan gagasan ini.
Kedua, Moderat dalam Syariat (al-wasatiyyah fi al-syarīat), di mana fenomena ini bisa menjadikan muslim indonesia tidak terlalu literal-tekstualis dalam mehamai teks-teks agama. Pembacaan terhadap teks-teks agama harus seimbang dalam memerankan fungsi akal dan wahyu (teks tersurat) dalam memahami teks-teks keagamaan. Di samping itu, Dengan fenomena ini bisa sekaligus menjadi shif paradigm (pergeseran paradigma) kepada kontekstual-integratif bagi gerakan-gerakan ekstremis, bahkan teroris yang mengatas namakan Islam. Di mana dengan menerapkan ini, diharapkan gerakan-gerakan tersebut dapat menyadari kesalahan mereka dan kembali ke jalan yang benar.
Ketiga: Moderat dalam Perilaku dan Akhlak (al-wasathiyyah fil al-aklâq wa al-sulūk). Tidak perlu berpikir lebih detail aplikasi ini jelas saling bertabrakan dengan gerakan-gerakan ektremisme, dan terorisme. Di mana gerakan tersebut secara eksplisit telah melakukan hal-hal yang biadab dan tidak berperi kemanusiaan. Demikian ketiga bentuk implementasi Islam moderat ini mampu mengatasi fenomena ancaman gerakan-gerakan menyimpang atas nama Islam di Indonesia.
Oleh karena itu, penulis menyimpulkan bahwa gagasan Islam Moderat ini jika diimplementasikan ke masyarakat Indonesia akan sangat relevan secara sosio-kultur karena potensi religiusitas yang tinggi. Gagasan ini memiliki peran yang signifikan dalam menghadapi berbagai macam fenomena gerakan ektremisme, bahkan terorisme atas nama Islam. Tentu diharapkan dengan ini mewujudkan Islam yang rahmatan lil al-alāmin, serta baldatun thayyibah wa rabbun ghafūr.
Baca Juga Artikel Lainnya: “Islamisasi Sains Serta Relevansinya Dengan Hakteknas”
Oleh: Muhammad Ghifari
Penulis adalah kepala editor Manggala 2020/2021