Esai, Opini  

Tragedi 11 September: Sumbangan Embrio Islamofobia

11 September

Would the world will be better without Islam?”

Berbincang tentang tragedi 11 September 2001,  ingatan penulis mengedar pada sebuah film Indonesia yang diproduksi tahun 2015, Bulan Terbelah di Langit Amerika. Selain petikan dialog di atas, dari cuplikan film ini juga sedikit tergambar bagaimana paniknya warga Amerika jika dihadapkan dengan wanita berhijab atau bercadar. Atribut Islam semacam itu mengingatkan mereka pada tragedi 11 September yang memilukan.

Seolah menjadi syndrome yang bersarang, sejak itu Amerika Serikat (AS) menjadi sangat sensitif dengan aksi teror yang selalu diidentikkan dengan Islam. Walaupun sebenarnya jika menilik sedikit jejak terorisme di tanah koboi ini, aksi tersebut bukanlah kali pertama. Ada 5 teror yang telah lebih dulu mengepulkan asap ledakan. Siapa sangka, aksi teror ini kemudian menyumbang cukup banyak embrio Islamofobia ke seluruh dunia.

Setelah menara kembar World Trade Center (WTC) karam di bumi Manhattan-New York, Presiden AS George W.Bush sontak melancarkan tudingan kepada Osama bin Laden sebagai dalang dari serangan. Menyinggung sekilas mengenai Osama bin Laden, dia merupakan sosok pimpinan Islam al-Qaeda. Tidak hanya untuk al-Qaeda, mahajutawan dari tanah Arab ini konon kerap membiayai dan menunggangi banyak aksi teror, terutama yang tertuju bagi Amerika.

Kilas Balik Sejarah Islamofobia

Singkat cerita, karena identitas “muslim” Osama ini, Islam selalu digambarkan lekat akan figur teroris. Alhasil, muncullah embrio sentimen islamofobia. Dengan demikian, keberadaan minoritas muslim di AS ditakuti, dicurigai, dan dikucilkan. Bahkan, hal bukan terjadi di AS saja. Sentimen Islamofobia ini lantas menjamur secepat kilat membuat seluruh penjuru dunia takut pada Islam dan muslim.

Meneropong ke belakang, perasaan takut dan benci terhadap Islam, kultur Islam, dan umat Islam ini lahir sejak usai berkecamuknya perang salib. Meski, perasaan takut dan benci itu belum diberi nama “Islamofobia.” Istilah ini muncul pertama kali pada tahun 1922 M. Di mana seorang orientalis bernama Etience Dinet menyebutkannya dalam  esainya “L‘Orient vu del’Occident” (Timur Menurut Prespektif Barat).

Islamofobia kemudian menjadi sebuah istilah yang populer pada 1990-an. Istilah itu jamak digunakan untuk mendefinisikan perlakuan diskriminasi yang diterima oleh umat Islam di Eropa Barat. Definisi mengenai Islamofobia sendiri masih ramai diperdebatkan oleh para ahli. Meski begitu, menurut penulis, semua definisi itu mengarah pada sebuah benang merah tentang terbentuknya paradigma ketakutan yang tidak rasional (irrational fear) terhadap Islam. Kemudian ketakutan tidak rasional ini memuncul keyakinan bahwa setiap muslim mempunyai tendensi untuk melakukan kekerasan dan teror terhadap kalangan non-Muslim. Atas nama ketakutan ini pula, Islam digambarkan dengan agama yang kosong dari nilai kemanusiaan dan tidak mengindahkan pluralitas beragama.

Kembali ke tahun 2001, fenomena Islamofobia menjadi jauh lebih kompleks setelah tragedinya peristiwa Selasa kelabu, 11 September di Amerika. Seolah mendapat injeksi kuat islamofobia, sejak itu masyarakat kembali terpengaruh untuk melihat Islam dengan penuh kecurigaan dan prasangka buruk. Yang pada akhirnya, juga berimbas pada ketakutan terhadap semua atribut beraroma Islam.

Serangan 11 September, Sarat Akan Politik?

Ironinya, injeksi embrio ini dalam kacamata penulis, sarat dengan siasat politik dan permainan duniawi. Bagaimana tidak? Banyaknya bukti mengatakan bahwa Osama adalah tersangka, atau minimal yang “dikambinghitamkan”. Dengan begitu, dua hari pasca tragedi, Amerika menekan Afghanistan yang disinyalir menjadi tempat persembunyian Osama. Tak tanggung-tanggung ancaman rudal untuk membumihanguskan seluruh jagat Afghanistan pun dinyatakan.

Hal ini menelurkan beragam polemik yang mengharuskan Amerika sibuk mencari dukungan. Tentunya dukungan untuk melawan terorisme, yang selalu digambarkan rekat dengan Islam bak amplop dan prangko. Alhasil, dukungan dari 34 negara pun lahir, salah satunya dari Indonesia.

Jika mengikuti identitas beragama, harusnya sayap Indonesia memihak kubu lawan, Osama dan Afghanistan. Namun ternyata tidak, dukungan Indonesia justru tertuju pada negara adidaya Amerika. Seperti telah menjadi komoditi politik, dukungan dari Indonesia resmi diumumkan presiden Megawati setelah Amerika sukses merayu dengan: US$ 15 juta untuk membantu Indonesia membangun kembali wilayah Maluku dan Aceh. Jumlah itu masih akan ditambah US$ 10 juta bagi pelatihan polisi.

Selain bentuk tunai, juga ada bantuan lain: Bush setuju memberi keringanan bea masuk produk Indonesia ke AS senilai US$ 100 juta untuk memicu pengembangan dagang dengan Indonesia. Ditimpuk lagi tawaran Amerika yang akan mencabut embargo penjualan peralatan militer bukan senjata pada Indonesia. Banjir hadiah inilah yang menunggangi sokongan dukungan Indonesia untuk Amerika dalam mengamini kebijakan perang melawan terorisme, yang pada saat itu tertuju pada Afghanistan dan Islam.

Sebagai negara adikuasa, Amerika cukup cerdik. Rayuan yang tertuju pada Indonesia itu lahir dari kesadaran Amerika perihal kuantitas muslim yang dimiliki Indonesia. Pun Megawati tak kalah pandai memanfaatkan situasi. Padahal satu bulan sebelumnya kedua negara ini bersitegang karena perbedaan kepentingan. Terrutama perihal hubungan militer dan sengketa pembayaran beberapa proyek bidang energi. Ini yang penulis maksud dengan “sarat akan siasat politik dan permainan duniawi”.

Jika lebih jelas dikatakan, pada saat itu Amerika menelan kerugian yang sangat besar, menara kembar yang menjadi jantung ibu kota  runtuh, menyisakan bilangan angka ratusan dolar sebagai kerugian materi. Ditambah lagi geliat ekonomi yang terhenti selama satu minggu hampir menyeret Amerika ke jurang resesi, pun kondisi sosial masyarakat yang seolah mendapat shocktheraphy. Di tengah kondisi memprihatinkan itu Amerika justru masih bisa menghidupi negara lain untuk melawan terorisme.

Melihat pemandangan di atas, pantas saja sebagian publik berkesimpulan bahwa tragedi ini ditunggangi konspirasi Eropa-Barat. Mereka lakukan dengan sengaja guna mengembangbiakkan Islamofobia. Lantas membangun narasi bahwa Islamofobia muncul akibat ulah teroris muslim sendiri.

Islamofobia: Benarkah Islam Identik dengan Terorisme?

Merangkum dari berita indept TEMPO tahun 2001, di sana dideskripsikan bahwa pasca penyerangan WTC pada 11 September, penduduk New York mulai beraktifitas seperti semula. Mereka mencoba membangun kehidupan sebagaimana biasanya. Namun mereka mulai menyuarakan ejekan terhadap muslim. Pun, menarik hijab perempuan ketika bertemu di jalan, sampai melarang cadar bagi muslimah.

Padahal, masih dari sumber yang sama. Dikatakan bahwa hari-hari usai tragedi, tempat penerimaan donor darah bagi korban tragedi ramai digalakkan oleh orang-orang muslim. Hal ini terlihat dari cara mereka berpenampilan sampai hijab yang dikenakan perempuan. Jika melihat dengan sadar dan nalar sehat, bentuk donor darah tersebut merupakan representasi dari ajaran Islam yang penuh kasih sayang dan gemar menolong. Akan tetapi stigma islamofobia yang dibangun Barat terlanjur menempati seluruh ruang dalam kebanyakan masyarakat.

Ekspresi Islamofobia terhangat yang sempat menyita perhatian dunia, yaitu aksi anarkis politisi Denmark yang anti-muslim, Rasmus Paludan. Setelah sukses membakar salinan mushaf Al-Quran yang dibalut daging babi pada Maret tahun lalu, pada 29 Agustus 2020 dirinya menjadi provokator demo anti-muslim di Oslo-Norwegia dan Malmo-Swedia. Meski sempat dihadang polisi setempat, aksi tersebut kembali ditutup dengan pembakaran salinan Al-Quran.

Lain hal dari itu,  ada fakta menarik soal dua pelaku pembajakan pesawat yang ditabrakkan ke menara kembar WTC. Keduanya tertangkap kamera CC tv sedang asyik berdansa dan pesta minuman keras di sebuah klub dekat kawasan mereka tinggal. Tepatnya enam jam sebelum kejadian. Larangan meminum-minuman keras dalam Islam, sudah masyhur didengar oleh beragam golongan. Lagi-lagi jika melihat dengan hati bersih, masyarakat justru diisyaratkan untuk crosscheck lebih dalam bahwa dua pelaku tersebut bukanlah orang muslim yang taat beragama.

Menangani sentimen Islamofobia ini, setidaknya bagi saya, ucapan presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menarik untuk digarisbawahi. Dia mencoba meluruskan stigma di depan warga New York tahun lalu. Dalam video berdurasi 1:21 detik unggahan Cordova Media, dirinya mengatakan,

“Teroris beridentitas Kristen yang membunuh 49 muslim tak berdosa di dua masjid di Selandia Baru. Begitupula perang Tours antara Umayyah melawan Franks (732), juga perang Vienna antara Utsmaniyah melawan koalisi Kristen Eropa (1683). Kenapa hal itu tidak disebutkan teroris ala Kristen atau agama lain?”

Maka sejauh ini, jelas bahwa tragedi 11 September menyumbang banyak embrio Islamofobia. Pembangunan narasi Islamofobia dan stigma kekerasan pada tubuh Islam, penulis katakan sebagai bukti inferioritas Barat dan hegemoninya. Islamofobia sengaja dihadirkan dan didesign oleh Barat untuk menjauhkan manusia dari Islam. Mereka terlalu takut akan bangkitnya Negara Islam yang diyakini dapat menghambat sistem kapitalis yang rusak dan merusak.

Baca Juga Artikel Lainnya: “Kedigdayaan Ekonomi China, Buatan AS?”

Oleh: Imas Dera Fadilah

Penulis adalah editor Majalah Manggala 2019/2020

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *