Polemik UU Penyiaran, RCTI dan iNews Ingin Tertibkan Media Sosial

Sang Ekonom Senior Rizal Ramli turut buka suara terkait polemik UU Penyiaran. Polemik ini mencuat ketika PT Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) ditemani PT Visi Citra Mulia (iNews TV) melayangkan gugatan kepada MK.

Laman twiter yang dibanjiri berita gugatan tersebut, bahkan sampai menjadi pebincangan hangat warga +62. Lelaki yang sering disapa Rizal pun tak tinggal diam, dia ikut menyuratkan di lawan twiter miliknya. “RCTI milik HT yg kuasai banyak channel TV menggugat UU no 32 2002 tentang Penyiaran ke MK, minta media digital ‘ditertibkan’ supaya tidak menyaingi TV. Oligopolist kok minta proteksi?” cuitan Rizal di akun Twiternya @RamliRizal. “Ini oligarchy media penjilat kekuasaan demi bisnis & proteksi hukum. Hari ini minta-minta tolong MK,” pungkasnya, Sabtu (29/8/2020).

Menurut sang Ekonom, polemik UU Penyiaran berupa gugatan yang dilayangkan kedua stasiun televisi ini diduga bagian untuk merajai penyiaran publik di jagat Indonesia. The giant ini merasa tersaingi oleh media digital yang semakin tak terhingga penggemarnya. RCTI merasa khawatir bisnis pertelevisiannya ini semakin hari semakin berkurang jumlah peminatnya.

Senada, Refly Harun, sang Pakar Hukum dan Pengamat Politik dalam kanal YouTubenya (29/8) juga turut menyinggung bahwa sudah cukup the giant televisi itu menikmati kue bisnis ekonomi selama ini, dari penyiaran. Maka saatnya sekarang, ada distribusi ekonomi kepada sebanyak mungkin konten kreator.

Gugatan RCTI dan iNews TV

Diketahui, RCTI dan iNews TV memulai polemik UU penyiaran ini dengan mengajukan gugatan uji materi UU Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran ke MK pada Juni 2020 lalu. Gugatan ini sudah bergulir di MK, Rabu (26/8/2020) kemarin. Pemohon mendalilkan pasal 1 angka 2 UU Penyiaran memberi perlakuan yang berbeda antara penyelenggara penyiaran konvensional dan yang menggunakan internet (otonominews.co.id).

Bunyi pasal 1 ayat 2 UU Penyiaran: “Penyiaran adalah (kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau saran transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perngkat penerima siaran.”

Melansir dari tribunnews.com, adapaun sidang pendahuluan MK dilaksanakan pada Senin (22/07/2020), di Ruang Sidang Gedung MK RI. Sidang tersebut dihadiri oleh kuasa hukum pemohon, dalam hal ini RCTI dan iNews.

Sidang kedua dilaksanakan pada Kamis (09/07/2020), dan berlanjut pada sidang ketiga pada Rabu (26/08/2020). Dalam sidang terakhir, turut hadir perwakilan pemerintah yang dalam hal ini adalah Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) serta kementrian Hukum dan Ham.

Kedua The Giant ini menyebut pengaturan penyiaran berbasis internet dalam pasal tersebut terbilang ambigu dan menyebabkan ketidakpastian hukum. Mereka juga mengatakan bahwa ketentuan pasal ini telah menimbulkan “kerugian konstitusional.”

Misalnya, dalam melakukan penyiaran, layanan televisi konvesional harus memiliki izin terlebih dahulu. Sementara  layanan Over The Top (OTT) yang menggunakan internet seperti YouTube, Instagram dan Facebook tidak perlu adanya perizinan. Sehingga dengan seenaknya melakukan “bisnis” siaran.

Penggugat meminta supaya MK mengubah bunyi Pasal 1 ayat 2 UU penyiaran menjadi: “Penyiaran adalah (kegiatan pemancarluasan siaran melalui sarana pemancaran dan/atau saran transmisi di darat, di laut atau di antariksa dengan menggunakan spektrum frekuensi radio melalui udara, kabel, dan/atau media lainnya untuk dapat diterima secara serentak dan bersamaan oleh masyarakat dengan perngkat penerima siaran; dan/atau kegiatan menyebarluaskan atau mengalirkan siaran dengan menggunakan internet untuk dapat diterima oleh masyarakat sesuai dengan permintaan dan/atau kebutuhan dengan perangkat penerima siaran.”

Tanggapan Pemerintah dan Dampak Bagi Masyarkat Apabila Gugatan Dikabulkan

Dalam sidang ketiga yang dihadiri Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) M Ramli, sebagai perwakilan pemerintah, pria tersebut menolak permohonan RCTI dan iNews ini.

Pemerintah menilai apabila permohonan tersebut dikabulkan, masyarakat tidak bisa mengakses media sosial secara bebas. Sebab, perluasan definisi penyiaran akan mengklasifikasikan tayangan audio visual sebagai kegiatan penyiaran yang harus memiliki izin (tribunnews.com).

Pakar Hukum dan Pengamat Politik yang merupakan pegiat YouTube juga, Refly Harun, dalam kanal YouTubenya mengatakan pada Sabtu (29/08/2020): “Adapun apabila gugatan yang diajukan RCTI dan iNews ini dikabulkan oleh Mahkamah Konstitusi, maka ada beberapa hal yang akan terjadi antara lain:

Pertama, Masyarakat tidak akan bisa bebas lagi membuat berbagai konten kreatif video untuk ditayangkan di media sosial. Semakin banyaknya pengguna media sosial, semakin banyak pula para masyarakat yang menjadi para konten kreator, seperti youtuber. Apabila gugatan RCTI dan iNews ini dikabulkan maka ini sama saja membatasi atau menghalangi para konten kreator berkreasi dan mendapatkan penghasilan. Dengan harus adanya izin dari setiap penyiaran video, akan membuat para konten kreator yang jumlahnya jutaan harus mengantri perizinan penyiaran yang tak tahu berapa lamanya. Atau mungkin mereka menyerah di awal.

Kedua, Distribusi ekonomi melalui platform media sosial akan terganggu, dan akan menumpuk kembali bermuara kepada raksasa-raksasa bisnis media televisi. Semakin berkembangnya media sosial dengan berbagai platform, memudahkan semua orang untuk mendapatkan menyalurkan bakat dan sekaligus mendapatkan penghasilan. Apabila gugatan ini dikabulkan maka para penggiat media sosial ini akan terganggu, dan distribusi ekonomi akan menumpuk kembali pada the giant media televisi.

Baca Juga Warta Lainnya: “Serupai Salib, Ornamen Logo Hut RI ke-75 Tuai Pro kontra”

Oleh: Endang kurniawan

Penulis adalah kru Manggala periode 2020/2021

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *