Pasang surut sepak terjang Pertamina kembali ramai menjadi buah bibir warga plus enam dua. Belum reda pro kontra soal pengangkatan Basuki Tjahya Purnama (BTP) alias Ahok sebagai komisarisnya, PT Pertamina (Persero) kini blak-blakan soal kerugian Rp. 11 T yang ditelannya. Terdampak wabah Corona, begitu alasannya. Sebagaimana suara Vice President (VP) Komunikasi Perusahaan Pertamina, Fajriyah Usman. Dikutip dari Antara, Selasa (25/8), “Pandemi Covisd-19 dampaknya sangat signifikan bagi Pertamina.”
Pertamina terseok-seok, kerugian bersih ini menempati rekor sebesar US$ 767,92 juta. Jumlah yang tidak sedikit, menimbang kurs US$ 1 sebesar Rp. 14.500 yang artinya setara dengan 11,13 triliun Rupiah. Menariknya, kerugian ini nyaris berbanding-balik dengan prestasi Pertamina satu warsa silam. Pada periode yang sama tahun lalu, perseroan tersebut berhasil meraup untung sebesar US$659,95 juta, atau Rp9,56 triliun.
Usut punya usut, perusahaan energi pelat merah ini mengalami triple shock sepanjang pandemi. Triple Shock atau tiga tekanan ini ialah: Pertama, turunnya harga minyak mentah dunia. Kedua, berkurangnya konsumsi BBM warga Indonesia. Ketiga, rendahnya selisih kurs nilai tukar rupiah-dolar dalam waktu dekat. Alhasil, dari hulu ke hilir, kena semua. Ketiga tekanan yang nyaris datang bersamaan itulah yang akhirnya mengantarkan Pertamina pada titik kemalangan ini.
Hal ini senada dengan analisa Fajriyah Usman. “Penurunan demand, depresiasi rupiah, dan juga crude price yang berfluktuasi sangat tajam membuat kinerja keuangan kami sangat terdampak,” tutur lisannya.
Triple Shock Kala Pandemi
Telisik lebih dalam lagi, harga minyak global di tengah pandemi memang begitu anjlok. Dilansir dari bbc.com (23/04), di Amerika Serikat, harga minyak turun di bawah nol untuk pertama kalinya. Sementara di pasar Asia, patokan harga minyak Eropa (Brent Crude) sempat turun menjadi sekitar $16 per barel, rekor tertinggi selama 20 tahun terakhir ini. Hal ini menyebabkan permintaan migas terus merosot.
Menjadi auto-double attack bagi Pertamina, pandemi juga berhasil menghipnotis lagi menepis daya konsumsi manusia, termasuk dalam sektor Bahan Bakar Minyak (BBM). Pun, ramai tag #dirumahaja, digitalisasi ragam aktivitas, juga diberlakukannya kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) cukup membuat human mobility skala nasional signifikan berkurang. Dengan demikian, konsumsi BBM dalam negeri semakin merosot bin anjlok.
Menginduk kalkulasi dan informasi Fajriyah, dilansir CNNIndonesia.com (25/08). Penurunan demand terlihat dari konsumsi BBM secara nasional yang sampai Juni 2020 hanya sekitar 117 ribu kilo liter (KL) per hari. Permintaan itu turun 13% dibandingkan periode yang sama tahun 2019. Kala itu, konsusmsi BBM tercatat mencapai 135 ribu KL per hari. Lebih parahnya lagi, masa gencarnya PSBB di beberapa kota besar penurunan permintaan sempat tembus hingga 50-60%.
Singkat kata, anjloknya harga migas global dan merosotnya konsumsi BBM nasional ini mengakibatkan terseok-seoknya pos penjualan dan pendapatan Pertamina. Yakni dari US$25,54 miliar menjadi US$20,48 miliar, atau sebanyak 24,71%. Yang bila ditarik benang merah, manjadi salah satu “aktor” dibalik meruginya Perusahaan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) ini.
Kerugian ini masih dan makin diperparah dengan membengkaknya selisih kurs antara dolar-rupiah. Yang mana sempat menginjak US$211,83 juta. Berbeda dengan periode yang sama tahun lalu, dari selisih kurs sebesar US$64,59 juta, Pertamina berhasil mengantongi keuntungan.
Pertamina Rugi Kala Pandemi, Menteri ESDM: Kita Maklumi
Isu yang meluas ini tidak hanya sedap “digoreng” netizen sehingga menjadi tranding topic di Twitter. Dikabarkan finance.detik.com, anggota Komisi VII Fraksi PKB, Ratna Juwita Sari bahkan gatal untuk tidak berkomentar. Ratna meminta penjelasan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait nasib malang yang ditimpa salah satu BUMN terbesar Indonesia.
Menanggapi pintanya, Arifin Tasrif, Menteri ESDM buka suara. Ia mengklaim bahwa kerugian ini disebabkan beberapa faktor, senada dengan apa yang disinggung Fajriyah. Arifin menambahkan, kerugian semacam ini baiknya dimaklumi saja. “Secara general kita bisa memaklumi karena semua perusahaan terdampak tapi secara perhitungan, yang menghitung yang bisa mengeluarkan angkanya,” lisannya.
Gayung bersambut, pendapat ini kemudian diperkuat oleh kalam parktisi industri migas. Rudi Rubiandi menuturkan dalam kumparan.com (21/4), “Itu logis. Pada saat tangki sudah pada penuh, permintaan turun, beberapa lapangan minyak ada yang tidak bisa ditutup, sekali ditutup tidak akan hidup lagi, maka memilih berutang pada pembeli. Nanti dibayar saat harga naik lagi. Contoh minyak HPPO (minyak kental) yang kalau tidak dipanaskan membeku, maka tidak bisa sumurnya tidak diinjeksi uap dan seluruh peralatan menggunakan pemanas.”
Melempar pandang ke dunia global, sebagai perusahaan migas yang merugi, Pertamina tidak sendiri. Dinukil dari forbes.com, perusahaan migas Amerika Serikat, ExxonMobil mencatat kerugian sebesar USD 1,3 (Rp. 19 T). Nasib lebih buruk dialami perusahaan-perusahaan migas Eropa. Yakni BP asal Inggris yang rugi USD 6,7 miliar (Rp. 98,1 T). Juga Total asal Prancis rugi USD 8,4 miliar (Rp. 123 T). Bahkan yang terburuk Shell asal Belanda rugi sebanyak USD 18,4 miliar (Rp 270 T).
Meski pahitnya rugi telah ditelan pada awal semester, Pertamina masih menaruh harapan baik untuk Semester II 2020 ini. Pulihnya harga migas di kisaran US$ 40 hingga US$ 45 per barel, didukung ramainya upaya penemuan vaksin; setidaknya menjadi angin sejuk lagi sinyal positif untuk akhir tahun ini. Pertamina optimis dapat meraup untung positif walau tipis.
“Kita melihat perkembangan Juli dan Agustus menunjukkan perbaikan. Kita sudah melakukan prognosa mudah-mudahan akhir Desember bisa membukukan positif meskipun tipis tapi recover-nya mulai kelihatan,” kata Direktur Keuangan Pertamina, Emma Sri Martini di Komisi VII DPR Jakarta, Rabu (26/8/2020).
Baca Juga Warta Lainnya: “Kabinet Jilid Dua dan Balada Kontroversinya”
Oleh: Salma Azizah Dzakiyyunnisa
Penulis adalah Pimpinan Umum Majalah Manggala 2019/2020