Oleh : Muhammad Abdul Hamid
Setelah terpilihnya kembali Joko Widodo sebagai presiden, Rabu 23 Oktober 2019, sosok yang familiar disapa Jokowi dan wakilnya K.H Ma’ruf Amin melantik 34 menterinya di Istana Negara. Sejak Senin (21/10/2019), Jokowi memanggil calon menteri Kabinet Kerja Jilid II ke Istana Merdeka. Pertemuan dilakukan secara tertutup. Dikutip dari detik.com, komposisinya kabinet kerja jilid 2 terdiri dari, 57 % calon menteri berlatar belakang profesional sementara 43 % berangkat dari latar politik. Namun pemilihan menteri-menteri tersebut beberapa di antaranya mengundang kontroversi publik. Pasalnya selain dianggap bukan ahlinya, ada juga menteri yang pernah diberi sanksi pelanggaran etik kedokteran.
Berikut beberapa
menteri yang mengundang kontroversi publik adalah: (1) Mentri Agama, Fachrur
Razi pasalnya ia dinilai tidak ada kecocokan dengan background-nya yang
merupakan seorang militer dan tidak memiliki riwayat tergabung dalam basis
keagamaan (2.) Menteri Kesehatan,
Terawan yang memiliki riwayat pelanggaran kode etik kedokteran (3.) Jaksa Agung, ST Burhanuddin yang
dianggap memiliki kepentingan politik tententu, merupakan adik politisi PDI-P
TB Hasanuddin (4.) Mendagri, Tito Karnavian yang dinilai belum mampu
menuntaskan penyiraman air keras yang dialami penyidik KPK Novel Baswedan (5.)
Menkumham, Yasonna Laoly yang dianggap kontroversial terkait dengan UU KPK yang
tercipta pada akhir periode Jokowi-JK (6.) Mendikbud, Nadiem Makarim yang semula
merupakan Bos Go-Jek dinilai tidak ada background dalam dunia politik dan
pendidikan. (7.) Menhan, Prabowo yang merupakan lawan politiknya dalam
pemilihan presiden.
Kendati demikian Jokowi mempunyai alasan tersendiri dalam memilih menteri yang dinilai kontrovesial oleh publik. Misalnya seperti Fachrul Razi, yang dipilih Jokowi sebagai Menteri Agama. Jokowi memiliki alasan tersendiri untuk memilihnya. Menurut Jokowi, Fachrul memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah radikalisme. “Kita ingin yang berkaitan dengan radikalisme, yang berkaitan dengan intoleransi itu betul-betul konkret bisa dilakukan oleh Kemenag,” kata Jokowi seperti diberitakan Kompas.com, Kamis (24/10/2019).
Pemilihan Yasonna Laoly, dianggap kontradiksi dengan komitmen Jokowi dalam mengentaskan masalah korupsi. Pasalnya adalah UU KPK yang tercipta pada akhir periode Jokowi-JK. Jokowi menyebut, penugasan kembali Yasonna salah satu alasannya untuk memperbaiki RUU yang dianggap bermasalah. “Saya sudah tahu Pak menteri ini lama, secara pribadi. Saya sampaikan dan saya tugasi untuk memperbaiki, mengoreksi apa-apa yang memang perlu diperbaiki,” kata Jokowi. Sebelumnya Jokowi sempat memutuskan penundaan pengesahan empat RUU yang sudah dibahas pemerintah dan DPR karena protes masyarakat.
Ditambah lagi dengan Penunjukan Tito menuai banyak pertanyaan publik. Salah satu alasannya, karena Tito dianggap belum bisa mengungkap kasus penyiraman air keras yang dilakukan terhadap penyidik KPK Novel Baswedan. Kasus yang erat kaitannya dengan penutupan skandal korupsi. Dilansir dari Tempo.co terkait dengan kasus Novel yang belum terungkap, Jokowi menilai itu bukan masalah. Meski Tito tak lagi memimpin Korps Bhayangkara, tapi tetap pengejaran pengusutan kasus Novel akan dilakukan oleh kapolri yang baru. Ia juga menilai, hubungan Tito dengan kepala daerah juga baik, sehingga menurutnya ini awal yang baik untuk menciptakan lapangan kerja agar investasi di daerah berjalan baik. “Ya kita tahu Pak Mendagri ini memiliki pengalaman di daerah, pengalaman yang baik di lapangan,” ujar Jokowi.
Yang tak kalah kontroversial adalah penunjukan Prabowo. Salah satunya karena dalam pilpres 2019, Prabowo adalah lawan dari Jokowi. Terkait hal tersebut, Jokowi memberikan alasan penunjukan Prabowo. “Kita ini ingin membangun sebuah demokrasi gotong royong,” kata dia. Jokowi menjelaskan, di Indonesia tidak ada yang namanya oposisi seperti di negara lain. Demokrasi Indonesia adalah demokrasi gotong royong. Karena itu, Jokowi tidak masalah rivalnya masuk kabinet.
Cara Presiden Jokowi menyusun kabinet ini dinilai lebih banyak masuk kepentingan elite politik dibandingkan periode sebelumnya. Bahkan, peneliti organisasi antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW), Donal Fariz, menilai Jokowi telah tersandera elite politik dalam menentukan kabinet 2019 – 2024. “Hitung-hitungan politiknya jadi lebih rumit bagi presiden. Termasuk juga dengan koalisi yang lebih besar, dari periode yang sebelumnya,” kata Donald (https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-50079483, diakses 27 Oktober 2019).
Dia menganggap, lima tahun silam saran dan masukan dari kedua lembaga ini diperhatikan untuk mendapatkan calon menteri yang memiliki rekam jejak yang baik serta berintegritas. Dia menganggap, lima tahun silam saran dan masukan dari kedua lembaga ini diperhatikan untuk mendapatkan calon menteri yang memiliki rekam jejak yang baik serta berintegritas. Keterlibatan KPK dan PPATK juga sebagai langkah mencegah masalah korupsi di kemudian hari, ujar Donal Fariz. “Tapi tidak untuk periode ini,” katanya.
Terlepas dari berbagai kontroversi, tentunya pemilihan para menteri memiliki nilai tanggung jawab yang besar, baik kepada konstitusi dan masyarakat demi tercapainya cita-cita negara. Kinerja para menteri berupa aksi nyata akan menjadi bukti yang dapat mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah sebagaimana ungakapan arab mengatakan “lisanul hal Afshahu Min Lisanil maqol”. Bersamaan dengan munculnya kabinet baru iringan harapan dan doa menyertai dalam mewujudkan Indonesia maju.