Pernahkah anda berpikir mengapa iklan rokok selalu menampilkan gambaran pria yang gentle? Atau iklan kosmetik wanita yang selalu menampilkan wanita dengan kulit yang putih, dan seakan-akan bersinar? Mengapa harus demikian? Pertanyaan ini dapat menjadi penting kalau kita menghetahui konsekuensi dari iklan tersebut terlebih dahulu.
Konsekuensi yang paling fatal adalah penggiringan gambaran publik terhadap pria yang gentle adalah pria yang merokok. Atau dalam iklan kosmetik, konsekuensinya adalah penggiringan gambaran publik terhadap definisi wanita cantik yang haruslah berkulit putih. Apakah pria yang gentle haruslah merokok? Dan apakah wanita cantik haruslah berkulit putih? Tentu tidak. Dan tentunya, anda sepakat dengan saya. Mari kita jebol iklan tersebut.
Teori Tanda Ferdinand de Sasussure dan Roland Barthes
Dalam dunia linguistik, ada satu teori terkenal yang dicetuskan oleh Ferdinand de Saussure mengenai tanda. Menurutnya, sebuah kata ada untuk membedakannya dengan sesuatu yang lain. Seperti kata I-B-U yang menjadi pembeda dari kata U-B-I. Pada teori ini, kita harus menghetahui dikotomi penting: Penanda dan Petanda. Penanda adalah susunan kata, dan petanda adalah gambarna dari kata tersebut. Ketika membayangkan ibu, kepala anda pasti langsung mengarah ke seorang perempuan yang sedang menunggu anda di rumah. Ibu anda. Dan itulah yang dimaksud dengan konsep tanda.
Dari dikotomi tersebut, Roland Barthes mengembangkan teorinya yang kita kenal dengan denotatif dan konotatif. Teori ini bermain pada tataran makna. Mudahnya, denotatif adalah makna umum, dan konotatif adalah makna khusus. Ketika anda membayangkan ibu, secara denotatif adalah seseorang yang melahirkan anda. Tapi secara konotatif, anda dapat memaknai ibu sebagai seorang yang penyayang, seorang yang galak, seorang yang pekerja keras, tergantung dengan pengalaman anda dengan ibu. Dari sini kita baru akan bermain dengan bahasa.
Perjalanan dari makna denotatif menuju makna konotatif sangatlah mudah. Anda hanya membutuhkan beberapa syarat, salah satunya adalah pengalaman. Misalnya ketika anda bertemu “anak Punk” yang menurut masyarakat adalah orang-orang yang “kurang baik”. Namun ketika anda benar-benar bertemu dengannya, rupanya “anak Punk” tersebut tidak seburuk apa yang dikatakan masyarakat. Ketika anda bertemu dengan anak Punk tersebut, mereka sedang membagi-bagikan makanan kepada masyarakat miskin misalnya. Semenjak itu, pandangan anda mengenai anak Punk berubah. Dari yang awalnya, “kurang baik” (menurut masyarakat) menjadi “baik”.
Perjalanan yang cukup sulit terjadi dari makna konotatif menuju makna denotatif. Perjalanan ini mengandaikan upaya yang cukup besar, dan biaya yang tidak murah. Di sini, pemaknaan yang mulanya bersifat khusus, dipaksa berubah menjadi pemaknaan yang bersifat umum. Contoh termudahnya adalah apa yang dilakukan oleh perusahaan rokok dan perusahaan kosmetik ketika membuat iklan. Dan hal ini nantinya berkaitan erat dengan Mitos.
Menurut Roland Barthes di bukunya Mythologies, mitos adalah suatu konsep wicara atau konsep untuk menyampaikan pesan. Pada konsep ini, pemain mitos mempermainkan sesuatu yang terlihat alamiah dalam realitas yang ada, dn memaksa kita untuk percaya. Tentunya pemaksaan terjadi secara tidak sadar. Para pemain mitos, memproduksi suatu tanda secara besar-besaran, dan menggiring publik kepada suatu gambaran yang pasti. Sebenarnya bukan itu saja. Para produsen mitos turut membongkar suatu penanda, seperti yang kita lihat pada iklan rokok atau kosmetik.
Permainan Tanda Iklan Rokok dan Kosmetik
Jelas, dalam iklan rokok, tidak ada gambar dari rokok sama sekali. Atau adegan dari seseorang yang menghisap rokok. Tak ada penanda rokok di sana. Yang ada, hanya seorang pria yang berjelajah di tengah padang pasir atau gunung, dengan adegan yang menantang. Dari sana, mulanya, produsen mitos ingin menjebol penanda dari rokok. Setelah penanda rokok berhasil dijebol, produsen rokok, secara tidak langsung, menjebol petanda pada rokok. Dari iklan tersebut, gambaran rokok yang sebanarnya hanya lintingan tembakau, dapat berubah menjadi gambaran sebuah alat yang kalau pria menghisapnya, pria tersebut akan terlihat keren dan gentle. Tanda rokok menjadi kabur, dan mitos mulai terbangun.
Pada dasarnya, menurut Barthes, mitos diciptakan oleh kaum borjouis untuk melanggengkan kekuasannya. Karena bagaimanapun, kaum borjouis akan selalu mendapatkan keuntungan dari pemroduksian mitos-mitos. Mitos memiliki tiga ciri: The Inaculation (untuk menyelebungi kejahatan), The Privatisazion of History (untuk penghapusan beberapa sejarah yang merugikan), The Statement of Fact (untuk menormalisasi pesan). Iklan rokok dan iklan kosmetik, seperti yang saya bilang, menormalisasi suatu pesan agar sesuatu itu dapat terlihat alamiah dan abadi. Jadi di titik ini, kita menyadari bahwa mitos tidak pernah menguntungkan dua sisi: produsen dan konsumen. Keuntungan hanya akan sampai pada produsen mitos.
Lalu apa yang harus kita lakukan sekarang? Kita harus dapat menjebol mitos-mitos tersebut. Cara yang paling mudah adalah dengan tidak menerima mitos-mitos itu secara naif. Saya perokok, dan menurut saya pribadi menjadi perokok bukanlah suatu hal yang menandakan ke-gentle-an saya seperti yang digambarkan pada iklan rokok. Begitu pun dalam iklan kosmetik. Kulit putih bukanlah suatu hal yang menandakan kecantikan seorang wanita. Seorang pria tetap dapat dikatakan gentle tanpa harus merokok. Dan seorang wanita dapat tetap dikatakan cantik, meskipun tidak berkulit putih. Dan masih banyak mitos-mitos lain yang menghantui dunia kita sekarang.
Baca Juga Artikel Lainnya: “Tuhan Yang Maha Ibu?”
Oleh: Mahardika Mufthi
Penulis adalah pemimpin redaksi Majalah Manggala 2018/2019