Di hari yang sama setelah saya terpilih sebagai pimpinan redaksi Kintaka.co, senior yang juga founding father Kintaka mengatakan “Kelihatan sekali bahwa kamu tidak menikmati apa yang kamu tulis.” Sebelum saya mencerna pernyataannya beliau melanjutkan, seakan sekedar monolog, “Jangan tanya saya tahu dari mana. Kalau sudah membaca banyak tulisan hal-hal seperti itu akan nampak dengan sendirinya. Pengalaman.” Kemudian beliau tertawa narsis.
Sebelum saya meneruskan curahan hati ini, saya mohon maaf kepada yang bersangkutan, dialog diatas saya ambil dari sisa-sisa ingatan yang mungkin tidak begitu faktual.
Di malam hari yang sama saya merenung. Seandainya menulis, satu-satunya kegiatan yang saya banggakan, dianggap tidak bisa saya nikmati, lalu, apa yang benar-benar bisa saya nikmati? Jika mengambil kata-kata tokoh Rancho dalam 3 Idiots, jika kita mencintai seseorang (atau sesuatu) maka kita akan merasakan:
Wind whisper a melody
Your scarf flies in slow motion
The Moon appears a gigantic
Ketika saya ingat-ingat, selama saya menulis ‘untuk orang lain’. Maka hal-hal menakjubkan tadi, yang terdengar imajiner namun sebenarnya kiasan bahwa saat-saat mencintai adalah saat-saat di mana kita memang memasuki dimensi lain. Setidaknya sesuatu yang menakjubkan sedang berada dalam diri atau pikiran kita.
Malam-malam yang saya lewati setelah percakapan di Rumah Budaya Akar itu membuat saya mengisolasi diri. Selain karena Covid, saya berusaha mencari ke dalam diri saya, jawaban atas pertanyaan “Apa yang sebenarnya saya nikmati?”
Dan kesimpulan yang saya dapat sementara ini adalah “Bahkan hidup saja gagal saya nikmati.”
Tapi santuy, saya tidak bermaksud membagi perasaan life quarter crisis yang sedang saya alami lewat tulisan ini. Mungkin bisa saya katakan bahwa yang saya tulis tidak begitu tertata. Hanya suara hati seseorang yang belakangan ini berniat tidak akan menulis lagi.
Pertama, kita tahu bahwa puisi adalah bukti eksistensi seorang penyair, sama seperti masakan merupakan bukti eksistensi Sanji, maksud saya seorang koki. Puisi bukan hal yang berada dalam diri penyair, masakan dan koki merupakan dua hal yang sepenuhnya terpisah. Namun, bila seorang penyair dihina karena puisinya dianggap jelek atau juru masak diprotes karena masakannya terlalu asin, maka kebanggaan mereka mulai goyah. Yang diprotes memang bukan sesuatu yang ada pada dirinya, namun hal yang melekat dan menjadi bukti eksistensi sama saja dengan esensi. Seorang penyair akan membela dirinya sendiri demi menjaga kebangaan eksistensialnya.
Dalam psikoanalisis, narsisme tumbuh karena kecintaan pada diri sendiri. Bila seorang begitu mencintai proses masak-memasak maka ia akan mecintai momen ketika ia belajar bagaimana memadukan bumbu dan bahan. Ia pun akan bangga bila hal yang ia cintai mendapat apresisasi dari orang lain. Ketika ia mencintai suatu pekerjaan, maka ia akan merasa bahwa pekerjaan itu adalah takdir hidupnya, seolah ia dan pekerjaan itu adalah dua hal yang satu. Penyair akan menemukan dirinya yang utuh dalam puisi, sebagaimana seorang juru masak menemukan dirinya dalam masakan, seperti yang diungkapkan Erich Fromm dalam bukunya Art of Loving. Kolaborasi yang saya kira hanya bisa diungkapkan dengan pengalaman indrawi. Bukan dengan kata-kata semata.
Cinta merupakan hal yang bersifat spiritual seperti agama yang bagi Carl Jung ia definisikan seperti ‘realitas yang agung’.
Cinta, muncul dengan sendirinya ketika saya mulai menikmati dunia tulis-menulis. Sama seperti permisalan diatas, puisi dan penyair, chef dan masakan. Saya dan tulisan. Dan bila akhirnya saya menyadari, pada satu titik, saya tidak menikmati bukti eksistensi saya, lantas apa ada hal lain yang bisa saya banggakan?
Kedua, demi menjawab pertanyaan “Kenapa saya tidak bisa menikmati tulisan saya?” akhirnya saya menemukan pertanyaan baru “Untuk siapa saya menulis?”
Saya pikir seorang penyair yang mencintai puisi, seperti juru masak mencintai makanan adalah hal yang bersifat personal. Mereka tidak butuh pengakuan orang lain atas kecintaan mereka. Awalnya seorang calon penyair membaca puisi lantas ia jatuh cinta pada sajak-sajak, sebenarnya ia tidak butuh alasan lain untuk mengakui bahwa ia menemukan minatnya.
Seseorang yang cenderung menikmati hidup dalam privasi, tidak begitu tertarik dengan keramaian, yang orang kini akrab dengan istilah introvert, memang cenderung melihat dunia kedalam dirinya. Mencari hal-hal yang maha luas yang bisa ia temukan dalam diri sendiri. Seperti saya yang menikmati dunia tulis menulis sebagai pelampiasan, saya menulis karena saya suka. Namun bila saya menjadi bagian dari sebuah kelompok yang menjadikan kegiatan menulis sebagai tuntutan, maka kesan yang ditimbulkan dari menulis akan berbeda dibanding ketika saya menulis atas kesadaran diri sendiri seperti sebelum-sebelumnya.
Sama bila seseorang menggeluti tulis menulis bukan untuk publikasi, ia cenderung tidak percaya diri akan kualitas tulisannya bila ada orang lain yang melihat, atau perasaan khawatir bila banyak orang yang salah persepsi. Bagi saya alasan itu sedikit wajar karena kita hidup di tengah orang-orang yang, mengutip Carl Jung, lebih suka menilai langsung alih-alih menganalisa terlebih dulu.
Saya ambil contoh hal yang mungkin menumpulkan minat tulis menulis. Belakangan ini, saya melihat setidaknya dua kali sebuah tulisan memancing kontroversi. Saya tidak bermaksud membela, namun saya hanya memposisikan diri sebagai seorang yang sedang belajar menulis. Tulisan pertama dari seorang penulis yang cukup produktif di blog pribadinya yang mengomentari bahwa mahasiswi Indonesia di Mesir begitu minim narasi, dan dibanding mahasiswanya penulis menganggap para mahasiswi kekurangan karya nyata. Tulisan tersebut bagi saya murni opini dari penulis yang melihat ketimpangan literasi dua kubu lain gender tersebut.
Yang kedua, tulisan seorang mahasiswa Indonesia di Mesir yang termuat di Terminal Mojok. Memang , kontroversi muncul lantaran fakta yang disajikan penulis adalah fakta-fakta yang tidak-tidak. Sesuatu yang sensitif lantaran dianggap aib, meskipun aib kolektif dan diakui bersama. Saya percaya, tidak sedikit mahasiswa baru yang awalnya menganggap kuliah di Mesir seindah kehidupan cinta Azzam di film KCB, atau semegah yang diceritakan buku sejarah Islam, atau semenjanjikan iming-iming masa depan versi broker (mediator yang membawa mereka ke Mesir).
Terlepas dari logika dan etika yang menjadi bahan perdebatan, penulis-penulis tersebut mengingatkan saya pada teori struktur kepribadian Frued. Dimana ia menyatakan bahwa kepribadian manusia terdiri dari tiga struktur; Id, Ego, dan Super-Ego.
Id adalah struktur yang ada sejak lahir yang berupa imspuls-impuls yang didorong oleh prinsip kesenangan. Kegiatan yang berlandaskan Id adalah kegiatan yang menimbulkan rasa senang alamiayah. Seperti seorang anak yang hobi menyusui dan ketika gatal ia refleks menggaruk.
Id bersifat amoral, maka manusia membutuhkan keseimbangan dengan adanya Super-Ego. Super-Ego bekerja berlandaskan prinsip etika yang ditumbuhkan orang tua maupun lingkungan. Ketika seorang anak melewati masa pertumbuhan, orang tuanya akan mengajarkan mana yang baik dan mana yang buruk, bila anak tersebut melakukan hal-hal yang tidak sopan, orang dewasa akan mengatakan “Hush, jangan begitu nak, tidak baik.” Maka dalam diri si anak tumbuh prinsip kesadaran etis.
Freud mengatakan bahwa sepanjang usia manusia, Id dan Super-ego selalu bertarung demi dominasi. Dan yang nantinya menjadi kepribadian manusia yang nampak dari luar adalah prinsip Ego. Ego bekerja atas prinsip realita. Bila Id hidup di alam bawah sadar dan Super-Ego di alam pra-sadar, maka Ego bisa dilihat di alam sadar, dimana struktur egolah yang menentukan apa yang akan kita lakukan, dan sebagai pertimbangan kapan melakukan sesuatu atas dasar kesenangan semata (Prinsip Id) dan kapan melakukan hal yang etis (Prinsip Super-Ego)
Bila penulis-penulis diatas, yang menulis karena kesenangan (Id) lalu timbul polemik, bisa jadi prinsip Super-Egonya mengatakan padanya agar tidak menulis tulisan sejenis demi kenyamanan bersama. Namun, bila timbul trauma, baik karena physical bullying ataupun karena protes yang masif bisa jadi Super-Ego mereka berbisik “Demi kenyamanan pribadi, menulislah! Namun jangan publikasi.” Namun, bisa jadi ketakutan berlebih menyertai perasaan penulis dan akhirnya Super-Ego mereka yang dominan, akhirnya prinsip kesenangan yang dirasakan ketika menulis harus mengalah pada istilah kenyamanan bersama.
Dan bila akhirnya menulis tanpa orang lain tahu, bisa jadi tidak banyak perkembangan yang bisa diraih. Karena menutup diri dari dialektika dan saran-saran yang membangun, yang pastilah muncul ditengah gelombang protes yang berusaha dihindari.
Lalu, ketika saya membayangkan efek tulisan pada diri saya yang cenderung suka mencari aman, saya mempertanyakan quotes terkenal yang biasa dikutip media-media Masisir (mahasiswa Indonesia di Mesir)
“Menulis adalah bekerja untuk keabadian” – Pramoedya Ananta Toer
Untuk menulis demi keabadian, saya kira perlu berusaha menjadi seperti pepatah yang mengatakannya. Pram, dimana tulisannya hidup bertahun-tahun karena memang yang menulisnya adalah seorang Pramoedya Ananta Toer. Seandanya saya menulis di Manggala, lalu website Manggala bangkrut. Maka, mungkin tulisan saya hilang dan boro-boro abadi, mungkin saya juga lupa bahwa saya pernah menulis.
Lalu, melihat dunia tempat saya hidup, saya rasa menulis tidak lagi sepenting ketika periwayatan hadits sedang gencar-gencarnya. Atau ketika media informasi tidak bisa sembarangan diakses. Era kita hidup, menjadi artis tidak perlu tahu perbedaan fiksi dan non-fiksi. Menjadi pengusaha cukup mempelajari ekonomi praktis dan belajar melihat peluang. Menjadi ustadz hijarahpun kini hanya membutuhkan keahlian retorik.
Jadi, di tengah pertanyaan atas eksistensi diri sendiri dan konteks masyarakat tempat saya hidup, apa sebaiknya saya berhenti menulis saja?
Baca Juga Artikel Lainnya: “Sastra Islam: Perbandingan Psikologis“
Oleh: Azrul Faisal Kazein
Penulis adalah Pimpinan Redaksi Majalah Manggala 2017-2018 dan Website Kintaka.co 2019-2020