Dalam esai sebelumnya, saudara Mahardika membuka tulisan dengan mengutip Art of Loving-nya Erich Fromm, seorang Psikoanalis Amerika. Fromm lahir di Jerman sebagai seorang Yahudi lalu bermigrasi ke AS. Ia berpendapat bahwa ritual penyembahan Tuhan sangat tergantung dengan pemahaman tentang konsep Tuhan itu sendiri.
Nantinya, proses menemukan konsep itu akan membawa kita melihat dalam lintasan sejarah. Bahwasanya Tuhan sebagai objek historis tak pernah luput dari sifat-sifat yang dilekatkan padanya. Sifat dominan pada Tuhan entah itu maskulinitas maupun feminitas akan membawa kita lebih jauh pada semesta simbol.
Saya sangat mengapresiasi saudara Mahardika yang fokus tulisannya mengacu pada teori Psikologi analitis milik Carl Gustav Jung. Jung selalu menyatakan bahwa manusia di setiap ranah hidupnya tidak bisa lepas dari simbol, termasuk dalam kehidupan beragama. Dibanding pendahulunya Freud, Carl Jung lebih menghargai agama sebagai realitas agung. Mahardika, layaknya seorang Jungian, menguatkan argumentasinya dengan mengutip dalil-dalil agama, baik dari al-Qur’an (Al-Ahqaf: 15). Pun, hadits tentang keutamaan Ibu dibanding ayah. Bahkan mengambil dalil Ke-Ibu-an Tuhan dari ayat-ayat Taurat seperti Kejadian 3:23, Kejadian 7:10, Kejadian 9:18-27 dan Kejadian 22:2.
Sebagai penutup saudara Mahardika menulis “Dengan mengenali Ibu, kita dapat mengenali Tuhan.” Lantas ia memilih menyembah Tuhan lewat konsep ke-Maha Ibu-annya setelah mensifati Tuhan dengan sifat dominan feminim seperti maha Pengasih dan Penyayangnya. Meski ia tidak menegasikan sifat maskulinitas dari Tuhan, pilihannya membawa ia pada konsekuensi, “Saya menyembah Tuhan bukan karena Ia Maha Pemberi Ganjaran. Namun karena Ia Maha Pengasih dan Penyayang.”
Itu pilihan yang penulis ambil. Saya sendiri senang karena jika kita menyembah Tuhan berlandaskan sifat-sifat-Nya yang welas asih. Kita akan lebih merasa berharga sebagai hamba dan tentu lebih percaya diri. Biasanya bila kita menyembah-Nya berlandaskan doktrin bahwa bila kita melanggar maka kita akan diazab, maka perasaan yang mendominasi kita sering kali malah hal-hal yang mengancam. Ketakutan akan masa depan yang jauh kadang kala menjadi motivasi yang tidak benar-benar kita nikmati.
Namun, dalam sejarah begitulah yang terjadi. Saya akan memberikan alternatif lain sesuai dengan bacaan-bacaan saya yang terbatas, tentang patriarki agama milik Freud dan konsep Tuhan menurut teori evolusi Darwin yang dikembangkan secara lebih luas dan menakjubkan oleh Noval Yuah Harari lewat bukunya, Sapiens.
Tuhan yang Ditemukan
Dalam asmaul husna salah satu sifat Tuhan adalah Al-Awwal atau yang Maha Ada sebelum segala sesuatunya ada (Al-Hadid: 3). Yang berarti bahkan bila segala sesuatu tidak mengenal Tuhan bukan berarti Tuhan itu tidak ada, melainkan mereka belum menemuka-Nya. Seperti kisah Nabi Ibrahim yang mencari dan akhirnya menemukan Tuhan.
Saya percaya, seperti juga Mahardika di esainya tersebut bahwa sebagian besar kita menemukan Tuhan sebagai sebuah warisan pengetahuan. Kita menemukan Tuhan melalui apa yang orang tua kita gambarkan. Karena orang tua saya Islam, maka Tuhan yang saya kenal sejak dulu adalah Allah yang maha Esa, bukan Tuhan yang memiliki pribadi dalam satu substansi, bukan pula Tuhan yang menjelma menjadi spirit dalam banyak objek. Namun, ternyata Tuhan yang dikenalkan oleh orang tua saya berbeda dengan yang diketahui teman lama saya. Padahal kita menganut agama yang sama, Islam. Saya dikenalkan bahwa Tuhan berada di atas singgasana yang disebut Arsy. Kawan saya diajarkan bahwa Tuhan terlalu sempurna untuk menempati ruang. Maka Tuhan yang ideal menurut kawan saya adalah Tuhan yang transenden, tidak berada pada ruang dan waktu apa pun.
Konsep “Tuhan yang Ditemukan” dalam agama-agama samawi mirip dengan apa yang saya jelaskan; Proses pewarisan dogma. Hingga jika dirunut ke awal mula, proses pewarisan identitas Tuhan ini akan berakar pada sumber utamanya, Tuhan itu sendiri. Yang pada akhirnya proses pencarian itu akan berhenti. Kemudian apa yang Tuhan inginkan hanyalah apa yang bisa kita tafsirkan dari proses pewarisan ini. Sementara bila kita mau jujur, hal-hal yang terlampau kompleks itu seringkali bersifat spekulatif.
Berbeda dengan konsep “Tuhan Yang Ditemukan” milik Freud maupun Harari. Lewat buku fenomenalnya, Sapiens, Yuval Noah Harari membagi tahapan evolusi manusia dalam sejarah hingga dewasa ini menjadi 3 tahapan: Evolusi Kognitif, Evolusi Pertanian, dan Evolusi Sains.
Evolusi Kognitif menjadi awal mula proses pembedaan Homo Sapiens dengan kerabat terdekatnya yang (saya juga tidak setuju) sama-sama dari jenis Kera, seperti Homo Erectus dan neanderthal. Evolusi Kognitif menghasilkan koloni yang jelas berbeda. Peningkatan dalam berbahasa dan komunikasi yang lebih efektif. Juga organisasi dalam koloni yang lebih terstruktur karena untuk pertama kalinya mereka menunjuk satu pejantan alfa sebagai pemimpin koloni. Dari Evolusi Kognitif ini lah mereka mulai rajin berpikir. Istilahnya, lebih mampu menggunakan otak mereka secara radikal.
Evolusi Kognitif yang disertai gaya hidup nomaden sebagai pemburu-pengumpul tidak terjadi selamanya. Setelah semakin banyaknya anggota koloni, nenek moyang kita (versi Darwin cs) mulai memasuki era baru yang disebut Evolusi Pertanian. Mereka mulai membangun pemukiman, hidup dengan mengandalkan tanah tempat mereka menetap. Dari sini muncul kerajaan-kerajaan, sistem kasta, kelas masyarakat, dan akhirnya masalah sosial jauh lebih kompleks dan rumit.
Ketiga, Evolusi Sains, yang tidak akan saya jelaskan karena bacaan saya belum sampai pada bab itu.
Dari kedua proses itu, kita akan menemukan bahwa konsep “Tuhan yang Ditemukan” adalah bagian dari evolusi kognitif. Di mana sapiens mulai menyusun hal-hal yang disepakati agar sinergi mereka lebih kuat. Seperti kebebasan, dominasi, kepatuhan, dan yang paling penting kesepakatan itu menjadi mitos yang tak lain adalah cikal bakal munculnya kepercayaan terhadap Yang Maha Kuat.
Ketika sapiens hidup menetap dan bertani mereka mulai menyadari gejala alam yang tak mampu digapai nalar mereka yang baru berevolusi. Seperti bencana alam, perubahan musim, kesuburan tanah. Kemudian ujung pertanyaan-pertanyaan sejenis menghasilkan mitos yang disepakati, bahwa ada sesuatu di atas sana yang mengendalikan.
Munculah ritual-ritual dengan tujuan mengambil hati Sang Maha Kuat. Dari sini, sifat maskulinitas lah yang pertama dilekatkan pada entitas imajiner mereka. Mereka beranggapan bila ritual dengan sempurna telah terlaksana dewa-dewa akan memudahkan urusan mereka (menyembah dengan asas pemberian ganjaran). Lantas bila mereka melakukan suatu kesalahan, mereka akan melakukan upacara pertobatan memohon ampun (menyembah atas dasar baik dan buruk)
Tuhan lebih Bersifat Ayah, begitulah kata Freud.
Freud dengan patriarki agamanya cukup fenomenal semenjak pertama kali ia kemukakan, lalu terbit bukunya berjudul The Future of an Illution.
Freud mengklaim bahwa konsep Tuhan dalam agama Yudeo-Kristen berasal dari figur “ayah” yang jauh lebih tua dan jauh lebih primitif. Sosok ayah super-otoriter ini berasal dari konsep Freud tentang “gerombolan primal.” Gerombolan ini adalah klan yang hidup pada Zaman Batu. Mereka hidup di bawah sosok pemimpin (pria) alfa yang menyimpan semua perempuan untuk dirinya sendiri.
Dalam bukunya, Totem and Taboo, Freud menjelaskan bahwa gerombolan ini terlalu takut untuk menantang tiraninya. Sebagai gerombolan yang lemah, mereka mengalami konflik batin sambil menekan desakan-desakan seksual impulsif. Lalu melanjutkan hidup dengan kepatuhan dan ketergantungan pada sosok ayah tersebut.
Namun, terkadang gerombolan ini ingin membebaskan diri dari sosok ayah yang otoriter tersebut. Beberapa mungkin mencapai kemerdekaan melalui homoseksualitas. Sedangkan yang lain dengan membunuh dan memakan ayah mereka sendiri. Setelah itu, mereka akan merasa bersalah dan kembali berkeinginan untuk mendapatkan kenyamanan dari sang ayah. Berdasarkan hipotesa ini, Freud mengemukakan teori lain, Oedipus Complex.
Teori itu menyatakan bahwa setiap anak laki-laki memiliki hasrat terpendam untuk menguasai sang ibu serta menyingkirkan ayahnya. Tak jarang hasrat ini tumbuh agresif menjadi kecenderungan seksual serta menumbuhkan gejala histeria.
Pada beberapa titik, sosok ayah yang sangat kuat ini menjadi entitas abstrak yang pada akhirnya dikenal sebagai Tuhan. Seluruh drama primitif akhirnya diformalkan menjadi sistem kepercayaan dan pemujaan yang beradab. Bahkan sampai hari ini, masih banyak orang yang “memakan Tuhan yang terbunuh” dalam Perjamuan Kudus.
Bagi Freud, totemisme adalah perantara dalam proses abstraksi ini. Pola psikologis yang mendasarinya tetap sebagai bagian regresif dari psikologi manusia. Sedangkan kebutuhan regresif kita, jika timbul, dipenuhi oleh agama. Freud mengklaim kalau orang-orang yang berada di bawah pengaruh agama sama seperti sosok anak-anak yang tak berdaya.
Tuhanku yang Maha Sempurna
Apa yang Freud kemukakan bisa jadi berawal dari kegelisahannya sendiri. Freud lahir dan tumbuh dalam keluarga Yahudi konservatif. Ritual-ritual Yahudi masih dipelihara oleh ayahnya yang tua dan ibunya yang begitu muda. Perbedaan usia kedua orang tua Frued sekitar 20 tahun. Sosok ayah yang tegas dan kolot dianggap menjadi landasan Freud atas teori-teorinya.
Saya sendiri menganggap Tuhan begitu sempurna dengan sifat-Nya yang Rahman dan Rahim di samping sifat-sifat seperti Al-Malik dan Al-Qowi. Namun saya memilih hidup di bawah perlindungan dan kekuasaan Tuhan yang Maha Ayah.
Baca Juga Artikel Lainnya: “Tuhanku Yang Maha Ibu?”
Oleh: Azrul Faisal Kazein
Penulis adalah Pimpinan Redaksi Majalah Manggala 2017/2018