Sebagaimana Abu Nawas yang identik dengan kisah 1001 malamnya, saya kira demikian pula “Lailatul Qadar”. Ia lekat sekali dengan keutamaan ganjaran ibadah 1000 bulannya. Momen dikala semiliar lebih kaum muslimin berburu diskon besar-besaran yang dihadiahkan Rabbnya. Kesempatan langka, hanya ada sekali selama sewarsa.
Betapa romantisnya Dia, tak digambarkan-Nya secara jelas kapan tepatnya malam ini tiba. Melalui utusan-Nya, ia sampaikan serangkai teka-teki masa kehadirannya. Tentu hal ini semakin mengundang tanya saya, membuat semakin penasaran dan bertanya-tanya. Hingga di ujung adrenalin seluncur dunia maya, saya temukan lailatul qadar ala Imam Al-Ghazali, termasuk “kunci jawaban” dari soal kapan itu terjadi.
Menentukan Waktu Lailatul Qadar ala Imam Ghazali
Saya percaya, sebuah interaksi yang dilakukan secara intens dan terpola akan semakin mendekatkan sensitivitas kedua belah pihaknya. Jauh lebih mengenal hingga tahu apa yang tidak diketahui manusia jamak. Demikian halnya yang saya simpulkan dari sosok Imam Ghazali dan romantismenya terhadap lailatul qadar—yang bagi orang awam seperti saya ini kehadirannya masih begitu misterius.
Melalui kitab I’anatu al-Thalibin, Imam Ghazali menuturkan bahwa kedatangan lailatul qadar ini dapat kita prediksi melalui hari pertama bulan Ramadhan,
قال الغزالي وغيره إنها تعلم فيه باليوم الأول من الشهر، فإن كان أوله يوم الأحد أو يوم الأربعاء: فهي ليلة تسع وعشرين، أو يوم الاثنين: فهي ليلة إحدى وعشرين، أو يوم الثلاثاء أو الجمعة: فهي ليلة سبع وعشرين، أو باليوم الأول (الخميس): فهي ليلة خمس وعشرين، أو يوم السبت: فهي ليلة ثلاث وعشرين.
“Jika pada tahun terebut awal Ramadhan tiba di hari Ahad atau Rabu, maka lailatul qadar tiba di tanggal 29 Ramadhan. Apabila ia hadir di hari Senin, maka lailatul qadar hadir di tanggal 21. Kemudian jika ia hadir di hari Selasa atau Jumat, maka lailatul qadar hadir pada tanggal 27. Lalu, jika ia datang di hari Kamis, maka lailatul qadar datang pada tanggal 25. Terakhir, jika awal bulan Ramadhan berada di hari Sabtu, maka lailatul qadar ada pada tanggal 23.”
Tidak bisa kita pungkiri, beberapa ulama berbeda pendapat dalam hal ini. Salah satunya, Imam Bajuri. Dan saya kira itu bukalah masalah. Barangkali Dia memang sengaja merahasiakan dan membuat kita penasaran hingga akhirnya mati-matian mengejar diskon amal ini selama tempo yang lebih panjang. Hanya Dia yang tahu tepatnya kapan 1000 bulan itu datang.
Meski demikian, ini tetap menjadi hal yang menarik, begitu batin saya. Sebab formulasi kehadirannya bukan hal remeh, temeh, sepele, yang bisa ditelurkan oleh sembarang orang. Ia lahir dari perjalanan spiritual Imam Ghazali yang panjang. Pengalaman bermesraan dengan Sang Kekasih ia teliti lagi amati. Kemudian ia racik dengan luasnya cakralawa ilmu yang dimiliki. Hingga lahirnya formula yang luar biasa, yang bahkan diamini oleh kalangan sekelas Imam Syadzili, pencetus tarekat Syadziliah. Maka, tidak ada salahnya, bukan, bila kita menjadikannya salah satu tauladan?
Baca Juga Artikel lainnya “Ramadan, Madrasah Muscle Memory ala Islam”
8 Kunci Meraih Romantisme Lailatul Qadar ala Imam Ghazali
Selain perihal timing yang misterius, ada sisi lain dari lailatul qadar yang tak kalah penting dan mengundang rasa kepo saya. Yakni, apa yang harus kita lakukan guna menjemput lailatul qadar ini.
Kemudian, kembali bicara soal menjadikan Imam Ghazali sebagai salah satu suri tauladan. Saya kira, selain alim, ahli ibadah lagi ahli lailatul qadar, beliau juga seorang yang dermawan. Dalam kitab fenomenalnya, Ihya Ulumuddin, beliau berbagi segugus tips sukses meraih romantisme lailatul qadar secara cuma-cuma, di antaranya:
Pertama, tidak memperbanyak makan, tapi memperbanyak minum. Terlalu banyak makan mengakibatkan seseorang tertidur pulas dan sulit terbangun, sehingga nantinya dikhawatirkan tidak menjalani shalat malam.
Kedua, terlalu lelah di siang hari dengan beragam aktivitas yang menguras tenaga, agar seseorang sulit beribadah di malam hari.
Ketiga, membiasakan diri untuk qailulah (tidur beberapa saat di sinag hari). Selain Rasul memang mengajarkan qailulah sebagai bagian dari sunahnya, hal ini juga bisa meminimalisir tidak mampu bangun di malam hari.
Keempat, tidak memperbanyak berbuat dosa di siang hari, yang khawatirnya malah semakin memberatkannya untuk ibadah di malam hari.
Kelima, menjaga hati dari penyakit hati, seperti dengki dan gelisah terhadap urusan duniawi. Hal ini agar seorang hamba fokus ketika bermunajat kepada Rabnya.
Keenam, membiasakan hati agat takut pada hari akhir dan memperpendek anngan-angan. Harapannya, dengan begitu seorang hamba akan lebih giat lagi beribadah, khusunya di malam seribu bulan.
Ketujuh, memambah keyakinan tentang keutamaan shalat malam, dengan banyak membaca dan menyimak ulasan tentang shalat malam, baik itu dari ayat al-Quran, hadits, kisah-kisah, cermah, sehingga menstimulus rasa rindu kita terhadapnya.
Kedepalan, kunci meraih romantisme lailatul qadar paling mujarab, yakni, keimanan dan rasa cinta kita kepada Rab yang Maha Penyayang. Terlebih di malam hari ketika seorang hamba memelas asih dan kasih kepada Yang maha Pengasih.
Gajah mati meninggalkan gading, harimau mati meninggalkan belalang, manusia mati meninggalkan nama. Demikanlah Imam Ghazali dan romantismenya di malam lailatul qadar. Ikhtiyar menjalani, untung menyudahi, semoga kita bisa meneladani.
Baca Juga Artikel lainnya “Sepetik Hikmah Ramadan dari Syair Abu Nawas dan Salawat Tarhim”
Oleh: Salma Azizah Dzakiyyunnisa
Penulis adalah mahasiswi Universitas Al-Azhar Kairo Fakultas Ushuluddin