Nuzulul Quran adalah momen yang tepat bagi kita untuk tadabur ayat-ayat-Nya. Tadabur sendiri dalam bahasa bisa berarti mendalami, merenungi, berfikir, atau menghayati, begitulah sebagaimana dinukil dari tafsir Sya’rawi. Sedangkan menurut Al-jurjani, tadabur berarti “ibaratun ‘an Nazari fi ‘awaqibil umur” yaitu melihat kesimpulan dari suatu perkara.
Allah berfirman:
“Afala yatadabaruna-l-Qur’an walau kana min indi ghairillahi lawajadu fihi ikhtilafan katsira” (Qs, 4:82).
Artinya:
“Maka tidakkah mereka menghayati Al-Qur’an? Sekiranya Al-Qur’an itu bukan dari Allah niscaya mereka menemukan hal yang bertentangan di dalamnya” Qs, 4:82.
Khitob “yatadabarun” di atas memang bisa kembali kepada orang-orang munafik sebagaimana disebutkan pada konteks sibaq dan lihaq ayat-ayat sebelum dan sesudahnya. Namun di sisi lain, pada ayat tersebut tetap ada ibroh yang perlu kita ambil. Sebagaimana kaidah al-ibrotu bi umumi lafdzi la bi khususi sabab, maka khitob di atas bisa juga ditunjukan secara umum kepada seluruh manusia, bahkan dalam tafsir Sya’rawi disebutkan bahwa tadabur ayat tersebut bersifat wajib atas mereka (khitob yang dituju tadi).
Tadabur dan Tafsir
Tadabur ayat tidak seperti mentafsirkan ayat. Dalam tafsir, ada syarat-syarat khusus, kaidah dan takhasus tersendiri dalam menafsirkan ayat. Seorang ahli tafsir harus punya lisensi akan keahliannya. Lain halnya dengan tadabur, ia lebih umum, dengan tanda kutip “tidak menyalahi makna Al-Qur’an itu sendiri. Jika menemui kesukaran dalam mentadaburi suatu ayat, maka hendaknya berpegang dengan kaidah “Fasaluu ahladz dzkri in kuntum laa ta’lamun” bertanya pada orang yang lebih tau sehingga output yang dihasilkan dapat memberikan dampak positif bagi diri.
Banyak sekali objek dalam Al-Qur’an yang bisa kita tadaburi,semisal ayat-ayat kauniyah di bawah ini:
- Dalam surat Abasa ayat 24-32:
“Maka hendaklah manusia itu memperhatikan makananya. Kamilah yang mencurahkan air dari langit. Kemudian kami belah bumi dengan sebaik-baiknya. Lalu di sana kami tumbuhkan biji-bijian. Dan anggur dan sayur-sayuran. Dan zaitun dan pohon kurma. Dan buah-buahan serta rerumputan. (Semua) Itu untuk kesenanganmu dan hewan-hewan ternakmu”.
Dalam ayat di atas, manusia diperintahkan untuk sadar dan memperhatikan segala jenis makanan yang Allah berikan di muka bumi ini. Ada berbagai jenis sayuran dan buah-buahan yang beraneka ragam. Ada yang manis, asam, berserat, dan berair, yang kesemuanya pastinya mengandung vitamin yang bermanfaat bagi tubuh.
Pernahkah kita berfikir bagaimana itu semua bisa terjadi? Kenapa ini manis sedangkan yang lain tidak? kenapa bisa manis? apakah di bawah tanah sana ada pabrik gula? Padahal semuanya “yusqaa min maain waahidin” tumbuh disirami dengan air yang sama? Para ahli bisa menjawab sebatas kenapa itu bisa terjadi, tapi tidak dengan bagaimana itu bisa terjadi.
Baca Juga Artikel lainnya “Sepetik Hikmah Ramadan dari Syair Abu Nawas dan Salawat Tarhim”
- Dalam surat Al-waqiah ayat 63-64, 68-70 dan 71-72:
“Pernahkah kamu perhatikan benih yang kamu tanam? kamukah yang menumbuhkannya atau kami yang menumbuhkan?” Dalam ayat ini, siapakah yang berperan dalam menumbuhkan tanaman? Mulai dari benih hingga tumbuh besar yang “tu’ti ukulaha kulla hinin bi izni rabbiha” memberikan manfaat setiap saat dengan izin Tuhannya?.
“Pernahkah kamu memperhatikan air yang kamu minum? kamukah yang menurunkannya dari awan atau kami yang menurunkan? sekiranya kami menghendaki, kami jadikan air itu asin, mengapa kamu tidak bersyukur?” Manusia sudah lama mengenal teori siklus air. Namun, yang mereka ketahui hanya sebatas teknis sirkulasi air, mulai dari gumpalan awan kemudian hujan turun ke bumi lalu mengalir ke laut dan menguap kembali lagi ke awan.
“Pernahkah kamu memperhatikan api yang kamu nyalakan dari kayu? Kamukah yang menumbuhkan kayu itu atau kami yang menumbuhkan?” Di sini, manusia tahu bahwa dahan dan kayu kering bisa dijadikan bahan untuk nyala api yang menerangi dan menghangatkan sekitarnya. Tapi mereka tidak terpikir bagaimana komponen kayu itu bisa terbentuk tumbuh besar lalu kering dan dijadikan bahan bakar. Hal tersebut tidak bisa dijelaskan karena itu bukan ranah manusia. Manusia hanya mengambil sedikit asbab dari sekian banyak proses yang ada, sisanya Allah beserta para malaikatnya yang mengambil peran tersebut.
Dan setelah dihujani dengan ayat-ayat diatas, puncaknya adalah bahwa kita manusia sama sekali tidak memiliki andil dalam proses berlangsungnya penciptaan Alam ini, “am khuliqu min ghairi syaiin am humul khaliqun? Am khalaqu al-samawati wa al-ard bal la yuqinun”. Bahkan untuk mewujudkan eksistensinya di muka bumi ini, kita membutuhkan perantara, “afaraitum ma tumnuun? a antum takhluqunahu am nahnul khaliqun?”
Dan masih banyak lagi ayat kauniyah yang patut ditadaburi agar kita senantiasa menjadi Abdan Syakura yang selalu mengingat Allah dalam keadaan Qiyaman berdiri wa quudan dan duduk wa ala junubihim dan dalam keadaan berbaring wa yatafakaruna fi kholqi al-samawati wal ard dan berkata “Rabbana ma khalaqta hadza batila Subhanaka faqina azaba al-naar.”
Baca Juga Artikel lainnya “Ramadan, Madrasah Muscle Memory ala Islam”
Oleh: Ahmad Azhar Falahan
*Penulis adalah Mahasiswa tingkat akhir Jurusan Tafsir Fakultas Ushuluddin Universitas al-Azhar Kairo