Merdeka Belajar, Dari Interdisipliner ke Transdisipliner

sumber: Dok Manggala 2019/2020

Wawancara dan Bincang Santuy bersama Dr. Usman Shihab, MA

Oleh: Defri Cahyo Husain, Muhammad Ghifari, Akbar Hakiki

Merdeka Belajar yang disuarakan oleh Mas Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Republik Indonesia, Nadiem Makarim, sempat menjadi perbincangan hangat pada Desember 2019 silam. Meski begitu, ia masih menarik karena ternyata kampanye Mas Menteri masih berlanjut sampai hari ini. Konsep Merdeka Belajar yang ditawarkan ini merupakan konsep yang diharapkan mampu menciptakan suasana belajar yang bahagia. Baik itu buat peserta belajar maupun buat guru dan bahkan untuk semua orang.

Konsep ini lahir dilatarbelakangi oleh banyaknya keluhan pada sistem pendidikan di Indonesia. Salah satunya keluhan tentang peserta didik yang dipatok oleh nilai-nilai tertentu di bangku sekolah atau kampus. Itu bermula dari perspektif yang memandang peserta didik sebagai objek, tidak sekaligus sebagi subjek. Karena kemerdekaan harus melekat pada subjek yang melakukan proses belajar. Kemerdekaan belajar tidak hanya berarti kepatuhan dan perlawanan saja, tapi juga tentang sifat kemerdekaan itu sendiri yang harus diperjuangkan, dan bukan hanya diberikan.

Di edisi 12 kali ini, pada (11/02/2020)  Kru Majalah Manggala bersilaturahmi ke kantor Atase Pendidikan dan Kebudayaan (Atdikbud) KBRI Kairo, Dr. Usman Shihab, MA untuk melakukan  wawancara dan bincang santuy seputar konsep Merdeka Belajar.

Kru Manggala (KM): Seperti apa sebenarnya prinsip Merdeka Belajar ini menurut Bapak selaku Atdikbud KBRI Cairo?

Dr. Usman Shihab (US): Bagian dari prinsip-prinsip kemerdekaan adalah seseorang bisa belajar berbagai ilmu dan bidang, menurut saya. Bahkan justru belajar di bidang yang berbeda itu akan menambah wawasan dan akan melahirkan teori-teori baru. Anda belajar syariah, Anda berhak untuk S2-nya mengambil jurusan di sosiologi, politik juga silakan, karena dalam syariah ada juga politik atau siyasah syariah, atau bahkan menyeberang ke ilmu biologi atau apa terserah kalau memang bisa ilmu dan dasarnya. Selama ini tidak bisa. Inilah yang saya namakan tidak saja interdesipliner, tapi menurut saya kita perlu apa yang saya katakan sebagai transdisipliner. Tidak usah diinterkoneksikan, serta tidak harus juga diintegratifkan. Sebab peradaban Islam juga pernah maju karena berinteraksi dengan peradaban dunia lain, sehingga diperlukan orang-orang untuk memperlajari, lalu mengambil manfaat dari peradaban yang baru tersebut untuk kemudian menjadikannya bagian dari pada disiplin ilmu Islam.

KM: Sudah sejauh mana perkembangan kampanye Merdeka Belajar ini? Lalu seperti apa perannya bagi pelajar khususnya Indonesia?

US: Di dunia pendidikan kita tahun 80-an, sebenarnya konsep-konsep pembelajaran Merdeka Belajar dan sebagainya itu sudah ada. Dulu UNESCO (Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayanan Perserikatan Bangsa-Bangsa-red.) banyak membuat proyek di berbagai negara untuk mengenalkan metode-metode dan konsep-konsep pembelajaran, Merdeka Belajar salah satunya. Ini dikenalkan pada tahun 80-an sampai 90-an, ada yang mempunyai hasil dan ada juga yang tidak. Maka penilaian saya adalah dari perspektif sosiologis, tidak bisa instrumen-instrumen kemajuan dari negara maju untuk bisa digunakan di negara berkembangan sebagai instrumen untuk memajukan negara berkembang, saya katakan ini yang sudah dialami sekian lama. Karena tidak sama perkembangan psikologi dan sosiologi masyarakat.

Bercerita tentang Merdeka Belajar, dulu ini pernah dibawa ke Indonesia tahun 80-an, tapi tidak sesuai. Karena kita tidak siap, perangkatnya, gurunya tidak siap dan sebagainya. Nah, sekarang dikenalkan lagi oleh Menteri kita. Saya menilai bahwa di banyak jenjang SD, SMP, SMA bahkan sampai perguruan tinggi memang prinsip Merdeka Belajar ini harus sudah dimiliki oleh lembaga-lembaga pendidikan di berbagai jenjangnya. Meskipun tentu implementasinya tidak harus radikal: ada yang mampu untuk beradaptasi secara cepat karena memiliki teknologi dan sarana yang cukup, dan ada yang harus memulai dengan lambat, bahkan mungkin ada yang tidak harus memulainya.

Kita ambil dari sisi perguruan tinggi yang sekarang sedang dibicarakan. Akan ada reformasi di dalam pendidikan bahwa anak–anak itu, mahasiswa S1 seumpamanya, memiliki hak 3 semester di luar prodi, di luar universitas, dia bisa pergi ke dunia nyata. Berapa banyak orang belajar sosiologi dan lain sebagainya, ternyata dia tidak kembali ke masyarakat. Itu kan ketimpangan-ketimpangan mahasiswa jurusan sosiologi, memahami tentang sosiologi dan sebagainya. Setelah lulus tidak pernah kemudian ke masyarakat.

Ketimpangan-ketimpangan seperti ini yang kemudian dipikirkan bahwa mahasiswa sudah cukup duduk di kelas taat pada guru, pada level TK, SD, SMP, hingga SMA. Masa universitas ‘Sudahlah!’ kata dia. Bahkan mungkin menurut saya tidak perlu untuk duduk di kelas. Mahasiswa punya hak 3 semester untuk tidak perlu di kelas. Artinya apa? Bagi mereka yang belajar (jurusan) politik, sudah cukup itu teorinya 1,2,3 semester. Pergi itu ke DPR, nongkrong di sana, atau pergi bantu partai-partai (politik) di sana, atau pergi ke kementerian luar negeri dan magang di situ. Ini maksudnya memberikan mereka (para mahasiswa) lebih banyak hak untuk mencari jati dirinya, dan sistem-sistem pendidikan di dalam perguruan tinggi tidak boleh melarang hal itu.

KM: Bagaimana konsep Merdeka Belajar dalam tradisi Islam, khususnya dalam kaca mata Al-Azhar?

US: Waktu koferensi kemarin, di Al-Azhar International Conference itu ada yang menarik. Jadi Azhar itu punya  konsep besar yang di mana memikirkan ulang mengenai  gerakan pembaharuan pemikiran Islam sampai akhir ini. Grand Syekh sendiri  menyadari hal ini, sampai memberikan contoh Mesir membuat ban saja tidak mampu. Koferensi itu kembali mengingatkan dan ingin mengatakan  bahwa perjalan reformasi selama ini perlu dievaluasi dan mengambil langkah-langkah ke depan, yang di mana sampai hari ini kita tidak bisa membuat, jangankan membuat mobil, membuat ban mobil saja tidak bisa, khususnya Mesir, karena impornya dari Indonesia, dan itu adalah fenomena.

Jadi ini, dalam rangka menanggapai tren modernisme, dan post modernisme yang kemudian menurut Grand Syekh kita harus tetap berpijak kepada turath. Nah, tanggapan Grand Syekh ini lebih ditujukan kepada rektor Universitas Kairo yang saat itu mengkritik Al-Azhar yang dianggap belum melakukan reformasi. Bahkan banyak hal yang tidak perlu lagi merujuk ke turath, kata Prof. Usman Khusyt. Justru harus ada yang melepaskan diri dari turath. Meskipun jawaban dia ketika didebat oleh Grand Syekh bahwa tidak bisa kita  meninggalkan turath, karena ketika kita meninggalkan turath pun tidaklah maju. Dijawab oleh Khasy: “Yang kita maksud tidaklah meninggalkan turath, akan tetapi “tajâwuz turath” (melampaui turath).” Ada yang bermakna naskh, ada juga tasybih. “tajâwuz turath”, kita harus berpikir melampaui turath dan tetap melihat pentingnya turath.

Saya pikir kalau yang dimaksud tajâwuz turath seperti itu, saya setuju. Karena tidak semua turath itu bagus. Harus dilihat bukan pada turath-nya, tapi mana yang tsawâbit dan mana yang mutaghayyirâtnya. Tsawâbit yang dikeluarkan oleh teks-teks Al-Qur’an seluruhnya, itu memang tidak menuntut untuk pembaharuan. Tapi yang mutaghayyirât ini menuntut peran ulama. Artinya turats pun juga mengakui adanya at-tsawâbit dan al-mutaghayyirât. Pada poin ini saya setuju, dan saya pikir ini yang dimaui oleh Grand Syekh, dan tidak menggebu-gebui bahwa semua turath harus diamalkan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *