Oleh : Wafa Fadilah*
Film adalah sebuah alat untuk bercerita, media untuk berekspresi. Seperti halnya membaca buku dan mendengarkan musik, film adalah karya seni yang dapat memberikan sebuah pengalaman bagi yang menikmatinya. Film adalah sebuah sistem yang memiliki elemen-elemen yang saling bergantung satu sama lain. Oleh karena itu, dalam penyajiannya, film harus memiliki unity atau kesatuan yang utuh, sehingga informasi yang akan disampaikan melalui adegan, konflik, dan penokohan yang ditampilkan dapat tersampaikan dengan jelas. Di sisi lain, kita juga dapat menyadari—seperti halnya membaca buku—bahwa film dapat juga dijadikan sebagai alat untuk menyampaikan pesan serta pembelajaran yang sangat efektif, contohnya Film yang bernuansa edukasi. Film bernuansa edukasi adalah salah satu film yang memberikan pengalaman audio visual yang sangat baik kepada masyarakat. Menurut saya, film pendidikan merupakan suatu kemasan cerita yang memiliki tujuan jelas; pendidikan kepada setiap orang yang menontonnya. Film pendidikan merupakan suatu kemasan film yang lebih mementingkan rasa daripada harga.
Saya menggunakan term film pendidikan, karena menurut saya, film pendidikan memiliki perbedaan dibandingkan jenis film lainnya. Film pendidikan memiliki karakteristik tersendiri, seperti adegan-adegan yang dipertontonkan hanyalah hal-hal yang pantas dan patut ditiru oleh khalayak ramai. Namun kalau ingin merincinya lebih dalam lagi, film pendidikan memiliki ciri-ciri seperti: tidak bertentangan dengan adat istiadat, norma, dan sopan santun, mampu membentuk karakter masyarakat, memiliki tujuan yang jelas, mengutamakan penghetahuan, sasarannya tepat sesuai dengan kemasan pesan, mengembangkan sikap mental.
Dan salah satu film pendidikan yang saya maksud adalah film Jembatan Pensil. Perlu diketahui, tidak hanya film layar lebar saja yang dapat disebut sebagai film pendidikan, ada juga beberapa film pendek yang benuansa edukasi, seperti film pendek yang berjudul Indonesia Masih Subuh. Namun pada tulisan saya kali ini, saya akan fokus membicarakan film Jembatan Pensil.
Film Jembatan Pensil adalah film pendidikan yang ditujukan untuk pembelajaran anak-anak. Film ini digarap oleh Grahandhika Visual, disutradarai Hasto Broto, yang mengangkat perjuangan anak-anak sekolah dasar di Sulawesi Selatan dalam menempuh pendidikan. Film ini dirilis pada 7 September 2017 dan diperankan oleh pelbagai aktor dan aktris berbakat, di antaranya Meriam Bellina, Kevin Julio, Alisi Rininta, Andi Bersama, Agung Saga, Deden Bagaskara serta beberapa aktor anak-anak.
Hasto Broto mengemas film pendidikan ini dengan cukup apik. Di film itu, Hasto memperlihatkan satu-persatu perjuangan anak-anak sekolah di Sulawesi Selatan dengan cara yang cukup dramatis. Seperti dimunculkannya karakter yang memiliki kekurangan secara fisik dan mental, namun ia tetap berjuang demi pendidikannya. Interaksi antar karakter dalam film ini pun terlihat cukup menarik. Hasto menyoal pelbagai sisi kehidupan, seperti: persahabatan, percintaan, serta perjuangan.
Keindanhan film Jembatan Pensil ini, menurut saya, tidak sampai di situ saja. Film ini juga menampilkan realitas dari masyarakat Sulawesi Tenggara, khususnya di Kabupaten Muna. Seperti dihadirkannya tokoh Ibu Farida yang bekerja sebagai penenun, dan toko Gading yang bekerja sebagai nelayan. Film ini pun juga menampilkan visual yang menarik, seperti memperlihatkan pemandangan laut, pantai, bukit, dan daratan di Muna yang luar biasa.
Film Jembatan Pensil ini menceritakan sebuah sekolah di daratan Muna, tempat anak-anak belajar. Sekolah tersebut tidak memiliki lantai, jendela, bahkan pintu. Nama sekolah itu SD Towea, lokasinya di pinggir pantai, bahkan ada beberapa anak yang harus menyeberang jembatan yang sudah sangat rapuh.
Film ini berfokus pada kisah 5 orang sahabat, Nia, Yanti, Azka, Inal, dan Ondeng. Mereka semua adalah contoh persahabatan yang tulus. Walau Ondeng memiliki keterbatasan mental, juga Inal yang tidak bisa melihat, mereka saling membantu satu sama lain. Setiap hari, Ondeng selalu menunggu 4 sahabatnya di depan jembatan reyot, untuk memastikan sahabatnya dapat menyeberang dengan selamat. Bahkan Ondeng memiliki cita-cita untuk membuatkan jembatan untuk mereka.
Guru yang mengajar di sana hanya ada satu, beliau memberikan kabar baik, bahwa anaknya Aida yang sudah lulus dari perguruan tinggi, akan datang membantunya mengajar. Pada suatu hari, Ondeng tidak masuk sekolah, apalagi menunggu mereka di ujung jembatan. Pak Guru dan Bu Guru Aida yang sudah sempat dititipkan Ondeng oleh Ayahnya pun khawatir dengan keberadaan Ondeng. Ternyata Kepala Desa membawa kabar dukacita, bahwa ayah Ondeng meninggal ketika sedang melaut. Semua teman-temannya menyemangati Ondeng agar tetap tabah dan tegar. Sejak saat itu, jiwa Ondeng semakin tertekan karena merasa sendirian. Namun, kak Gading ada sebagai kakak, ibu sekaligus bapak bagi Ondeng.
Meski begitu, jiwa ondeng semakin terguncang manakala sedang sendirian, apalagi ketika hujan dan mendengar petir. Perasaannya hancur teringat mendiang bapak. Sampai pada suatu waktu, Ondeng lari ke pelabuhan dan nekat membawa perahu ke tengah lautan hingga arus melahapnya. Sekuat tenaga kak Gading mengejar, namun laut sudah lebih dulu menyerbu, Ondeng tak selamat.
Tidak hanya kak Gading, guru-guru, teman-teman, serta seluruh masyarat kehilang Ondeng. Kebaikan yang membuat Ondeng akan selalu dikenang. Di atas kubur Ondeng, teman-teman dengan 5 potongan pensil yang diberikan Ondeng, berjanji akan mewujudkan impiannya membangun jembatan. Sering belajar di luar kelas, berkeliling melihat-lihat peninggalan sejarah yang ada, ditambah ada kak Gading—teman melaut ayahnya Ondeng—yang membantu menjelaskan sejarah, membuat anak-anak semakin semangat belajar.
*Penulis adalah Pemimpin Umum Majalah Manggala 2019-2020