Ini tentang ajakan Tante Mira agar mengunjungi suatu tempat. Tempat aku berada sekarang−setidaknya begitu kata Ibu terakhir kali. Tempat gelap dan pengap. Sunyi. Aku bahkan tak bisa merasakan tubuhku. Tempat baru. Tempat baru yang aneh, karena aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini. Yang kuingat adalah ibu membenamkan wajahku dalam bantal hingga dadaku terasa sesak. Setelah itu, gelap.
Aku sangat menyayangi ibu. Begitu pun ibu, sepertinya dia juga sangat menyayangiku, atau bahkan terlalu sayang? Tapi, ibu aneh, ibu berbeda setelah hari kematian Tante Mira−adiknya. Aku tidak terlalu mengerti kenapa ibu berubah setelah hari itu. Ayah hanya bilang ibu sakit dan mengingatkanku untuk bersikap baik padanya. Tapi, aku tidak melihat luka pada badannya, aku juga tidak melihat ibu meringis kesakitan, atau berbaring lemah karena demam. Lalu sakit apa? Aneh.
Pada hari-hari lain sebelum kematian Tante Mira, ibu akan tergesa membukakan pintu ketika mendengar sapaan adiknya dari arah luar rumah. Mereka tampak sangat bahagia. Berpelukan. Saling bertanya. Untuk kemudian saling membalas senyuman. Biasanya tante akan langsung mencariku. Aku yang berada di belakang ibu akan berlari kecil untuk ikut menyambutnya.
“Oh, kalian begitu mengingatkanku pada diri kita di masa lalu,” ucap ibu kepada tante yang sedang memelukku. Dengan nada yang begitu lembut.
Tante hanya membalas ibu dengan senyum.
Pada kesempatan yang berbeda, ketika tante berkunjung, mereka akan saling melengkapi cerita masa lalu−saat ibu dan tante hanya hidup berdua. Aku jadi mengetahui betapa ibu menyayangi tante. Aku juga tak lagi heran dengan perkataan tante yang menganggap ibuku adalah “ibu”-nya dan juga bahwa aku adalah “adik”-nya.
Umur ibu dan tante terpaut sepuluh tahun. Ibu merawat tante seorang diri setelah kecelakaan yang menyebabkan kematian kakek dan nenek.
“Saat itu aku baru tamat sekolah.”
“Aku merasa Tuhan membuat ayah dan ibu mengingkari janji mereka untuk selalu berada di sisiku.”
“Oh, dirimulah alasan aku bertahan, Mira.”
Tante hanya membalas ibu dengan senyum.
***
Aku sangat menyayangi ibu. Begitu pun ibu, sepertinya dia juga sangat menyayangiku, atau bahkan terlalu sayang? Tapi, ibu aneh, ibu berbeda setelah hari kematian Tante Mira. Aku tidak terlalu mengerti kenapa ibu berubah setelah hari itu. Aku merasa ibu terkadang sangat menyayangiku, untuk kemudian tiba-tiba mengamuk hebat karena kesalahan kecil yang aku perbuat.
Aku takut.
Aku sangat takut.
Aku tidak pernah tahu kapan ibu akan tersenyum kepadaku, lalu seketika menangis dan menatap tajam ke arahku. Aku ingin memeluknya, tetapi aku takut. Bagaimana kalau tiba-tiba ibu berubah?
Terkadang, di pagi hari dia berkata bahwa akulah dunianya, dengan tersenyum, dan ucapan yang lembut. Namun, di sore harinya dia seakan acuh, mengabaikanku, setelah berteriak marah kepadaku dengan mata yang penuh kekesalan. Hanya karena aku menjatuhkan sendok. Aku tak mengerti. Ibu aneh. Ada hari-hari dimana ibu memuja ayah, dengan perkataan bahwa ayah adalah satu-satunya orang yang mengerti dirinya−sepertinya ibu memang sangat bergantung kepada ayah. Tapi ada juga hari di mana dia membentak ayah dan berkata bahwa ayah tidak mencintainya. Ibu aneh. Kemarin dia bilang tetangga sebelah rumah baik. Tapi, hari ini ibu bilang dia pengkhianat. “Dasar, tak tahu diuntung” gumam ibu.
Semenjak kematian tante, hari ketujuh setiap pekan bukan lagi menjadi hari yang biasa di rumah kami−terutama bagi ibu. Hari itu seperti pintu rahasia, yang jika terbuka dengan benar, ibu bisa bernafas lebih lega. Aku mengetahuinya dari ayah. Dia bilang, ibu akan mengobati sakitnya pada hari itu.
Aku tidak terlalu mengerti, sampai suatu hari aku mengacaukannya. Aku menjatuhkan gelas di lantai, suaranya terasa begitu nyaring. Aku tak menyangka telah mengundang petaka. Ibu menoleh dengan mata yang berbeda, seolah aku telah membuka pintunya dengan cara yang salah. Setelah itu, ibu semakin aneh. Langkahnya lebih pelan, tatapannya lebih kosong. Aku merasa telah merusak pintunya dan tidak bisa diperbaiki hingga hari ketujuh berikutnya.
Tapi jika semua berjalan lancar, dan rumah tetap tenang pada hari itu, ibu akan terlihat lebih baik. Seperti seseorang yang akhirnya menemukan jalan pulang melalui pintu yang tepat, meskipun hanya selangkah.
Pada hari itu ayah akan bersiap lebih pagi. Dia akan melakukan banyak hal, seperti merapikan baju yang akan ibu kenakan, merias wajah ibu, hingga mengurai simpul rambut ibu. Oh malangnya ibu, aku rasa dia tidak akan sanggup hidup tanpa ayah. Kemudian, ayah akan Menutup semua jendela, lalu meletakkan lilin berdampingan dengan beberapa potong kayu kecil yang mengeluarkan asap di berbagai sudut rumah. Rumah akan lebih gelap dari hari-hari biasanya. Bahkan, aku pernah terluka karena jatuh tersandung, aku tak bisa melihat jalan yang kupijak. Meski begitu aku rasa cukup adil, aku tidak menyukai kegelapan, tapi aku sangat menyukai bau dari asap itu. Baunya membuatku tenang.
Ayah melarangku untuk bermain lari-larian atau berbuat sesuatu yang menghasilkan suara yang mengganggu pada hari ketujuh. Hari itu akan terasa sangat sunyi. Setiap langkah akan menyusup ke setiap celah keheningan. Bahkan terkadang aku bisa mendengar jelas suara angin yang keluar dari hidungku. Terasa seperti bisikan kecil yang sengaja aku buat. “Jaga suaramu tetap rendah, nak. Seakan kau berbisik pada bayangan,” perintah ayah.
Ibu akan mengenakan pakaian serba hitam, membawa foto besar tante, lalu membawanya berkeliling rumah dengan tatapan kosong. Ibu akan sesekali berhenti, menundukkan kepala, lalu berjalan kembali. Setelah itu, dia akan mengurung diri di kamar sepanjang hari. Ini rahasia diantara kita, ya. Aku sempat beberapa kali mencoba mengintip dan menguping apa yang dilakukan ibu di dalam kamar. Aku mendapatinya sedang menangis sambil memeluk erat foto tante.
Aku tidak suka perasaan aneh ini. Perasaan ketika melihat ibu berbeda. Aku tidak mengerti apa yang ibu lakukan. Aku hanya berharap dia akan terbangun besok dengan napas yang lebih lega. Semoga.
***
Sore di hari ketujuh. Hujan deras dengan cahaya dan gemuruh mengguyur pekarangan rumah kami. Namun mengapa, gemuruh itu seakan tepat menghantamku. Tanpa cahaya. Tanpa aba-aba. Aku telah tersadar bahwa ini bukanlah mimpi, setelah aku bertanya-tanya apakah ini tidak akan terjadi setelah aku terbangun? Namun, tidak ada jawaban. Semua orang sibuk berbicara dengan suara pelan, membuatku merasa takut. Menyadarkanku bahwa teriakan tak akan lagi terdengar, dan hanya tangisan yang bisa mengantarkan. Sore ini. Sore hari ketujuh. Ayah telah pergi, dan tidak akan kembali.
***
Berikutnya, maka tentu akan sangat mudah menentukan kelanjutan dari cerita ini. Ibu menjadi semakin aneh. Dia tidak lagi menyentuh makanannya, kecuali sedikit. Dia lebih banyak diam, untuk kemudian menangis dalam waktu yang lama. Ibu hanya akan tersenyum ketika mulai berbicara tentang ajakan Tante Mira.
“Tante telah menunggu kita, Nak. Dia ingin aku tinggal bersamanya. Aku akan membawamu bersamaku”.
“Kemana, Bu?”
Ibu diam tak menjawab. Kembali ke dunianya.
Aku tidak mengetahui apakah orang mati bisa ditemui?
Bertemu Tante Mira? Aku memang merindukannya. Tapi apakah mungkin untuk tinggal bersamanya setelah kematiannya? Setelah tanah menimbunnya. Setelah jawaban kosong ketika aku meneriaki dirinya agar membuka matanya. Di tengah kerumunan, di ruang tamu rumahnya.
Hari berjalan perlahan. Merangkak. Seakan sengaja membuat keanehan ibu semakin tampak. Aku tidak tahu harus berbuat apa. Aku hanya bisa berjanji kepada diriku bahwa aku akan berbuat baik. Aku yakin hal itu membantunya, atau setidaknya menjauhkannya dari amarah—aku mengingat
pesan ayah untuk berbuat baik kepada ibu. Tentu, sembari berharap hari ketujuh mendatanginya—setidaknya hari ketujuh akan membantunya menemukan “pintu” untuk berpindah, meski selangkah. Bukankah begitu? Seperti biasanya. Sepertinya—karena aku merasa bahwa ibu tidak akan lagi sanggup bertahan untuk kemudian bertemu dan mendatanginya.
Tapi, “hari ketujuh” tidak akan berlari mendatangi ibu. Sebaliknya, ibu yang harus bergerak mendatanginya. Meski perlahan. Meski merayap dalam keheningan.
***
Tibalah di ujung cerita. Ketika aku rasa ibu akhirnya benar-benar tak bisa bertahan. Bertahan, dan bertemu hari ketujuh pada persimpangan di depan. Dia menghimpit wajahku dalam benaman. Diantara kasur, bantal, dan kedua tangannya yang menahan.
“Tante menunggumu, Nak. Ayo, cepat! Sebelum dia pergi meninggalkan”.
Hingga akhirnya aku tak lagi bisa menahan. Kemudian perlahan mendatangiku, kegelapan.
Dalam kegelapan aku melihat ibu tersenyum kesenangan. Sebelum akhirnya dia meletakkan tali dengan simpulan berbentuk lingkaran ke pohon besar di halaman. Ibu memanjat, mengikat, dan menjerat kepalanya pada lingkaran. Kemudian dia melompat dan membuat dirinya melayang bak gantungan. Hingga kurasa juga mendatanginya, kegelapan.
Oleh: Muhammad Alkindi Badruzaman
Penulis adalah Kru Website Manggala 2024-2025