Cerpen  

Peragu yang Bodoh

Dok. Manggala

Penyesalan, itulah yang terlintas dalam pikiran Dijah saat ini, tersadar bahwa mengiakan rencana Verdonk untuk merampok bank bersama komplotan lugunya di pusat kota adalah salah satu keputusan buruk yang ia ambil dalam hidupnya. Sungguh tak disangka, sebagian umurnya telah habis  dengan menjadi seorang kriminal. Tak pernah juga ia kira, bahwa ia akan duduk di mobil berkecepatan tinggi yang tengah menghindari kejaran dua mobil sedan milik polisi bersama komplotan perampok yang gagal dalam aksinya.

Seharusnya enam sekawan ini sadar bahwa mereka hanyalah komplotan orang-orang bodoh yang tak tamat SMA, yang juga tak punya bakat untuk berbuat kejahatan. Tapi apa boleh buat, kobaran semangat dari mulut “kapten” Verdonk—sekiranya begitu ia ingin dipanggil—membuat jiwa mereka seakan terpanggil untuk berbuat apa saja, yang bahkan terkadang, mereka sendiri tidak tahu bahwa mereka bisa mengerjakan sesuatu. Naif, seperti biasanya.

“Hoyy, Solihin, cepaaat! Kau mau kita menghabiskan sisa hidup dalam penjara?” panik Sumi sembari mendorong-dorong bahu kanan Solihin, melihat mobil polisi seakan semakin mendekat dan memotong jarak.

“Diam kau, Sumi! Kita harus tetap tenang dalam situasi ini,” perintah Verdonk menahan tangan Sumi.

“Kau yang diam Verdonk, siapa pula yang tidak panik dalam situasi ini?” bela Yati terhadap Sumi.

Sangat klasik, apapun yang diperbuat Sumi pasti Yati dukung, dan apapun yang diperbuat Yati pasti Sumi dukung, dua kembar yang kalau sedang benar, benar bersama dan kalau sesat, sesat bersama, meski kita semua tahu tak ada yang pernah beres jika duet SumiYati ini jika melakukan sesuatu.

“Kalian berdua harus mengikuti perintahku, aku pemimpin komplotan ini,” ucap Verdonk sembari berlaga dan mengarahkan telunjuknya ke arah si kembar.

“Apa pula kau ini Verdonk!” Yati tak terima.

“Panggil aku dengan Kapten, Yati.”

“Bodoh,” mendorong Verdonk menjauh.

“Kau lebih bodoh.”

“Kau bodoh yang bebal.”

“Kau lebih bebal.”

“Kau lebih.”

“Kau.”

“Kau.”

“Kau.”

Sementara perdebatan Yati dan Verdonk berlangsung dan berlanjut, Yurino di kursi belakang, sedang menghafal kata-kata pada secarik kertas yang telah diberikan Verdonk sejak hari pertama mereka berencana melakukan perampokan. Bagi Verdonk, tidak sah melakukan perampokan jika tidak memberikan kata-kata “keren” ala film laga yang sering ia tonton.

Jangan salahkan Yurino karena dia tidak hafal kata-kata yang diberikan Verdonk, hal yang membuat komplotan mereka kehabisan waktu sebab ia tak sempat menyelesaikan kata-kata tersebut dan berbuntut pada kegagalan perampokan. Dia hanyalah seorang pendiam bodoh yang kebetulan pernah tertangkap basah oleh Verdonk saat berteriak sangat keras—yang menurut pengakuan Verdonk, tak pernah ia mendengar suara lebih keras dari itu sebelumnya—karena tangannya terjepit meja saat jam pulang sekolah. Sebuah kebetulan, yang membuatnya ditugaskan oleh Verdonk untuk memberikan kata-kata “keren” ala film laga perampokan dengan suara kerasnya.

Di saat yang sama, tepat di sebelah kanan Yurino, sakit kepala Dijah kambuh, pusing. Pusing yang sama yang selalu hadir saat bel pertanda pelajaran matematika dimulai, aneh memang adanya, tapi nyata. Hanyut Dijah dalam renungan, resah, hirau akan bisikan hafalan Yurino, omelan Yati terhadap Verdonk dan suara sirine dari dua mobil polisi yang sedang mengejar mereka.

Banyak hal yang ia pikirkan, tapi ia masih bingung apa yang membuatnya begitu sedih saat ini, dia memang menyesal mengikuti rencana Verdonk untuk merampok bank di pusat kota, tapi sepertinya penyesalan itu tak lantas membuatnya merasa sangat sesak akan kesedihan yang ia rasakan sekarang. Lantas sebab apa? Masuk penjara? “Ah bukan,” ia mungkin akan sangat sedih dan takut bila masuk penjara, walau sepertinya penjara tak akan terlalu mempengaruhi hidupnya, toh dia hanya seorang tukang penjual balon anak-anak yang tak punya mimpi besar karena ia ragu dan tak yakin bisa mewujudkan hal besar. Tapi, bukan itu yang mengganggunya sekarang, Lantas apa?

“Ah Mila,” gumamnya.

Penyesalan karena tak mampu berbuat banyak untuk gadis itu.

Dijah meneteskan air mata, sembari terbayang senyum manis sosok yang sangat lugu namun berhati mulia itu. Terbayang perjuangan adiknya siang dan malam belajar, menghilangkan kebodohan—yang seperti telah mengakar pada keluarganya—demi bisa masuk fakultas kedokteran. Sesak dadanya, membayangkan Mila yang harus mengubur mimpinya karena mereka miskin dan baru mengetahui bahwa ternyata biaya masuk fakultas kedokteran terutama di kampus ternama sangatlah mahal. Naif, seperti biasanya.

“Ah Mila,” kembali terngiang pada ingatan Dijah kalimat Mila empat puluh hari yang lalu.

Kalimat yang membuatnya bergegas mengayuh sepeda butut yang biasa ia gunakan untuk jualan ke bengkel pinggir jalan milik Verdonk sambil menahan air mata, merengek memohon kepada Verdonk untuk melakukan sesuatu.

“Aku ingin menjadi dokter, agar bisa mengobati bapak, gratis,” cerita Dijah tentang perkataan Mila pada Verdonk.

“Bagaimana aku tak bersedih Bang Ver? Apapun akan kulakukan demi membantu adik manisku, tolong Bang Ver,” lanjutnya. Berharap Verdonk membantu mencarikan solusi.

Lama Verdonk berpikir, bolak-balik, kesana dan kemari, hampir pula ia jungkir balik karena tak kunjung dapat ide, tapi urung dibuatnya. 

Hingga akhirnya, “Huh tenang saja Dijah, aku ada rencana, tak akan kubiarkan Mila yang lugu itu tak berkuliah. Aku juga sudah muak dengan oknum pejabat yang korup.” Tampak sangat serius.

“Apa yang kau maksud, Bang Ver?” tanya Dijah mengerutkan dahinya.

“Ah sudahlah kau tak akan paham Dijah.”

“Baiklah.” Pasrah, dan tau kapasitas dirinya.

Maka, dimulailah rencana besar mereka untuk merampok bank di pusat kota. Verdonk memanggil empat sisa anggota yang memang sedari dulu bersama duduk di jejeran bangku belakang kelas, menandakan keterbelakangan kecerdasan mereka. Sumi, Yati, Solihin dan Yurino. Mereka tampak bersemangat karena merasa bisa ikut membantu Mila, adik dari teman sebangku mereka mewujudkan cita-citanya.

Lalu, karena hanya Solihin yang bisa menyetir jadilah ia ditugaskan sebagai supir. Hampir pula ia meneteskan air mata karena merasa akhirnya kemampuan menyetirnya tak hanya digunakan untuk mengangkut alat-alat material, namun bisa berguna bagi masa depan Mila yang lugu, adik dari temannya yang lugu.

“Terima kasih atas amanat mulia ini Verdonk,” sembari menjabat tangan Verdonk yang tersenyum bangga bisa membuat “anggota” nya bahagia.

Kemudian, duet SumiYati dibantu Dijah, ditugaskan untuk menodong penghuni bank dengan senjata—yang didapat dari kenalan Verdonk, mengurus tawanan dan membuka jalan bagi Yurino dan Verdonk untuk masuk ke tempat brankas. Sementara kondisi bank dan penghuninya diurus Sumi, Yati dan Dijah, Yurino akan memberikan sambutan kata dari komplotan perampok. Setelah itu, Yurino akan membantu Verdonk mengambil duit di brankas. Tahap terakhir, mereka akan berlari kembali ke mobil membawa uang dari brankas.

Tak ada kata “menembak” dalam rencana, mengingat mereka juga tidak pernah menggunakan senjata api sebelumnya. Dengan melihat keamanan bank yang sangat lengang, disebabkan memang kota mereka merupakan kota pinggiran, dan terkenal kota yang ramah lagi tentram, sepertinya tak ada halangan yang berarti untuk rencana mereka kecuali diri mereka sendiri yang tak berpengalaman dalam berbuat kejahatan.

Setelah Verdonk menetapkan hari eksekusi perampokan dan melarang siapapun untuk membantah keputusan tersebut, perkumpulan pun diadakan setiap harinya. Namun, bagai menyapu debu di atas permukaan air, pertemuan hanya diisi dengan pertengkaran duet SumiYati melawan Solihin, bualan Verdonk, dan keluhan Dijah. Sementara Yurino? Menghafal teks yang disiapkan Verdonk untuknya di pojok ruangan.

Tak pernah sedikitpun Verdonk memberi secara detail rencana yang telah ia siapkan, hanya sekadar “persupiran”, “todong-menodong”, “sambutan komplotan perampok” dan “lari sekencang mungkin” karena Verdonk memberikan batas waktu total perampokan—dua puluh menit. Jadilah mereka menambahkan lari keliling taman sebagai rutinitas harian setiap satu jam sebelum perkumpulan.

“Biar macam anjing galak, tak bakal ada yang bisa mengejar kita,” ucap Verdonk saat Dijah mengeluh dan menanyakan maksud sebab perintah Verdonk.

Biasanya sebelum perkumpulan dimulai, Verdonk akan memberikan orasinya dengan menceritakan kisah perjuangan Mila sebagai permulaan, lalu menjelaskan pejabat korup dan hubungannya dengan “mahalnya” biaya kuliah, terakhir, ia  mengajak komplotannya menjawab “betul” dengan suara lantang. Tidak ada yang spesial dalam orasinya namun itu cukup untuk membuat para sekawan merasa perlu merampok bank dengan mengikuti rencana Verdonk.

Hari berganti hari, pekan berganti pekan hingga tiba hari perampokan. Tak ada senyuman pada wajah komplotan, semua tampak tegang. Tak pernah menyangka bahwa diri mereka, para penghuni kursi belakang kelas, benar-benar dalam perjalanan menuju bayang kriminalitas. Gemetar tangan Dijah, wajahnya pucat, bibirnya tak sedikitpun melengkung menunjukan senyuman. Namun kesadaran yang lambat datang membuat mereka harus menyelesaikan apa yang sudah mereka canangkan.

Mobil melaju mulus memasuki daerah parkiran, setelah menerima senyum dan hormat satpam tua yang setengah sadar karena mengantuk. Parkiran tampak sepi dan tak ada penjagaan ketat seperti yang diperkirakan, membuat komplotan dengan mudah mengeluarkan senjata. Kemudian dengan langkah ragu mereka serempak berlari menuju area utama daerah bank, lengkap dengan senjata dan topeng barongsai khas tahun baru Cina.

Untunglah mereka sempat membahas todong-menodong sehingga tak terlalu sulit bagi mereka untuk menakut-nakuti para pengunjung dan pegawai bank dengan senjata mereka. Sumi dan Yati bersama Dijah, meski dengan gerakan yang kikuk berhasil melakukan tugas mereka untuk mengurus tawanan.

Kemudian tibalah giliran Yurino menyetorkan hafalannya di depan penghuni bank yang sedang ditodong.

“PERHATIAAN BANK SEDANG DALAM PERAMPOKAN,” teriaknya.

Para penghuni bank sontak menutup telinga dan pasti mereka akan bersumpah setelah ini bahwa barusan adalah suara paling keras yang pernah mereka dengar—Verdonk tidak berbohong.

“KALIAN ADALAH TAW…” lupa, mencoba mengingat, berpikir keras untuk melanjutkan.

Verdonk menggelengkan kepala, dasar, lemah hafalan. Semua yang berada dalam bank terheran dan saling pandang. Beberapa dari mereka justru tampak kecewa karena merasa sang pemberi sambutan tak sekeren yang mereka kira.

“Heh Dijah, tolong bacakan ini dan bisikkan di telingaku, aku dilarang membaca saat melakukan tugasku oleh Verdonk” ucap Yurino sembari memberikan kertas hafalannya.

Petaka! Tulisan Yurino sangat jelek, membuat Dijah yang tak pandai membaca mati kutu kebingungan. Lama Dijah meragu hingga diambil pula kertas itu oleh Sumi. Berbisik Sumi di telinga Yurino lalu,

“KALIAN ADALAH TAWANAN,” berhenti, menunggu bisikan Sumi.

“JIKA KALIAN PATUH,” berhenti lagi.

“EM.. AKU JAMIN KALIAN AKAN…”

“lanjutkan Sumi cepaaat,” bisik Yurino yang terdengar semua orang.

Sumi berbisik melanjutkan.

“DIBIARKAN HIDUP.”

Selesai, dan terlalu lama, Verdonk tampak geram dibuatnya, timer di tangannya menunjuk lima belas menit, hanya sisa lima menit untuk pelarian.

“Lari,” teriak Verdonk. Serentak semua berlari menuju mobil.

Dijah memimpin pelarian, panik bukan kepalang. Melihat komplotan perampok berlari sontak salah satu pegawai bank memencet alarm, membuat satpam terbangun dan menghubungi polisi. Untungnya telat bagi satpam untuk menghentikan mobil komplotan perampok karena dengan cepat komplotan telah berada di dalam mobil dan memulai pelarian mereka.

Kejar-kejaran dengan polisi pun tak terelakan, polisi menyusul dengan cepat karena mengetahui arah pelarian komplotan perampok. Sepuluh menit tak terasa, mobil komplotan masih berusaha lolos dari kejaran polisi. Kejar-kejaran pun berlanjut hingga bundaran pusat kota yang ramai oleh peserta pawai acara tahun baru Cina.

Lalu tiba-tiba, mobil komplotan melakukan dua manuver cantik, memasuki belokan sempit dekat bundaran kota, memberi celah bagi mereka untuk mengelabui kejaran polisi. Bersamaan dengan itu, Dijah tersadar dari lamunannya pada manuver cantik pertama, dan terheran menatap Solihin di manuver kedua. Sejak kapan Solihin punya kemampuan menyetir sehebat ini!?

Belum selesai terheran-heran, Verdonk melempari Dijah gamis berwarna merah. Lantas berkata,

“Pakai ini, kita akan berlari dan berpindah ke mobil di seberang bundaran.”

Mobil berhenti di tempat tersembunyi, tak terjangkau oleh polisi. Kemudian sontak semua turun bergegas meninggalkan mobil, berlari menuju arah pawai, berbaur bersama peserta pawai yang dominan memakai baju merah.

Dijah linglung, ada apa ini? Apa yang direncanakan Verdonk? Semua tampak sigap, fokus pada arahan Verdonk dan tak menghiraukan keheranan Dijah yang sangat tampak di wajahnya. Sampai di seberang jalan, mereka memasuki mobil dengan sangat cekatan tak membuang waktu sedetik pun seakan sangat terlatih dan mengetahui apa yang akan mereka lakukan, membiarkan Dijah mengikuti mereka keheranan.

Mobil melaju cepat hingga sampai di pinggiran kota, tempat sebuah rumah besar milik pejabat yang dikenal korup dan tak peduli dengan kondisi rakyat. Rumah yang menjadi pertanda ketamakannya. Para sekawan—meninggalkan Dijah di mobil—bergegas masuk ke dalam rumah dengan menggunakan topeng, menembaki CCTV, menyandera satpam dan penghuni rumah, serta memaksa mereka membuka brankas tempat uang haram rakyat disimpan di dalamnya.

Lima belas menit, para sekawan bergegas kembali ke dalam mobil membawa tas besar berisi uang dengan nominal tertinggi dalam jumlah banyak, setelah membiarkan Dijah sendiri di dalam mobil menunggu para kawannya kembali dengan menyimpan banyak pertanyaan. Sesampainya di mobil, Verdonk memberi isyarat kepada Dijah agar tenang dan tak banyak tanya. 

Lantas berkata, “Kau tahu Dijah kenapa aku tak memberitahumu tentang rencana ini sepenuhnya?” suara Verdonk tampak sangat serius dan berbeda dari biasanya.

“Kenapa Bang Ver?” tanya Dijah penasaran.

“Aku tahu kau merasa sama bodohnya dengan teman-teman kau, tapi yang membedakan kau dan mereka adalah kau peragu,”

Dijah menatap heran Verdonk, tak sampai akalnya.

“Yaa, kau adalah peragu yang bodoh.”

Oleh: Muhammad Alkindi Badruzaman

Penulis adalah Kru Website Manggala 2024-2025

Editor: Jazeila Rahmatika

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *