Ibadah haji selalu menarik untuk dikaji dan diperbincangkan. Bagi sarjana fikih, haji dipandang sebagai salah satu rukun Islam yang menjadi subjek primordial. Dari sudut pandang ahli ekonomi, haji adalah event paling profitable untuk meraup keuntungan kapital yang luar biasa. Adapun bagi praktisi pemerintahan, haji merupakan agenda perjalanan (travelling) massal yang maha kompleks dan sangat politis.
Demikianlah, ibadah satu ini telah menjadi lapangan terbuka untuk dikaji dari berbagai point of view. Kali ini penulis akan memaparkannya dari sudut pandang sejarah. Bukan dalam bentuk historiografi sejarah pengerjaan haji dari waktu ke waktu, melainkan lewat penyajian catatan pribadi seputar perjalanan ibadah haji di pertengahan tahun 1929, nyaris seabad yang lalu.
Catatan ini milik Syakib Arselan. Seorang sarjana Islam kenamaan yang namanya selalu disebut beriringan dengan nama-nama reformis Islam lain seperti Afgani, Abduh dan Rasyid Ridha. Tahun 1929 Syakib Arselan menunaikan haji di usianya yang genap 60 tahun. Dalam perjalanan spiritual itu, ia rutin menuliskan kesan dan pengalamannya sepanjang perjalanan. Dua tahun kemudian catatan itu diterbitkan dengan judul Al-Irtasamat al-Lithaf fi Khathir Al-Hajj ila Aqdas Al-Mathaf.
Untuk memberikan konteks, bulan Mei tahun 1929 (Zulhijjah 1348 H) officially negara Arab Saudi belum berdiri, karena raja Abdul Aziz baru mendeklarasikan Saudi Arabia tahun 1932. Urusan wakaf (pendanaan) secara legal formal sejatinya masih tanggung jawab kas Kerajaan Mesir yang waktu itu dipimpin oleh raja Fuad I, namun karena urusan politik pasca runtuhnya Ottoman, pembiayaan haji didanai ‘bersama’. Klan Saud mengambil peran dominan, begitupun dengan kerajaan Islam lain.
Setelah Perang Dunia I situasi geopolitik global tak kunjung stabil. Utamanya di Timur Tengah, pendudukan (occupation) Britania dan Perancis mencengkeram seluruh kawasan. Kesultanan Ottoman sendiri sudah bubar dan berganti menjadi negara ultra-sekuler sejak tujuh tahun sebelumnya. Di tahun ini, lima bulan setelah pelaksanaan haji meletus demonstrasi besar-besaran di Palestina yang dikenal dengan peristiwa Intifada Buraq. Kondisi politik tersebut jelas mempengaruhi tata laksana perjalanan ibadah haji. Yang demikian turut disebutkan Syakib Arselan dalam bukunya ini.
Adapun buku yang digunakan dalam terjemahan ini adalah buku berbahasa Arab cetakan rumah penerbit Hindawi di tahun 2014. Total ada 236 halaman. Termasuk di dalamnya kata pengantar dari penulis dan prakata yang dibuat oleh sahabat karibnya Rasyid Ridha.
Lewat buku ini penulis berhasil memberikan gambaran tentang pelaksanaan ibadah haji di tahun itu, rute perjalanan dan moda transportasi yang jamak digunakan, berikut ulasan mendalam seputar fenomena sosial, politik dan ekonomi yang menyertainya. Dalam kajian sejarah, buku ini digolongkan sebagai buku Rihlah atau travel book yang sah digunakan sebagai sumber primer penelitian.
Dalam usaha penerjemahan ini, tidak semua bagian buku disuguhkan, akan dipilih unit tertentu yang dianggap penting dan suitable dengan konteks kekinian. Sebagai pembuka, di seri-1 ini saya telah menerjemahkan bagian pertama buku mulai dari halaman 19 sampai 21. Dengan tajuk sub-judul Dari Suez ke Jeddah dan Deskripsi Laut Jeddah.
…….
08 Mei 1929, kami berangkat dari Pelabuhan Suez (Mesir) menaiki kapal uap yang membawa setidaknya 1.300 jamaah haji. Mayoritas adalah saudara kita penduduk Mesir, tapi terlihat juga jamaah dari wilayah lain terutama Maghrib. Kapal berlayar dengan tenang, laut tampak sedang bersahabat. Sementara yang membuat kurang nyaman adalah kapal yang sesak sebab penumpang yang berjejalan. Sulit untuk bergerak bebas di semua area kapal, tanpa terkecuali.
Pada hari ke-tiga perjalanan kami, kapal merapat ke Pelabuhan Rabigh (lokasi miqat Juhfah). Bagi setiap jamaah haji yang datang dari utara Laut Merah, mereka akan berihram dari tempat ini. kami yang di kapalpun segera mengambil niat ihram. Sejurus kemudian suasana menjadi riuh, dari segala sisi orang merapal talbiah, sontak terdengar suara yang ramai, magis sekali: “Labbaik Allahumma labbaik, labbaikala syarika lakalabbaik innal hamda wanni’mata laka walmulk la syarikalak”.
Para penumpang masuk dalam suasana haru, bercampur kegembiraan dan perasaan khusyuk yang sangat. Menyentuh permukaan hati yang paling dalam, menembus tiap-tiap jiwa. Perjalanan menuju lokasi dimana tiap orang akan mengganti pakaian dengan ihram itu sudah di ambang pintu. Kira-kira dua hari perjalanan lagi kami akan tiba di dataran Hijaz.
Di sana orang-orang berdatangan tanpa memakai baju yang berjahit, karena ada tempat suci. Manusia berduyun-duyun datang dengan keadaan yang lain daripada saat mereka mendatangi tempat-tempat di bumi ini. karena Baitullah lebih dalam segala hal dibanding istana raja atau padepokan kaisar–yang tatkala orang menuju ke sana tidak ada yang berihram, baik dari jauh maupun dekat.
Sedang yang lain khusyuk betul malam itu. Mereka tak henti-henti merapal talbiah, sembari menunggu fajar menyingsing. Jeddah kiranya sudah dekat, pelabuhan rumah Allah yang agung. Kemudian mentari datang, tampak lah gunung-gemunung Hijaz berdiri tegak. Demi melihat itu orang-orang makin hebat membaca tasbih, tahlil dan takbir. Bertambah semaraklah talbiah berkumandang.
Bercampur baur antara kegembiraan, khusyuk dan suka cita dengan tibanya kami di tanah paling suci sedunia. Tidaklah terlihat kecuali mata-mata yang tak dapat lagi berkedip dan hati yang bergejolak. Semuanya menghadap ke daratan, menanti dengan sabar untuk segera tiba di Jeddah.
Waktu dhuha tanggal 04 Dzulhijjah kapal kami menjatuhkan sauh, merapat ke pelabuhan dengan pelan sekali. Di sekeliling pelabuhan, bukit-bukit dan hamparan bebatuan mendominasi, yang puncak-puncaknya tampak menyembul dari dalam laut. Di sepanjang bibir pantai ada 15 kapal lain yang tengah bersandar menjaga jarak antara satu dengan yang lain.
Jeddah dan Lautannya
Ada dua hal yang segera menarik perhatianku sesaat tiba di Jeddah, kedua hal itu senantiasa melayang-layang di dalam kepala.
Pertama, pemandangan kapal-kapal yang tengah bersandar di lepas pantai. Sejatinya tak berhak pelabuhan ini dipenuhi sekian banyak perahu dan kapal-kapal uap kalaulah bukan karena di balik pelabuhannya ada hal yang amat bermakna, sesuatu yang agung, tempat tujuan yang mulia.
Kapal-kapal ini merepresentasikan maksud orang-orang datang ke sini. Satu ketika saat tengah memandangi laut, seseorang di sebelah berkata padaku: “Wahai, coba lihat! Biasanya di sini ada lebih dari tiga puluh sampai empat puluh kapal besar bersandar, bahkan kadang sampai lima puluh kapal! seakan terlihat seperti pepohonan di belantara hutan. Saking banyaknya kau akan menyangka sedang berada di Hamburg atau New York.”
Hal kedua yang menarik perhatianku adalah panorama air laut yang luar biasa. Selama ini aku sudah berkeliling ke banyak tempat dan singgah di sekian pelabuhan. Laut Mediterania, Laut Hitam, Laut Baltik, Laut Mainz dan Laut Atlantik. Dari semuanya belum pernah bola mataku menangkap panorama air laut yang demikian cantik lagi berkilau seperti laut Jeddah ini.
Kemanapun mata memandang, kiri dan kanan yang terlihat hanya garis-garis lurus vertikal serupa pelangi dengan pelbagai macam warna dan bias cahaya. Merah, biru, ungu, coklat dan hijau. Garis-garis ini mirip sekali dengan pelangi, kecuali bentuknya yang tegak lurus ke atas, adapun pelangi biasanya lebar melengkung. Garis berwarna ini seperti muncul dari dalam air menyorot ke langit, seperti ekor merak yang tengah mengembang. Ya, benar-benar tak ada bedanya dengan ekor merak, kecuali garis ini besar sekali. Memanjang ratusan meter, melebar sebesar itu juga. Dengan posisi warna berpadu simetris.
Kilauan cahayanya yang mencolok menangkap tiap pasang mata yang melihat. Seakan tiap sisi laut jadi panggung bagi merak-merak jantan berlenggak-lenggok di tengah samudera biru. Tiap kali cahayanya makin mendekati laut maka semakin nampak ribuan merak sedang mengembangkan sayapnya secara bersamaan. Lama aku memandangi pemandangan hebat ini “sungguh yang semacam ini tak akan membosankan mata, betapa eloknya!” kataku.
Sejurus kemudian aku bertanya pada seorang di sebelah, seorang Inggris totok yang rupanya berprofesi sebagai nakhoda di kapal lain, sepertinya di maskapai Hindia Timur. Aku penasaran barangkali dia pernah melihat pemandangan semacam ini di tempat lain. “Wahai, aku sudah berkelana ke banyak tempat, melihat samudera, laut dan sungai, tak terhitung jumlahnya. Dan belum pernah aku melihat panorama seindah ini, bagaimana dengan Anda?”
Pria itu diam sejenak lalu menjawab “betapapun sudah sering Anda berjalan dan banyak pengetahuan Anda tentang laut, belumlah sepadan dengan apa yang sudah kulihat dan kuketahui, Tuan. Sungguh kukatakan padamu, aku pun tak menemui pemandangan sehebat ini kecuali di sini, di perairan Jeddah.”
Masih dengan orang yang sama, kusambung pertanyaanku sebelumnya “apalah gerangan yang menyebabkan garis-garis berwarna itu, Tuan?” belum beranjak dari tempat tadi, dia melanjutkan, “perairan ini dangkal, di dalam sana banyak terumbu karang yang dilingkupi pelbagai biota laut, yang semuanya memiliki warna beragam. Karena dasarnya dekat dengan permukaan, jadi warna terumbu karang dan tumbuhan laut itu menguar ke atas. Saat bertemu dengan cahaya matahari bertambahlah intensitas warna-warna tadi, akhirnya bisa menimbulkan garis-garis lebar penuh warna seperti pelangi tegak itu.”
“Oh iya, kadar garam Laut Merah ini juga tinggi. Kadar garam yang tinggi menyebabkan banyaknya terumbu karang di sini. Sayangnya bagi dunia pelayaran, perairan dangkal dengan terumbu karang bisa berbahaya bagi kapal, karena di beberapa titik bahkan ada yang sampai menyembul ke permukaan, seakan membentuk pulau kecil,” lagi-lagi ia melanjutkan penjelasan pajangnya.
Sementara aku mengangguk berusaha memahaminya, “di karang itu tumbuh rumput laut dan biota lain, warnanya macam-macam, semuanya berwarna terang. Ada yang merah merona, hijau elok dan kuning cerah. Oleh nelayan, ada jenis rumput yang diburu, namanya Rumput Marjan. Indah sekali, kerap dijadikan pajangan di istana raja-raja.”
“Jadi, karang itulah yang memantulkan warnanya lewat cahaya matahari sampai ke atas permukaan. tampak dari atas seperti ekor merak macam pelangi. Namun jangan salah, di waktu yang bersamaan karang-karang itu jadi momok bagi kapal-kapal. Maha Suci Allah yang membuat sesuatu tampak elok, namun juga bisa menjadikannya berbahaya; ancaman pelayaran. Betul kata bijak bestari bahwa pada yang elok itu bisa jadi ada sesuatu yang buruk” pungkas pria nakhoda itu.
Kiranya sama dengan yang dikatakannya, kudengar dari orang-orang, memang pelabuhan dengan perairan paling aman itu ada di pelabuhan Rabigh. Lautnya dalam dan minim karang. Karena itu pula kadar garam di sana jauh lebih rendah dibanding perairan lain. Hal ini disebabkan karena perairan Rabigh jadi muara dari banyak sungai, yang kemudian meminimalisir kadar garam dan pada akhirnya membuat terumbu karang tak banyak tumbuh.
Kiraku akan baik sekali bila ada lembaga penelitian geologi yang mau meneliti tentang Laut Merah dan penyebab banyaknya karang di perairan ini. Penjelasan yang sudah ada belum dibuktikan oleh riset sains yang mendalam. Semata perkiraan dan asumsi saja. Demikian tentang Laut Jeddah yang kuketahui.
Adapun soal daratan Jeddah, sepertinya biasa saja. Tapi tak buruk-buruk amat. Mayoritas bangunan masih bercorak arsitektur abad pertengahan. Bangunan dengan arsitektur abad pertengahan juga bagus, bukan?. Belakangan banyak arsitek yang mengadopsi corak bangunan yang demikian. Namun pendapatku, Jeddah akan lebih baik bila diperbanyak penggunaan peralatan mekanis modern, ruas-ruas jalan dibuat mengikuti zaman, juga dalam bidang industri, ekonomi dan yang lain-lain.
Metode membangun gedung dan tata kota kiranya sudah baik, banyak arsitek hebat di sini. Bahkan tukang-tukang mebel Jeddah pernah membuat kagum Kolonel Laurence dari Inggris ketika pertama kali ia tiba di Jeddah saat Perang Besar (Saud-Ottoman). Seperti dia, aku pun kagum.
Namun ya, Seperti perang pada umumnya, Perang Besar telah menghancurkan banyak hal. Banyak bangunan yang hancur, terutama sebelum era Raja Ibnu Saud. Namun setelah kekuasaan ada di tangannya, perlahan semua kembali normal. Bangunan yang hancur dibangun lagi, kegiatan masyarakat kembali menggeliat. Tak butuh waktu lama sampai Jeddah kembali pulih seperti sedia kala.
Bersambung…
Oleh: Rifaldhoh
Penulis adalah mahasiswa Universitas Al-Azhar fakultas Sejarah dan Peradaban