“Ibu, Ayah udah bahagia di surga kan?” tanya Aryo di suatu malam.
Anak usia 10 tahun itu dipaksa menjadi dewasa sedini mungkin oleh takdir. Menjalani masa kanak-kanak tanpa sosok yang kuat dan tegar seperti ayah. Masa itu adalah masa-masa paling sulit bagi keluarga mereka.
“Kamu tau darimana kalo Ayah bahagia?” sang ibu mencoba menahan tangis sebisa mungkin. Aaah andai ia tahu bahwa suaminya punya kanker, pastilah ia takkan mengizinkan suaminya untuk lembur, bahkan di hari libur.
“Kan Aryo nurut sama ibu. Kata Pak Ustadz, kalo nurut sama Ibu, Aryo jadi anak sholeh. Kalo Aryo jadi anak sholeh, Ayah juga dapat pahala. Kalo Ayah dapat pahala, Ayah bahagia di surga. Iya kan bu?” jawab Aryo dengan matanya yang berbinar.
“Selagi Aryo terus mendoakan Ayah, insyaallah Ayah bakal terus bahagia, nak. Kalau Aryo pinter di sekolah, Ayah juga bakal bahagia.” Perlahan, sang ibu mengusap air mata yang tiba-tiba menyeruak mendengar penuturan anaknya.
Perlahan, ia peluk erat sang anak, mereka saling memberikan kehangatan di tengah malam yang sepi itu. “Aryo sayang sama ibu,” bisik Aryo sebelum terlelap memejamkan mata.
***
Burung-burung sudah sibuk berkicauan di pelataran rumah. Kembali ke rutinitas, Aryo yang kini duduk di kelas 5 SD sudah siap berangkat ke sekolah dengan seragam merah putih kebanggaannya.
“Bekalnya jangan lupa dihabiskan ya nak..” pesan Ibu setelah Aryo berpamitan sambil mencium tangan ibunya.
Jarak sekolah ke rumah Aryo tak jauh. Masih dalam satu kelurahan. Cukup berjalan kaki 15 menit saja ia sudah bisa sampai di sekolah. Pak Satpam menyambut di gerbang sekolah sembari menikmati kopi susunya. Tak lama kemudian bel tanda masuk pun berbunyi. “Untung saja aku tidak terlambat” pikir Aryo.
Pukul sepuluh tepat, bel tanda jam istirahat berbunyi. Anak-anak pun berlarian keluar kelas menuju kantin. Mengisi perut mereka yang sudah kelaparan sejak tadi. Berbeda dengan Aryo, ia tidak ke kantin karena punya bekal makanan dari Ibu. Sebenarnya banyak juga yang membawa bekal, tapi biasanya anak orang kaya. Bekal mereka pun mewah-mewah. Tak seperti Aryo yang hanya nasi dengan telur dadar di atasnya.
“Dasar yatim! Minta duit tuh ke bapakmu sana! Biar bisa jajan ke kantin, atau bisa bawa bekal yang enak dikit,” ucap salah seorang anak perempuan ketika Aryo hendak menyuapkan bekal spesial buatan sang ibu ke dalam mulutnya, “oh iya lupa, enggak punya bapak ya? Ups!” lanjut anak perempuan itu dengan tawanya yang terdengar meremehkan.
Mendengar hal tersebut, dada Aryo bergemuruh, ia memang anak yatim, tapi bukan berarti ia bisa direndahkan seperti itu. Tanpa pikir panjang, Aryo memukul pipi anak tersebut sekuat yang dia bisa. Marah, sedih dan senang bercampur dalam pukulan itu. Marah karena dia sudah dihina, sedih karena dia kangen ayah, dan senang karena dia berhasil memberikan pelajaran ke anak itu.
Anak perempuan itu terdiam, lalu sedetik kemudian ia menangis dan berlari meninggalkan kelas. “Aku menang” lirih Aryo sambil tersenyum tipis.
Aryo pikir masalahnya sudah selesai. Dia sudah menang. Tapi ternyata tidak. Anak perempuan itu mengadu pada orangtuanya yang merupakan salah satu donatur di sekolah. Hal tersebut membuat Ibu Aryo dipanggil ke sekolah dan diberikan Surat Peringatan oleh kepala sekolahnya. Jika Aryo mengulanginya sekali lagi, maka dengan berat hati akan dikeluarkan dari sekolah. Tentu saja sang Ibu tak ingin ini terjadi.
Di rumah, Aryo dimarahi habis-habisan oleh Ibu. Uang jajannya dipotong. Biasanya dengan uang jajan itu, Aryo bisa menabung untuk beli buku bekas di pasar loak. Itu pun perlu waktu satu bulan. Lalu sekarang, bagaimana ia bisa menabung!?
“Siapa yang mengajari untuk kasar pada orang? Malah yang ini perempuan lagi. Ibu juga perempuan, nak! Kalau kamu kasar sama temanmu yang perempuan, itu sama artinya kamu kasar sama ibu.” Ucap sang ibu memuntahkan semua amarahnya.
Aryo hanya terdiam. Tak tahu harus menjawab apa. Ia tidak mengira masalahnya akan sejauh ini.Hei, ia hanya ingin membela diri. Ia sudah menjelaskan hal tersebut kepada Ibu dan kepala sekolahnya berkali-kali, tapi semua itu sia-sia. Membuatnya berakhir minta maaf dengan kepala tertunduk lesu.
Keesokan harinya, Aryo sudah kembali dengan semangat baru. Biarlah masalah kemarin berlalu, ia bisa melanjutkan hari-harinya dengan tenang. Namun sayangnya lagi-lagi ia salah, teman-temannya justru terus mengolok-ngoloknya. Berkata ia anak miskin, tidak punya ayah dan hal buruk lainnya. Semakin hari, semakin banyak pula yang merudung dan merendahkan Aryo di sekolah.
Hingga suatu hari, Aryo sudah tak mampu lagi menahan amarahnya. Ia lagi-lagi terprovokasi, membuat seorang anak yang merupakan temannya sendiri menjadi korban. Lalu seperti kemarin, ibunya dipanggil kembali ke sekolah.
“Saya sudah peringatkan kemarin. Dan dengan berat hati, Aryo kami kembalikan kepada Ibu ke rumah,” ucap kepala sekolah. Betapa hancur hati sang ibu ketika mendengar kata tersebut.
***
Beberapa hari kemudian, Aryo mulai menjalani hari di sekolah barunya. Lumayan jauh dari rumah karena harus menggunakan angkot, dan Aryo suka dengan angkot. Karena dia bisa menemukan kata ‘teman’ di sana. Sopir angkot, kenek terminal, pedagang asongan, pengamen hingga ibu-ibu warung kopi, semuanya selalu larut dalam obrolan panjang bersama Aryo. Sayangnya hal ini membuat ia sering bolos di sekolah barunya. Ia lebih memilih nongkrong di terminal daripada belajar di sekolah.
Aryo pun tumbuh menjadi anak yang dewasa cara berpikirnya. Lebih dewasa dari anak seusianya. Lihatlah, dia bahkan memilih membantu abang-abang pengamen di lampu merah untuk mendapat tambahan jajan daripada harus minta ke ibu. Tapi ternyata ‘kedewasaannya’ itu justru menjerumuskannya ke dalam sesuatu yang lebih buruk. Tak hanya sering bolos, kini ia mulai merokok, kata-kata kotor juga sudah terbiasa keluar dari mulutnya. Bahkan sekarang,ia juga mulai sering pulang malam.
“Belajar kelompok bu,” jawabnya ketika ditanya kenapa selalu pulang malam. Padahal dia baru selesai main kartu di terminal.
Andai Aryo tahu penyakit ibunya selama ini, mungkin dia tak akan berbuat sejauh itu. Dia tidak pernah tahu ibunya selalu ke rumah sakit satu kali dalam seminggu untuk menyembuhkan penyakitnya. Setiap hari Kamis. Dan Aryo tidak pernah tahu itu.
“Nak, salat subuh dulu, nak!” ucap ibu di suatu pagi.
“Bu, Aryo baru sampai di rumah, tidur pun belum juga sampai lima menit, nanti aja bisa gak sih!?” jawab Aryo dengan nada tinggi.
“Nak, Ibu perhatikan kamu selalu pulang malam. Tidak ada belajar kelompok yang pulangnya jam 5 subuh, nak!” lanjut ibu. Aryo diam tak menjawab.
“Kemarin Ibu dapat laporan dari sekolah bahwa kamu tidak masuk kelas selama satu minggu terakhir. Kamu kemana aja nak?” Sang ibu mulai mempertanyakan keanehan yang sebenarnya sudah ia sadari akhir-akhir ini.
Bukannya menjawab dengan bahasa yang baik, Aryo justru membentak ibunya, “bu, sudah! Aryo capek!” nada bicaranya mulai meninggi. Aryo berdiri di hadapan sang ibu, memelototi wajah perempuan yang kian menua itu.
“Enggak ada satupun yang sayang sama Aryo. Pertama Ayah, kenapa ayah harus meninggal? Sehingga mereka itu bisa seenaknya memanggil Aryo anak yatim, ” napasnya terengah, air matanya mulai menetes.
“Kedua, Ibu. Kenapa Ibu enggak pernah membela Aryo di hadapan kepala sekolah? Aryo gak salah bu! Mereka yang mulai duluan. Siapa juga yang ingin dipanggil anak yatim!? Tapi malah Aryo yang Ibu marahin,” lanjutnya penuh raungan, ia sungguh marah, tapi ia juga tak sanggup menatap wajah ibunya yang mulai berlinang, “Hanya orang-orang di terminal yang selalu ada untuk Aryo, Aryo hanya ingi..” Sebelum menyelesaikan kalimatnya, sang ibu tiba-tiba tergolek tak sadarkan diri.
“Ada apa ini?” ujar Aryo dalam hati. Aryo tidak mengerti. Ia menepuk-nepuk pipi ibunya, tapi tak bangun juga. Dia panik. Apa yang harus dia lakukan?
Teringat Pak Kades, Aryo pun berlari memanggil pak kades di rumahnya. Berharap Beliau sudah bangun di pagi-pagi buta. “tok tok tok” bunyi ketukan pintu rumahnya. Alhamdulillah beliau ada. Aryo pun segera meminta bantuan Pak Kades. Beliau langsung mengerti dan langsung menuju ke rumah Aryo dengan pakaian seadanya, kaos dan sarung.
Ibunya dibawa ke rumah sakit dengan mobil pak kades. Aryo ikut di belakang. Hatinya harap-harap cemas. “Ya Tuhan, Aku tidak ingin kehilangan untuk kedua kalinya,” doanya dalam hati.
Sesampai di rumah sakit, Ibunya langsung dibawa ke sebuah ruangan. Entahlah, Aryo juga tidak tahu ruangan apa itu, yang jelas ada banyak orang berbaju putih putih masuk ke ruangan tersebut. Ekspresi wajah mereka sangat tidak menyenangkan hati Aryo sama sekali. Tapi sayangnya Aryo ditahan di luar. “Hei kenapa tidak boleh masuk? Aku anaknya..” protes Aryo. Pak Kades juga diam saja saat itu.
Satu jam, ruangan itu masih ditutup.
Dua jam, Ibu belum keluar juga.
Tiga jam, ketika Aryo setengah mengantuk, orang-orang berbaju putih-putih tadi keluar. Tapi tidak dengan ibu. “Ah Ibu pasti ada di dalam,” pikir Aryo. Ia pun bergegas masuk menemui Ibu.
Sebuah fakta menampar keras hati Aryo. Ibu sudah lama mengidap suatu penyakit, dan ia baru mengetahuinya. Entahlah, Aryo juga tidak mengerti itu penyakit apa, yang jelas jantung milik Ibu sedang tidak baik-baik saja. Dan Aryo sadar bahwa perkataannya tadi pagi adalah penyebab penyakit ibunya kumat, bahkan sampai terbaring tak sadarkan diri dengan selang-selang terpasang di beberapa bagian tubuhnya.
Sudah lima hari Aryo menemani Ibu di rumah sakit. Ia sungguh menyesal telah berkata kasar di depan ibunya. Untungnya, ada pak kades yang baik hati. Beliau menanggung semua biaya yang dikeluarkan untuk Ibu, “gak papa, saya itu itu sahabat dekatnya Bapakmu dulu, bahkan sudah seperti saudara,” ucap pak kades sambil tersenyum.
Ibu mulai membaik kelihatannya. Sudah bisa makan, sudah bisa senyum, dan bahkan tertawa kecil. Aryo pun sekarang sudah rajin sholat. Kadang di Masjid rumah sakit, kadang di sebelah ranjang Ibu. Mereka kembali menjadi keluarga kecil yang hangat. Aryo meminta maaf atas kelakuannya selama ini. Ia sangat merasa bersalah.
“Gak papa, Aryo. Walau bagaimanapun, kamu akan selalu jadi anak Ibu yang paling Ibu sayang,” ucap sang ibu sambil mengelus kepala anak semata wayangnya. Ia paham bahwa selama ini Aryo tak sepenuhnya salah. Dia hanya anak kecil yang polos. Daripada menyalahkan Tuhan yang sudah memanggil suaminya duluan, ibu memilih menyalahkan dirinya sendiri.
Di hari ke-6, tawa Aryo lenyap seketika. Subuh-subuh sepulang Aryo dari masjid, ibu masih tiduran di ranjangnya. Aryo pun membangunkan Ibu untuk salat. Satu dua tepukan, Ibu tidak bangun. Dipanggil-panggil, Ibu masih belum bangun juga. Diguncang-guncangnya tubuh sang ibu, tak ada perubahan. Aryo panik. Hanya mereka berdua di ruangan itu. Pak Kades pun sudah pulang ke rumahnya sejak 2 hari yang lalu.
Bergegas, Aryo segera keluar memanggil dokter atau suster yang berjaga. Kakak-kakak perawat yang setengah mengantuk berjaga di depan meja kerjanya langsung terbangun, bergerak cepat. Menghubungi dokter dan segera melakukan tindakan secepatnya. Aryo lagi-lagi disuruh menunggu di luar. Hatinya sedang tidak baik-baik saja.
Di dalam, dokter hingga perawat segera bergerak. Dokter mulai mengeluarkan sebuah alat seperti setrika. Menggosok-gosokkannya ke dada Ibu. Lalu diangkat ke atas. Satu kali, dua kali, tidak ada perubahan. Alat pacu jantung itu sepertinya tidak bekerja. Mereka menyerah. Aryo duduk di depan ruangan ibu. Membaca zikir-zikir yang diajarkan pak ustadz dulu. Sesekali membaca ayat-ayat pendek yang pernah dihafalkannya.
15 menit kemudian, pintu ruangan itu terbuka. Salah seorang dokter berjalan ke arah Aryo dan langsung memeluknya,”yang sabar ya nak!” ucap dokter itu.
Aah Aryo paham. Air matanya mengalir deras. Satu-satunya keluarga yang dia miliki telah pergi. Untuk kedua kalinya, Aryo merasakan kehilangan. Pertama, Ayah. Kedua, Ibu.
Lihatlah! Aryo, anak sepuluh tahun itu ‘dipaksa’ menjadi dewasa lebih awal dari teman-teman seusianya. Tidak mudah menjalani masa kanak-kanak tanpa dua orang sosok penting seperti orangtua.
“Aryo janji, Aryo akan bikin bangga Ayah sama Ibu. Aryo akan menjadi seperti yang Ayah dan Ibu harapkan.” janji Aryo pada dirinya. Teringat percakapannya tentang masa depan dengan sang ibu kemarin.
Ibu dimakamkan di samping makam Ayah. Seminggu sekali, Aryo akan ke sini untuk menemui kedua orang tuanya. Membersihkan rerumputan, mendoakan, lalu beranjak pulang.
Mari kita tunggu kisah Aryo berikutnya. Cerita Aryo belum selesai, ia justru baru saja dimulai.
Oleh: Irfan Amrullah Prasetyo
Editor: Jazeila Rahmatika