Bimbel Masisir Tingkat Akhir: Membantu atau Melanggengkan Ketidakmandirian?

Bimbel Tingkat Akhir
Dok. Manggala

Beberapa hari silam, saat sedang sedikit overthinking memikirkan kebijakan baru tentang kewajiban absen di perkuliahan, penulis yang waktu itu sedang rebahan, membuka telepon genggamnya yang kini sudah berusia dua tahunan. Seperti biasanya, membuka aplikasi WhatsApp adalah rutinitas yang jarang ditinggalkan. Ya, meskipun tidak ada pesan yang masuk, setidaknya melihat story orang-orang adalah hiburan tersendiri bagi penulis yang terkadang merasa kesepian karena belum memiliki sang pujaan idaman.

Ketika sedang men-scroll story-story tersebut, geser-menggeser layar pun terhenti sejenak karena sesuatu yang membuat penulis sedikit mindblowing dan mengherankan. Adalah status salah satu kawan yang menampilkan poster dari salah satu lembaga pendidikan ternama di jagat kemasisiran. Sebenarnya, gambar dan desain poster itu biasa saja, namun isinya lah yang membuat tertegun dan menanamkan bibit keresahan.

Poster itu memuat informasi tentang pendaftaran bimbingan belajar (bimbel) guna menghadapi ujian termin yang akan datang sekitar tiga bulan kedepan. Jika biasanya bimbel ini hanya dibuka untuk tingkat 1-2 dan sesekali tingkat 3 khususnya untuk anak syariah yang membahas bab waris, di poster tersebut tertulis bahwa bimbel ini tersedia untuk mahasiswa dari semua tingkatan, alias dari tingkat 1-4. Sontak, hal ini menimbulkan tanda tanya besar di benak penulis: kok bisa sih bimbel diadakan hingga tingkat empat?

Keresahan ini muncul bukan tanpa alasan. Ketika penulis melihat bahwa bimbel diselenggarakan untuk mahasiswa tingkat akhir, beberapa pertanyaan menggeliat di otak: apa urgensinya membuka bimbel untuk tingkat 4? Bukankah di tingkat tersebut seharusnya Masisir sudah memahami bahasa Arab dan mampu beradaptasi dengan materi diktat yang diajarkan? Atau, malah justru dibukanya bimbel ini karena ada permintaan pasar, sebagaimana lazimnya hukum ekonomi? Kalau begitu, berarti banyak yang tidak percaya diri dengan kemampuan mereka sendiri, kan?

Memang harus diakui, kita tidak bisa menutup mata terhadap berbagai rintangan dan tantangan yang dihadapi Masisir dalam mengikuti perkuliahan. Berbagai faktor, mulai dari latar belakang pendidikan yang beragam hingga metode pengajaran di kelas yang terkadang tidak efektif, menjadi alasan utama mengapa banyak mahasiswa kesulitan memahami diktat yang akan diujiankan. Selain itu, fakta bahwa seleksi masuk Al-Azhar di Indonesia tidak seketat beberapa tahun yang lalu juga berkontribusi pada menurunnya standar akademik mahasiswa yang datang ke Mesir. Banyak yang sebenarnya belum siap secara bahasa maupun akademik, tetapi tetap diterima dan melanjutkan perkuliahan di Al-Azhar. 

Namun, menurut hemat penulis, memperpanjang ketergantungan pada bimbel hingga tingkat empat hanya akan menciptakan pola belajar yang tidak sehat dan berpotensi mengikis semangat belajar yang seharusnya dimiliki oleh mahasiswa. Dalam hal ini, lembaga pendidikan yang mennyelenggarakan patut dikritik, karena keberadaan bimbel tersebut seolah melanggengkan ketidakmandirian Masisir dalam belajar. Apalagi iklan terbaru yang dibuat dalam menggaet peserta untuk mengikuti bimbel, seolah menggeneralisir Masisir tidak bisa memahami diktat secara mandiri.

Jika bimbel hanya diperuntukkan bagi tingkat 1 dan 2, penulis berpandangan itu masih bisa dimaklumi sebagai sarana transisi bagi mahasiswa yang baru memasuki dunia perkuliahan. Namun, untuk tingkat 3, apalagi sampai tingkat 4, hal ini jelas berlebihan dan menjadi tanda bahwa masih banyak mahasiswa yang belum sepenuhnya siap menghadapi tantangan pendidikan yang lebih tinggi. Ketika mencapai tingkat 3, Masisir seharusnya sudah mulai berani dan percaya diri untuk menghadapi diktat kuliah dengan kemampuan sendiri. Masa iya, setelah lebih dari dua hingga tiga tahun atau lebih tinggal di Mesir, negara yang menjadi pusat keilmuan Islam terbesar di dunia, masih belum mampu membaca dan menelaah kitab berbahasa Arab khususnya diktat perkuliahan secara mandiri? Namun, jika kenyataan ini masih dirasakan, bukan berarti tidak ada jalan keluar. 

Karenanya, bagi yang masih bergantung pada bimbel, kuy mending lebih giat dalam belajar bahasa Arab. Tingkatkan upaya dalam memperkaya kosakata, memperdalam pemahaman nahwu dan sharaf, serta biasakan diri membaca kitab tanpa terjemahan. Sebab, setelah menyelesaikan studi di Al-Azhar, tentu kita akan kembali ke Indonesia, kan? Masa iya, seorang lulusan Al-Azhar tetapi lemah dalam bahasa Arab? Bukankah itu hanya akan mempermalukan diri sendiri dan mengecewakan ekspektasi masyarakat yang menunggu kepulangan kita?

Selain itu, sangat penting untuk menyadari bahwa kehadiran di saat muhadharah bukan sekadar kewajiban absen yang katanya sebentar lagi bakal dijalankan, melainkan juga merupakan kesempatan berharga untuk belajar langsung dari duktur dan berdiskusi dengan rekan-rekan seperjuangan. Tak hanya para masyaikh di per-talaqqi-an, dosen di kampus adalah sumber pengetahuan yang tak ternilai, dan interaksi langsung dengan mereka dapat memberikan pemahaman yang lebih mendalam tentang materi yang diajarkan. Oleh karena itu, usahakan untuk lebih disiplin dalam menghadiri perkuliahan, meskipun terkadang materi terasa kompleks dan memberatkan.

Kemudian, daripada terus mengandalkan bimbel yang sifatnya sering kali satu arah, lebih baik membentuk kelompok belajar. Kelompok belajar tidak hanya akan menciptakan lingkungan yang lebih dinamis, tetapi juga memberikan kesempatan untuk berdiskusi dan berbagi pemahaman. Dengan belajar bersama, Masisir dapat saling mendukung dalam memahami materi, serta melatih kemampuan berbicara dan berpikir kritis yang akan sangat berguna bagi masa depan. 

Cara membentuk kelompok belajar pun tidaklah sulit. Kita bisa memulainya dengan teman satu almamater, teman-teman dari kekeluargaan, atau yang paling utama, teman baru yang dijumpai di kelas. Dengan membentuk komunitas belajar kecil, kita dapat saling menyemangati untuk hadir di perkuliahan dan berbagi pengetahuan. Ini akan menciptakan atmosfer yang lebih positif dan meningkatkan kemampuan bahasa Arab serta pemahaman materi yang lebih mendalam.

Sebagai penutup, penulis ingin menegaskan bahwa tulisan ini bukanlah penolakan mutlak terhadap bimbel yang banyak bertebaran saat menjelang momen ujian. Menurut hemat penulis, bimbel pada dasarnya memiliki peran penting dalam membantu mahasiswa, terutama dalam menghadapi ujian yang menegangkan. Namun, ketika bimbel terus dibuka hingga tingkat akhir, khususnya untuk mahasiswa tingkat 3 dan 4, hal ini justru memperpanjang ketergantungan yang seharusnya sudah berkurang di tahap tersebut. Alih-alih membentuk kemandirian belajar, bimbel tingkat akhir hanya melanggengkan pola belajar instan.

Terakhir, penulis membuka ruang diskusi mengenai fenomena ini. Bagaimana kita bisa memaksimalkan peran bimbel tanpa mengorbankan kemandirian akademik mahasiswa? Solusi ideal mungkin ada di tengah-tengah: bimbel tetap ada untuk membantu, tetapi harus dibarengi dengan dorongan yang lebih kuat bagi mahasiswa untuk mengasah kemampuan belajar mandiri serta menghadiri perkuliahan, terutama di tingkat akhir. Semoga kita semua senantiasa diberikan kemudahan dalam menapaki langkah perjuangan di bumi kinanah tercinta ini. Tabik!

Oleh: Rifqi Taqiyuddin

Dewan Konsultatif Manggala 2024-2025

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *