Esai, Opini  

MENGGUGAT KITAB-KITAB HASYIAH

Doc.Manggala

Menjalani studi di Al-Azhar telah membuka cakrawala pemikiran saya dengan cara yang tak terbayangkan sebelumnya. Sebagai Salah satu institusi pendidikan Islam tertua dan bergengsi di dunia, Al-Azhar menyimpan kekayaan intelektual yang begitu mendalam, dan disanalah saya pertama kali berhadapan dengan fenomena unik: dominasi kitab-kitab hasyiah dalam kajian keilmuan. Kitab-kitab ini, yang pada dasarnya adalah komentar atas komentar sebelumnya, membentuk kerangka utama dalam proses pembelajaran yang berlangsung di hampir setiap sudut Al-Azhar, mulai dari halaqah-halaqah talaqqi, daurah khusus, hingga kajian yang dipimpin oleh para senior Masisir (Mahasiswa Indonesia di Mesir).

Namun, di balik pengakuan akan pentingnya hasyiah dalam tradisi keilmuan Al-Azhar, saya juga mulai merasakan dilema intelektual yang mendalam. Pertanyaan-pertanyaan mendasar mulai muncul: Mengapa kitab-kitab ini menjadi begitu dominan? Apa yang membuat mereka begitu istimewa sehingga harus selalu menjadi pusat perhatian dalam setiap kajian? Dalam perjalanan saya menelusuri teks-teks ini, pertanyaan-pertanyaan tersebut semakin membebani pikiran, terutama ketika saya menyadari bahwa banyak dari apa yang tertulis dalam hasyiah tampak terlalu kompleks dan terkadang tidak relevan dengan kebutuhan keilmuan masa kini.

Oleh karena itu melalui tulisan ini, saya ingin mengajak pembaca untuk merenungkan kembali posisi kitab hasyiah dalam tradisi keilmuan Islam, khususnya di Al-Azhar, serta mengkritisi dampak yang ditimbulkannya terhadap proses pembelajaran. Kritik-kritik dari pemikir besar seperti Ibnu Khaldun, Syekh Hussein al-Marsafi, dan Syekh Yusuf al-Qardhawi akan menjadi landasan dalam meninjau ulang relevansi dan efektivitas kitab-kitab ini dalam dunia akademik saat ini.

 Definisi Kitab Hasyiah

Hasyiah, menurut Syekh Fauzi Konate dalam status Facebooknya, memiliki dua makna yang saling berkaitan. Pertama, sebagai kitab penjelas dari matan atau syarah; kedua, sebagai kitab penjelas dari penjelas matan, atau hasyiah itu sendiri. Meskipun makna pertama lebih awal muncul, perkembangan makna kedualah yang lebih dominan. Oleh karena itu, mustahil membicarakan kitab hasyiah tanpa mengaitkannya dengan kitab matan dan syarah, karena ketiganya membentuk satu kesatuan yang tak terpisahkan.

Sejak menimba pengetahuan di bawah naungan Al-Azhar, saya diperkenalkan pada beragam kitab hasyiah yang sebelumnya tidak pernah saya ketahui. Dulu saat di pondok pesantren, kajian kitab hasyiah yang saya pelajari terbatas pada Hasyiah Bajuri atas Fathul Qorib dan Hasyiah ‘Asymawi atas Syarah Jurumiyah. Pengetahuan saya pada waktu itu hanya sebatas matan-matan yang umum dipelajari di pesantren beserta dengan syarah-nya, tanpa menghiraukan kedalaman pembahasan yang ada di dalam hasyiah.

Ketika berada di Al-Azhar, saya mulai disuguhkan dengan berbagai kitab hasyiah yang jauh lebih kompleks dan mendetail. Saya mendapati kitab-kitab hasyiah ini begitu mendalam dan rinci pembahasannya. Di pondok dulu, saya tak pernah membayangkan bahwa penjelasan dapat mencapai level kerumitan seperti ini. Oleh karena itu, saya semakin terdorong untuk mengoleksi berbagai kitab hasyiah yang direkomendasikan dalam setiap cabang disiplin ilmu.

Namun, semakin dalam saya menyelami teks-teks tersebut, muncul perasaan gelisah yang tak terhindarkan. Meskipun kitab-kitab ini menawarkan kedalaman pembahasan yang luar biasa, kompleksitas yang ada sering kali membuatnya sulit untuk dipahami, bahkan bagi seorang mahasiswa yang sudah terbiasa dengan teks-teks keilmuan klasik. Lebih mengkhawatirkan lagi, saya mulai merasakan bahwa banyak bagian dari kitab-kitab tersebut tidak relavan dengan disiplin ilmu yang tengah dikaji. Kegelisahan ini mengingatkan saya pada kritik-kritik yang pernah dilontarkan oleh para pemikir besar terhadap tradisi keilmuan ini.

 Problematika Kitab Hasyiah

Ketika menelusuri sejarah kemunculan kitab hasyiah, saya menemukan bahwa kritik terhadap metode ini bukanlah hal baru. Prof. Dr. Risyad Hasan, dalam karyanya Tarikh Tasyri’ al-Islami, menjelaskan bahwa kitab-kitab hasyiah mulai muncul dan berkembang pada masa Jumud wa Ta’akhkhur (656 H – 1280an H), sebuah periode yang ditandai oleh stagnasi intelektual dan kemunduran dalam tradisi keilmuan islam. Pada masa ini, para ulama lebih berfokus pada penghafalan dan penulisan matan yang ringkas, daripada melakukan ijtihad dan pembaharuan dalam metodologis keilmuan.

Fenomena ini menyebabkan masalah metodologis yang signifikan. Menurut Prof. Risyad, matan-matan yang lahir selama periode ini sering kali memerlukan penjelasan tambahan berupa syarah. Ketika syarah dianggap belum memadai, hasyiah muncul sebagai lapisan penjelasan berikutnya. Pendekatan ini menjerumuskan para pelajar ke dalam kesulitan yang luar biasa, karena mereka harus memahami teks-teks yang sering kali terlampau abstrak dan rumit.

Kegelisahan saya semakin bertambah setelah membaca pendapat Syeikh Muhammad al-Khudori dalam bukunya yang juga berjudul Tarikh Tasyri’ al-Islami. Ia mengkritik keras kitab matan, yang menurutnya, “seolah ditulis bukan untuk dipahami, tetapi hanya untuk mengumpulkan masalah, hingga menyerupai teka-teki (alghaz) yang harus dipecahkan.” Kritik ini semakin memperkuat kesan bahwa kitab-kitab dari periode tersebut cenderung tidak ramah bagi pelajar yang ingin menggali ilmu secara efektif.

Pernyataan Syeikh Muhammad al-Khudori ini sejalan dengan apa  yang saya temukan dalam karya Ibnu Khaldun, Muqaddimah. Ibnu Khaldun menegaskan bahwa ilmu seperti bahasa Arab dan mantiq yang seharusnya berfungsi sebagai alat bantu, tidak sepatutnya diperluas di luar tujuan utamanya. Beliau menyatakan, “ilmu yang menjadi alat untuk ilmu lain, hendaknya tidak dilihat kecuali sesuai fungsi awalnya sebagai ilmu alat. Jangan sampai pembahasannya terlalu meluas hingga ke cabang-cabang yang tak relevan, karena hal tersebut menghilangkan esensi ilmu itu sendiri.”

Kritik Ibnu Khaldun ini sangat relevan dengan pengalaman para pelajar yang membaca kitab-kitab ini. Ketika mereka berhadapan dengan kitab hasyiah, sering kali terasa bahwa pembahasannya meluas jauh melampaui tujuan awalnya. Kerumitan yang ditambahkan justru membuat upaya untuk memahami teks semakin membingungkan dan melelahkan. Mereka merasa terjebak dalam labirin penjelasan yang seolah-olah dirancang untuk menunjukkan kompleksitas semata, tanpa memberikan panduan yang jelas untuk memahami esensi ilmu itu sendiri. 

Dalam konteks ini, pandangan Ibnu Khaldun menggambarkan dengan tepat kegelisahan mereka terhadap bagaimana kitab hasyiah yang sering kali mengaburkan pemahaman inti dari teks-teks keilmuan, sehingga membuat proses belajar menjadi kurang efektif dan melelahkan.

 Syeikh Husein al-Marsafi dalam al-Wasilah al-Adabiyah ila al-’Ulum al-’Arabiyah juga memberikan kritik terkait fenomena ini. Beliau mengamati bahwa satu kitab sering kali memerlukan penjelasan tambahan, dan setiap penjelasan baru justru menambah kompleksitas. “Terlalu banyak buku dalam satu disiplin ilmu dapat menghambat seorang pelajar. Penjelasan yang tumpang tindih dalam syarah dan hasyiah, bukan membuka kunci pemahaman, malah memperumitnya, membuat pelajar kehilangan arah dan akhirnya putus asa,” tulisnya.

Apa yang dijelaskan oleh al-Marsafi ini sejalan dengan pengalaman beberapa pelajar ketika menghadapi kitab hasyiah di lingkungan akademik Al-Azhar. Kesulitan yang mereka alami ternyata bukanlah sesuatu yang abnormal, melainkan konsekuensi dari metodologi yang memang cenderung kompleks dan kerap kali tidak relevan. 

Hal ini diperkuat lagi oleh pengalaman Syeikh Yusuf al-Qardhawi yang diceritakannya dalam karyanya, Fi Fiqh al-Aulawiyaat. Beliau menceritakan pengalamannya saat mempelajari kitab al-Mawaqif karya al-Iiji beserta syarah al-Jurjani pada saat menimba ilmu di Al-Azhar . “Andai saja kami menggunakan waktu dan usaha yang sama untuk mempelajari filsafat modern atau sumber-sumber keilmuan Islam yang primer saat itu, hasilnya pasti akan jauh sekali lebih bermanfaat,” ujar al-Qardhawi dengan penyesalan.

Pengalaman al-Qardhawi ini menggarisbawahi bahwa sering kali waktu yang dihabiskan untuk memahami kitab-kitab yang rumit terasa kurang produktif dibandingkan jika digunakan untuk mempelajari topik yang lebih relavan dan aplikatif. Hal ini mengesankan pentingnya memfokuskan usaha pada materi yang benar-benar bermanfaat dan berdampak langsung pada perkembangan akademik dan pribadi seorang pelajar. 

Selama masa studi di Al-Azhar, saya pernah mengikuti beberapa dauroh yang diadakan oleh para Masisir, yang dikenal memiliki keahlian dalam bidang keilmuan mereka. Meskipun demikian, saya sering kali merasa bahwa materi yang disampaikan cenderung repetitif dan monoton. Dalam banyak kesempatan, contoh-contoh yang diberikan selalu merujuk pada teks dalam kitab syarah atau hasyiah, terutama ketika membahas matan tertentu. Kurangnya variasi dan kreativitas dalam penyampaian materi ini membuat seluruh pengalaman belajar terasa kaku dan terikat oleh norma-norma yang tampaknya tidak bisa dilanggar.

 Pada suatu kesempatan, saya memutuskan untuk bertanya kepada salah seorang pengajar Masisir mengenai kemungkinan memperkenalkan contoh-contoh yang lebih relevan dengan konteks realitas kehidupan sehari-hari. Jawaban yang saya terima cukup mengejutkan. Pengajar tersebut menyatakan, “Tidak perlu mencari contoh yang terlalu jauh; cukup fokus pada kaidah yang diajarkan. Jika kaidah tersebut benar-benar dipahami, contoh-contoh lain akan mudah ditemukan.”

Pernyataan ini menimbulkan keraguan dalam diri saya: apakah benar contoh-contoh tersebut memang mudah ditemukan, ataukah jawaban tersebut sekadar tameng untuk menghindari ketidaktahuannya dalam menyediakan contoh yang lebih bervariasi dan kontekstual? Entahlah.

Penutup 

Melalui perjalanan singkat ini, saya menemukan bahwa kompleksitas kitab hasyiah sering kali menghambat pemahaman yang efektif. Kritik dari para pemikir terkemuka menegaskan perlunya reformasi dalam metodologis keilmuan kita. Untuk memajukan studi keilmuan, kita harus berani menyederhanakan pendekatan dan fokus pada esensi ilmu. Inilah saatnya untuk meredefinisi tradisi akademik agar lebih relevan dan bermanfaat dalam konteks masa kini.

Terakhir sebagai penutup, saya ingin mengutip perkataan sastrawan Mesir terkenal, Mustofa Sodiq Al-Rafi’i, dalam karyanya, Tarikh Adab al-’Arab: “Keadaan akal pikiran ummat ini belum terpuruk hingga para ulama menganggap bahwa ilmu hanyalah pemahaman atas ilmu sebagaimana adanya; mereka terjebak dalam merangkum buku-buku (matan), menjelaskan (syarah) dan menguraikannya dengan catatan pinggir (hasyiah). Praktik semacam ini justru memicu kemunduran, menghilangkan kemandirian berpikir, dan menjadikan kecerdasan seperti bayangan yang memudar setiap saat, sehingga semakin menjerumuskannya ke dalam jurang kepunahan”.

Tabik!

Oleh: Ahmad Muzayyin Ali Syariati

Penulis adalah Koordinator Esai Website Manggala 2024-2025

Editor: Jazeila Rahmatika

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *