Esai, Opini  

Quo Vadis Peran Mahasiswa Ketika Teman Tuli Didiskriminasi?

Teman Tuli
Sc: id.pngtree.com

Awalnya, tujuan adanya opini ini bermula dari keresahan penulis setelah melihat kolom komentar di salah satu postingan Tiktok. Video itu diambil ketika debat capres ke-3 dengan menampilkan tiga teknokrat kebanggan bangsa bersilat arugmentasi demi memenangkan kontestasi lima tahunan tersebut. 

Yang menjadi buah bibir dan menjadi turning point dari masalah ini adalah ketika salah satu capres melakukan gerakan bahasa isyarat di awal sesi orasinya, yang akhirnya gerakan itu menjadi gerakan ikonik capres tersebut dalam kampanyenya. 

Majemuknya masyarakat Indonesia meniscayakan lahirnya beragam respon yang timbul akibat melihat gerakan tersebut. Secara garis besar, respon masyarakat bisa diklasifikasi menjadi 3 bagian sederhana. Ada yang mereson positif, yang kebanyakan datang dari kaum yang sehari-hari menggunakan bahasa isyarat dan simpatisan paslon tersebut. Ada pula yang merespon negatif, bahkan cenderung mengolok-olok, yang mayoritas datang dari orang yang belum pernah berinteraksi dengan masyarakat tuli, sehingga belum terciptanya kepedulian terhadap mereka. Dan terakhir ada yang memutuskan tidak bersuara, netral, memilih keluar dari perkara dibanding harus berdebat. 

Dari sinilah keresahan itu tercipta. Melihat mirisnya kolom komentar yang dipenuhi olokan dan bernada memojokkan kelompok tertentu, alih-alih mengkritik secara objektif. “Kode Pengkibulan!”, “Kek kode orang mau maling!”, “Lah kok malah tang ting tung pake bahasa isyarat”, “Dikira tuli kali ya yg liat debat!”, dan beragam tanggapan menyudutkan lainnya yang menyayat hati. 

Semua komentar negatif ini membuat penulis sadar, kalau masyarakat Indonesia masih banyak yang “tutup mata” terhadap eksistensi bahasa isyarat, menganggap bahasa isyarat hanya gerakan lelucon yang digunakan sebagai selingan bercanda dengan teman. Bahkan tak jarang yang memparodikan JBI (Juru bahasa isyarat yang biasa di pojok kanan bawah TV kalian) memutar-mutar jari seolah tidak ada maknanya. 

Mengenal Bahasa Isyarat

Tentu sebelum kita berbicara soal peran mahasiswa, penting bagi kita mengenal persoalan yang akan kita bahas. Secara sederhana, bahasa isyarat adalah sebuah bentuk komunikasi terpadu tanpa suara antar gerak bibir, mimik wajah, dan gerakan tangan yang disepakati oleh komunitas tertentu. Layaknya komunikasi pada umumnya, bahasa isyarat yang dipakai teman tuli dan tunawicara pun juga memiliki makna dan arti tersendiri. 

Akan tetapi, perlu diingat bahwa setiap daerah memiliki bahasa isyaratnya masing-masing. Hal ini disebabkan pengaruh budaya yang berbeda-beda di setiap daerah mengakibatkan pemahaman konsep yang berbeda. Di Amerika dengan (American Sign Languange)-nya mestilah berbeda dengan bahasa isyarat di Inggris (British Sign Languange). 

Namun, yang menarik jika kita membicarakan eksistensi bahasa isyarat di Indonesia, terdapat dua kaidah berbahasa isyarat yang eksis dan masih digunakan sehari-hari, yakni SIBI dan Bisindo. Sederhananya, SIBI dibuat oleh pemerintah yang tujuannya menjadi patokan berbahasa isyarat untuk semua teman tuli dan dengar di Indonesia. Sedangkan Bisindo, dibuat oleh kaum tuli hasil dari manifestasi kebiasaan dan budaya per daerah, sehingga tiap daerah memiliki bahasa isyarat yang berbeda. 

Tentu saja, setiap gerakan yang diutarakan dengan kaidah apapun pastilah memiliki parafrasa dan esensinya masing-masing, walau dengan gerakan sekecil apapun. Jadi tidaklah etis jika kita mensimplifikasi bahkan menihilkan substansi dari gerakan bahasa isyarat, karena setiap gerakan adalah representatif dari sebuah makna, bahkan mengandung arti yang dalam.

Misleading dan Peran Mahasiswa

Kembali lagi ke permasalahan stigma negatif masyarakat. Stigma ini akan menjadi bola liar bernama diskriminasi jika terus-terusan dibiarkan. Barang pasti akan menimbulkan segregasi sosial yang amat merugikan kaum mereka. Kaum tuli dan tunarungu akan selamanya jadi nomor dua, dikucilkan baik di ruang publik maupun ruang privat. 

Akan ada berbagai resiko dan masalah yang menghantui jika segregasi tidak segera diatasi. Seminimal-minimalnya teman tuli dan tunarungu akan dapat stereotype fallacy yang memojokkan, padahal mereka tidak salah apapun. Hingga resiko paling besarnya adalah kehilangan eksistensinya dalam struktural hidup di masyarakat.

Dalam dunia pendidikan, mahasiswa menduduki tahapan paling akhir dalam hirarki jenjang pendidikan di Indonesia. Karena mahasiswa dianggap mampu mengakumulasikan segala proses berpikir dan ilmu pengetahuan yang telah didapat di jenjang sebelumnya dengan matang. Dengan karakteristik inilah peran dan tanggung jawab yang diemban mahasiswa lebih besar dibanding pelajar lainnya. Tak ayal jika dalam dinamika kehidupan, mahasiswa diidentikkan sebagai penggerak roda dan kontrol sosial masyarakat, jika pemangku kebijakan bermasyarakat tidak bisa diharapkan, dan sarat kepentingan. 

Siapa yang bergerak menyadarkan kalau bukan mahasiswa? Maka di sinilah peran mahasiswa sebagai kontrol sosial, agen perubahan yang menyadarkan lapisan masyarakat agar bangsa kita tidak jatuh dalam jurang diskriminasi. Menaburkan pemahaman kemajemukan perspektif di ruang publik agar timbul kesadaran saling menghargai. 

Mahasiswa berperan sebagai “rem” pada pergerakan roda masyarakat agar kita tidak menabrak koridor marginalisasi. Ketika ada ketidakadilan, diskriminasi, dan kesenjangan, mahasiswa-lah yang menjadi garda terdepan dalam menolaknya. Barangkali fenomena potongan video tiktok tersebut menjadi gambaran kecil, bahwasannya tugas kita sudah di depan mata. Inilah hak-hak tuli dalam tanggung jawab kita. Inilah amanah sosial yang diemban pada bahu kita. 

Pada akhirnya, teman tuli dan tunarungu pun sejatinya sama dengan kita, orang yang dianggap “normal”. Mereka memiliki hak dan kewajiban dengan porsi yang sama. Mereka juga membayar pajak ke negara, yang manfaatnya kembali pada kita. Mereka pun berkontribusi untuk negara dan bangsa dengan beragam cara. Di atas segalanya, mereka saudara kita. Mereka hanya berbeda dalam cara berkomunikasi, dan hal ini tentu bukanlah alasan mengapa mereka harus dimarginalkan. Lantas, dengan alasan apa, kita masih mendiskriminasi mereka?

Penulis: Atsilla Yusya Arrizky

Kru Esai Website Manggala 2023-2024

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *