Esai, Opini  

Membaca Identitas Santri

Oleh: Muhammad Iqbal Zia Ulhaq

Penulis adalah Pimpinan Redaksi 1 Manggala 2023-2024

Berbicara tentang santri memang sudah tidak aneh lagi bagi kita. Santri yang merupakan sebuah ciri khas yang telah melekat dengan bangsa ini sejak lama telah banyak mewarnai bangsa ini. Banyak sekali tokoh tokoh terkenal yang pernah menyandang gelar santri. Hal ini menunjukkan santri memegang peranan penting di dalam berbangsa dan bernegara.

Akan tetapi apa sebenarnya hakikat dari santri itu sendiri dan apakah santri hanya sekedar gelar bagi seseorang karena telah menyelesaikan masa mondok nya saja. Atau mungkin santri hanya sebatas seorang pelajar yang pecian, sarungan sambil membawa kitab kitab klasik mengaji pada gurunya saja. Apakah demikian makna sebenarnya dari kata “santri” tersebut?

Santri Hanya Sebatas Nyantri?

Pesantren sebagai salah satu lembaga pendidikan yang ada di Indonesia, mempunyai kekhasan yang tidak terdapat dalam lembaga pendidikan lainnya, dalam menyelenggarakan sistem pendidikan dan pengajaran Agama. Kekhasan pesantren tersebut dapat dilihat dari sistem pembelajarannya, dalam pesantren sejumlah orang berkomitmen untuk hidup dilingkungan pesantren dan mengikatkan (patuh) pada gurunya atau kiyai.

Pesantren juga tidak hanya mengajarkan pendidikan agama tetapi lebih dari itu, dengan mempelajari ilmu agama sekaligus juga untuk diamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Pesantren juga merupakan sebuah tempat untuk melatih agar seseorang dapat hidup mandiri yang nantinya ia bisa hidup ditengah-tengah masyarakat dengan baik. Pesantren juga mengajarkan para santrinya supaya berprilaku sopan dan santun agar memiliki akhlak yang baik.

Identitas santri tidak hanya sebatas nyantri, sarungan & pecian, akan tetapi lebih dari itu. Santri merupakan kader-kader pionir bangsa yang diharapkan membawakan misi perdamaian. Identitas santri harus terlihat sebagai seseorang yang membawakan misi Islam yang Moderat nan Rahmatan lil Alamin. Oleh karenanya santri harus memiliki sifat yang lentur. Karena dengan kelenturan ini para santri bisa melebur di berbagai kalangan.

Karakteristik santri yang lain yaitu lentur dan kenyal terhadap perubahan, memiliki kemampuan untuk beradaptasi, kenyal itu tidak mesti larut akan tetapi mempunyai identitas dan pendirian yang kuat. Apalagi disaat ini dunia sudah banyak mengalami perubahan yang signifikan.

Tak hanya itu, para santri harus terus berperan untuk menjelaskan Islam yang rahmatan lil ‘alamiin. Dalam menjawab tantangan global dan kontemporer (alqodhoya almuashirah), santri harus mampu menjelaskan dan menjadi pembeda. Menanamkan pemikiran yang moderat (tawasuth) dan melawan pemikiran yang ekstrim, dan mampu menjelaskan karakter-karakter Islam yang selalu berimbang (tawazun) dan toleran (tasamuh).

Dalam pendidikan pesantren, kiai, sebagai figur guru dan pengasuh spiritual, memiliki peran sentral dalam pembentukan karakter santri. Selain pengajaran keagamaan, nilai-nilai dan teladan adalah asupan utama yang ditransfer dalam kehidupan pesantren. Nilai yang tidak bisa didaparkan di lembaga pendidikan lain selain pesantren. Nyantri, bukan sekadar proses belajar-mengajar. Dan pesantren, bukan sekadar pendidikan biasa yang sering dipahami secara keliru. Lebih dari itu, nyantri merupakan sebuah peristiwa spiritual santri bersama kiai, sebuah upaya untuk mencari jati diri manusia, untuk menjadi manusia yang paripurna (insan kamil).

Di zaman ini, kompetensi seseorang memang penting. Tetapi, di samping itu ada yang lebih penting dan fundamental yaitu, moralitas. Kompetensi yang tidak ditopang moralitas, bisa memunculkan ketidakseimbangan. Seperti halnya yang terjadi di tengah bangsa kita saat ini, korupsi dan berbagai kasus buruk menghantui negeri ini akan tetapi dengan hadirnya santri, terlebih sebagai sosok mumpuni dalam ilmu agama, yang telah mempunyai banyak bekal di pesantrennya, sudah tentu membawa ajaran-ajaran yang bermoral dan berbudi pekerti luhur. Sehingga masalah moralitas di bangsa ini bisa terkikis secara perlahan sebagaimana tugas santri yaitu menebarkan ajaran Islam yang Rahmatan lil Alamin.

Santri Harus Jadi Kiyai?

“Tidak semua santri harus menjadi kiyai” adalah ungkapan yang sering kita dengar. Jika santri semuanya menjadi kiyai lantas siapa yang akan mengisi sektor-sektor lain di negeri ini. Ungkapan “Santri Mewarnai” kiranya cocok dijadikan landasan bahwa santri harus bisa mewarnai negeri ini dengan berkiprah dimanapun sesuai kemampuan mereka. Justru hal ini yang penting, santri yang berkecimpung menjadi guru, ustadz dan lainnya sudah sangat mainstream akan tetapi manakah santri di sektor politik, dimanakah santri di sektor bisnis, dimanakah santri di sektor diplomat, dimanakah santri di sektor IT dan masih banyak lagi.

Padahal tak bisa dipungkiri, kemajuan umat Islam di zaman dahulu tidak bisa lepas dari penguasaan para ulama akan pengetahuan umum. Ulama tidak hanya menjadi seorang ahli agama tetapi juga menjadi seseorang yang ahli dalam pengetahuan yang lain. Siapa sangka, banyak bermunculan ulama cendekiawan muslim terkenal di zaman tersebut seperti contoh; Ibnu Sina, yang dijuluki sebagai Bapak Kedokteran Modern. Al Khawarizmi (Penemu Aljabar & Ahli Astronomi), Ibnu Al Haytam (Bapak Optik Modern) dan masih banyak lagi.

Dengan adanya peran santri kedepan, dakwah santri tidak terbatas hanya di sektor yang itu saja. Akan tetapi banyak sekali medan dakwah yang harus dimasuki oleh para santri kedepannya. Dengan masuknya santri di berbagai medan sedikit banyaknya bisa mendakwahi dan mengikis krisis moralitas yang ada pada bangsa kita. Bayangkan saja sektor-sektor jabatan tinggi pemerintahan jika diisi oleh para alumni pondok pesantren yang mumpuni dalam bidang agama dan memiliki moralitas yang tinggi kedepannya bisa mewarnai dakwah islam yang damai dan bisa membawa bangsa kita menjadi lebih baik lagi.

Santri Di Era Digitalisasi

Salah satu ciri khas santri adalah adaptif-responsif dalam menghadapi perubahan. Teknologi digital merupakan salah satu contoh perkembangan zaman yang perlu kiranya kita adaptasi keberadaanya. Adanya hal tersebut dikalangan kita para pelajar/santri membuat pembelajaran semakin beragam. Ada kalanya seseorang yang belajar di sebuah daerah yang jauh dari hiruk-pikuk kota bisa lebih educated dibandingkan sesorang yang belajar di lingkungan pendidikan yang baik sekalipun. Hal ini dapat terjadi jika kita tidak begitu adaptif dalam menyikapi teknologi digital yang sudah berkembang jauh sekarang.

Ini hanya tentang bagaimana kita merespon perubahan tersebut dengan mengalir kedalam arus perubahan yang kemudian kita mengambil kendali atas perubahan tersebut sesuai dengan norma yang kita miliki. Oleh karena itu santri harus senantiasa menjadi pionir ditengah perkembangan digital yang revolutif yang setiap hari terus berkembang. Dengan adanya teknologi seperti ini para santri mempunyai medan dakwah yang sangat luas untuk dicapai. Santri mempunyai peran ganda saat ini tidak hanya berdakwah di dunia maya tetapi perlu diwujudkan di dunia nyata. Dengan demikian peran santri tidak hanya sebatas menuntut ilmu di pesantren. Santri harus senantiasa menghidupi dan menghiasi dirinya dengan ilmu di dalam maupun di luar pesantren.

Epilog

Santri adalah kita dan kita adalah santri, hanya kita tinggal memilih, ingin “jadi santri” atau ingin menjadi “santri jadi”. Jika hanya ingin menjadi santri, siapapun bisa menjadi santri tanpa mempunyai bekal apapun, hanya dengan mondok beberapa saat saja maka dia telah disebut sebagai santri. Akan tetapi apabila kita ingin menjadi “santri jadi” maka sudah barang tentu seseorang tersebut harus mempersiapkan dirinya supaya mempunyai kapabilitas dan nilai lebih juga bekal yang bisa ia bawa demi mengharumkan nama bangsa kedepannya.

Selamat Hari Santri!

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *