Beberapa hari yang lalu, penulis berdiskusi dengan beberapa kawan seputar interaksi antara pria dan wanita dalam Islam. Kenapa mesti dalam Islam? Karena sudah sangat jelas, sebagai seorang mahasiswa Azhar yang notabene muslim dan setiap hari dicekoki dengan berbagai macam wawasan keagamaan, tentu harus mengetahui hal tersebut. Terlebih, di zaman yang kini semakin bebas, hal tersebut sangatlah penting diketahui guna membentengi diri dari perkara-perkara yang tidak diinginkan.
Dalam diskusi tersebut, kami sepakat bahwa pada dasarnya Islam telah menjadikan kerja sama antara pria dan wanita dalam berbagai aspek kehidupan serta interaksi antar sesama manusia sebagai perkara yang pasti di dalam seluruh aktivitas muamalah. Kenapa demikian? Hal ini karena seluruh manusia adalah hamba Allah Swt. dan semuanya saling menjamin untuk mencapai kebaikan serta menjalankan ketakwaan dan pengabdian kepada-Nya. Karena itu di sini kami memandang bahwa pria dan wanita setara dari sisi keduanya sebagai hamba Allah Swt.
Hal tersebut dikuatkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah menyeru manusia kepada Islam tanpa membedakan apakah dia seorang pria ataukah wanita. Misalnya Allah Swt. berfirman dalam beberapa ayat seperti:
“Katakanlah,’Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua.” (TQS al-A‘râf [7]: 158)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu.” (QS an-Nisâ’ [4]: 1)
“Hai orang-orang yang beriman, penuhilah seruan Allah dan seruan Rasul apabila Rasul menyeru kamu kepada suatu yang memberi kehidupan kepada kamu.” (QS al-Anfâl [8]: 24)
“Diwajibkan atas kamu berpuasa.” (QS al-Baqarah [2]: 183)
“Dan dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” (QS al-Baqarah [2]: 110)
Dalam lima ayat di atas, sangat jelas sekali bahwasanya seruan tersebut bersifat umum dan tidak ada pengkhususan terhadap salah satu di antara pria dan wanita. Oleh sebab itu, sekali lagi kami waktu itu sepakat bahwasanya posisi pria dan wanita adalah sama di mata Allah.
Di samping itu, implikasi lain dari ayat-ayat di atas adalah pelaksanaan berbagai taklif dari nash–nash tadi dimungkinkan adanya ijtimâ‘ (pertemuan dan interaksi) antara pria dan wanita, bahkan dalam pelaksanaan aktivitas yang bersifat individual sekalipun seperti shalat. Semua itu menunjukkan bahwa, Islam membolehkan adanya interaksi antara pria dan wanita untuk melaksanakan berbagai taklif hukum dan segala aktivitas yang harus mereka lakukan.
Oke, sampai sini tampaknya sudah cukup jelas bahwa interaksi pria dan wanita pasti terjadi dalam kehidupan, dan keduanya memiliki kedudukan yang sama di mata syara.
Batasan Interaksi Pria dan Wanita
Diskusi kami pun tidak berhenti sampai di situ, berikutnya kami lanjut ke bahasan yang lebih detail, apakah ada batasan-batasan interaksi yang harus dijaga antara pria dan wanita? Dan jika ada, seperti apakah batasan tersebut dan apa landasan dalilnya?
Setelah saling melempar pandangan, pada akhirnya kami berkesimpulan bahwa meskipun interaksi pria dan wanita pasti terjadi dalam berkehidupan, ternyata Islam sangat berhati-hati dan betul-betul menjaga interaksi ini.
Karena itulah, kami kala itu sepakat bahwa Islam melarang segala sesuatu yang dapat mendorong terjadinya hubungan yang bersifat seksual yang tidak disyariatkan. Bahkan, jika dilihat pada berbagai nash, larangan dalam persoalan ini demikian tegas. Atas dasar itu, tentu saja Islam menetapkan sifat ‘iffah (menjaga kehormatan) sebagai suatu kewajiban.
Lebih dari itu, dalam banyak dalil yang ada, Allah Swt. telah menetapkan hukum-hukum tertentu yang berkenaan dengan hal ini. Di antaranya yang kami ketahui dan bahas saat itu adalah sebagai berikut:
1. Saling Menjaga Pandangan
Dalam hal ini kiranya sudah jelas bahwa masing-masing di antara pria dan wanita harus saling menjaga pandangannya. Dalam hal ini Allah berfirman:
“Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman,’Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan memelihara kemaluannya…” (TQS an-Nûr [24]: 30-31
2. Menutup Aurat dalam Kehidupan Umum
Maksud kehidupan umum di sini adalah kehidupan di luar rumah ketika bertemu orang-orang asing yang bukan mahram. Adapun jika di dalam rumah dan di sana bersama mahram, maka ketentuannya berbeda. Untuk batasan auratnya, kiranya tentu kita semua sudah paham bahwa aurat pria (terlepas dari ikhtilaf yang ada) adalah antara lutut hingga pusar. Sementara wanita adalah seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan.
Keduanya, baik pria maupun wanita, sudah barang tentu harus menjaga auratnya semaksimal mungkin. Tidak hanya ditutup, pakaian yang dipakainya pun tidak boleh yang transparan atau sampai menampilkan lekuk badan yang mungkin dapat memancing syahwat yang melihatnya.
Dalam hal aurat pria ada sebuah hadits yang artinya:
“Apa saja yang di atas lutut merupakan bagian dari aurat dan apa saja yang di bawah pusar dan di atas lutut adalah aurat.” (HR Al Baihaqi)
Adapun untuk aurat wanita Allah berfirman dalam beberapa ayat:
“Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) tampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya…” (TQS an-Nûr [24]: 31)
“Hai Nabi katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mu’min, ‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. (TQS al-Ahzâb [33]: 59)
Sementara dalil larangan untuk melihat dan memperlihatkan aurat adalah sebuah hadits dari Nabi Saw. yang artinya:
“Seorang laki-laki janganlah melihat aurat laki-laki lainnya. Begitu pula seorang wanita janganlah melihat aurat wanita lainnya.” (HR. Muslim)
3. Larangan Berkhalwat
Dalam hal ini Islam melarang pria dan wanita untuk berkhalwat (berdua-duaan), kecuali jika wanita itu disertai mahramnya. Rasulullah saw. bersabda:
“Janganlah sekali-kali seorang pria dan wanita berkhalwat, kecuali jika wanita itu disertai mahramnya.” (HR Bukhari).
Termasuk dalam berkhalwat tentu saja aktivitas dalam pacaran seperti makan berduaan di mat’am, belajar bareng yang hanya berduaan antara banin dan banat, atau misalnya rihlah berdua ke tempat tertentu. Dalam hadits lain disebutkan:
“Ingatlah, bahwa tidaklah seorang laki-laki itu berkhalwat dengan seorang wanita kecuali yang ketiganya adalah setan.” (HR. Ahmad dan At-Tirmidzi)
4. Larangan Ikhtilat
Dalam hal ini kami memandang bahwa agama Islam sangat menjaga agar dalam kehidupan khusus, komunitas wanita terpisah dari komunitas pria; begitu juga di dalam masjid, di sekolah, dan lain sebagainya. Artinya, Islam telah menetapkan bahwa wanita hendaknya hidup di tengah-tengah kaum wanita, sedangkan seorang pria hendaknya hidup di tengah-tengah kaum pria.
Ini berdasarkan perbuatan Baginda saw. yang selalu berupaya mencegah terjadinya ikhtilath (campur baur) antara pria dan wanita, bahkan termasuk di tempat yang paling Allah cintai, yaitu masjid. Beliau dalam berbagai riwayat disebutkan selalu memisahkan barisan antara laki-laki dan wanita, kemudian agar jamaah laki-laki tetap berada di masjid hingga jamaah wanita keluar, lalu dibuatkan pintu khusus di bagian masjid untuk wanita.
“Dari Ummu Salamah r.a dia berkata, Rasulullah saw., jika beliau salam (selesai shalat) maka kaum wanita segera bangkit saat beliau selesai salam lalu beliau diam sebentar sebelum bangun.” (HR. Bukhari)
Ibnu Syihab berkata, “Saya berpendapat bahwa diamnya beliau adalah agar kaum wanita sudah habis sebelum disusul oleh jamaah laki-laki yang hendak keluar masjid.”
Hal ini pulalah yang dilakukan institusi tempat bernaung kita saat ini yaitu al-Azhar. Kita tentu melihat bagaimana al-Azhar semaksimal mungkin mencegah terjadinya ikhtilat di antara para pelajarnya. Dari mulai dengan memisahkan tempat serta gedung perkuliahan, membuat administrasi tersendiri bagi pria dan wanita, hingga membuat kajian tersendiri khusus wanita di masjid Azhar.
Lalu akhirnya kami berpikir sejenak, kenapa para pelajarnya sekarang justru mengabaikan apa yang sudah ditetapkan Azhar? Ikhtilat di sebuah kafe sembari menyanyikan lagu bergenre cinta-cintaan? Campur-baur dalam sebuah tribun guna menyemarakkan sebuah kontestasi olahraga seperti sepakbola? Atau bahkan mengadakan event konser dengan lagu-lagu yang penuh dengan percintaan? Apakah itu sesuai nilai Islam dan Azhar? Entahlah, kami mari kita muhasabah diri masing-masing saja. Wallaahu A’lam
Oleh: Rifqi Taqiyuddin
Penulis adalah Kru Esai Website Manggala 2022-2023