Oleh: The Shine
Penulis adalah Pemimpin Redaksi Website Manggala 2021-2022
“… Direktur BIN (Badan Intelijen Negara) diduga melakukan penggelapan dana. Menurut pihak berwenang, kasus ini masih akan diselidiki lebih lanjut ….”
Terdengar suara dari televisi yang menayangkan berita malam itu. Seorang laki-laki terlihat sedang menonton berita tersebut dengan saksama dan raut wajah yang tegang. Namun di sela-sela keantusiasan, tiba-tiba telepon pintar miliknya berbunyi, ada yang menelepon. Ia pun mengangkat teleponnya, tapi tidak bersuara, hanya menunggu reaksi dari orang di seberang sana. Orang itu kemudian mengucapkan beberapa kode sebagai tanda bahwa dia bukanlah musuh.
“Kamu sudah menonton beritanya, ‘kan, Elang? Besok kamu ditugaskan untuk memata-matai orang yang melaporkan Direktur BIN kita. Kamu harus menemukan kesalahan dan kelemahannya sekecil apa pun itu!” Ucap orang dari seberang telepon sana.
Setelah menyanggupi perintah tersebut, sambungan telepon pun dimatikan. Elang hanya termenung, memikirkan tugas yang akan ia laksanakan.
***
Malam ini masih sama seperti malam sebelumnya, ibu kota sungguh dipenuhi oleh suara hiruk pikuk manusia. Di sinilah aku berada, negeri yang menyimpan banyak cerita dan rahasia, yang hanya diketahui oleh segelintir orang saja. Negeri ini bagiku dibangun di atas sandiwara; indah dilihat dari luar, tapi kotor dipandang di dalam. Mungkin saat ini, tidak ada yang mengenal negeri ini sebaik aku, seorang agen gelap intelijen yang diberi nama samaran ‘Elang’.
Dari dulu, aku selalu mendapatkan tugas-tugas kotor dari atasan, yang tentu semuanya demi kepentingan mereka saja, tanpa memandang apa dampaknya bagi orang lain. Aku bisa apa? Aku hanyalah seorang bawahan yang juga membutuhkan uang untuk bertahan hidup di dunia yang kejam ini. Negeri ini penuh dengan orang-orang ‘buta’; buta harta, dan buta kekuasaan. Mungkin hal tersebut berlaku juga bagiku.
Layaknya nama samaran ‘Elang’, aku selalu ditugaskan dalam hal pengintaian. Seperti saat ini, aku sedang mengintai seseorang, sebagaimana yang ditugaskan kepadaku lewat telepon. Meskipun kaya, orang tersebut berpenampilan sederhana, layaknya kakek-kakek pada umumnya. Hanya saja, ia adalah seorang yang buta.
Selama dua hari pengintaianku, aku hanya mendapatkan informasi bahwa direkturku sebelumnya ingin bekerja sama dengan perusahaan kakek buta tadi. Tetapi kakek itu menolak tawaran tersebut, sehingga membuat direktur menyuapnya. Karena merasa hal itu salah, kakek buta itu pun mulai meminta bawahannya untuk menyelidikinya, dan mendapati data-data tentang penggelapan dana Direktur BIN.
Semua informasi tersebut kudengarkan melalui penyadap yang berhasil dipasang di ruang kerja kakek buta saat melakukan penyusupan di hari pertama tugasku. Selain memasangnya di ruang kerja, aku juga berhasil memasang penyadap di HP-nya. Namun hingga kini, aku belum menemukan sedikit pun kesalahan atau kelemahan kakek buta itu. Aku hanya mendengar percakapan biasa bersama sekretarisnya, tentang kinerja perusahaan, pendonasian, dan lain sebagainya. Tidak ada yang penting menurutku.
Setelah beberapa lama menunggu, tiba-tiba terdengar kakek buta itu berkata kepada sekretarisnya, “Baiklah. Siapkan mobil, siapkan uang, kita berangkat ke tempat biasa.”
Tempat biasa? Aku bertanya-tanya tempat apa yang dimaksud itu. Aku pun menunggu dari jarak yang memungkinkan. Setelah melihat mobil kakek buta keluar gerbang rumahnya, aku diam-diam mengikutinya dari belakang, dan masih dengan jarak yang aman bagiku.
Di dalam mobil itu tampaknya senyap. Tidak ada obrolan yang kudengar lewat penyadap yang terpasang di HP kakek buta tadi. Hanya suara mobil dan masih dengan hiruk pikuk jalanan perkotaan. Aku masih terus mengikutinya dengan jarak yang sama.
Setelah beberapa lama perjalanan, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah panti asuhan. Aku pun memberhentikan mobilku di tempat tak jauh dari panti asuhan tersebut, untuk menjaga jarak agar tidak dicurigai. Mungkinkah di tempat inilah kelemahan kakek buta akan kutemukan? Apa sebenarnya yang ingin mereka lakukan di tempat ini, dan jam-jam seperti ini? Batinku berkecamuk.
Kakek buta itu terlihat turun dari mobil, dibantu oleh sekretarisnya dalam menunjukkan jalan. Mereka berjalan perlahan, masuk ke dalam panti asuhan itu. Dari tempatku berada, tampak seseorang yang menyambut mereka di depan pintu. Suaranya terdengar seperti lelaki sebayanya si kakek buta, dan dia juga adalah pemilik panti asuhan tersebut.
Aku terus mendengarkan apa yang mereka perbincangkan. Berawal dari saling sapa, basa-basi, dan menanyakan kemajuan tentang panti asuhan itu. Hingga akhirnya, mereka diam sejenak. Kemudian terdengar kakek buta mengatakan, “Ini aku bawakan kalian ‘hadiah’ seperti biasanya.” Setelah itu, aku hanya mendengar suara seperti tepukan. Iya, aku yakin itu adalah suara tepukan punggung.
Tapi satu hal yang aku pertanyakan, hadiah apa yang kakek buta maksud tadi? Apakah itu berupa suapan? Aku hanya mendengar ucapan terima kasih dari kakek sebayanya dengan nada yang penuh haru. Aku masih tak mengerti apa yang terjadi di dalam. Rasa penasaran semakin menghantuiku.
Setelah beberapa lama tenang, akhirnya sekretaris kakek buta itu pun angkat suara, “Seperti biasanya, tolong kakek sembunyikan tentang identitas bos sebagai donatur tetap di sini. Bos memang tidak ingin dikenal. Beliau hanya ingin memikirkan masa depan anak-anak di panti asuhan ini sebagai penerus bangsa, tanpa sekali pun tertarik dengan ketenaran.”
Seketika itu pun aku tertegun. Mendengarnya saja sudah membuat hatiku bergetar hebat. Aku seperti ditampar oleh rasa bersalah yang teramat banyak. Sukmaku tersentuh dengan kebaikan kakek buta itu. Dalam keadaan terharu aku bergumam, mengagumkan, Kek! Kutemukan negeri ini di matamu, tapi tidak di dalam hatimu.
(Tulisan ini sudah pernah terbit di Majalah Manggala edisi 13 yang mengangkat tema “Ada yang Baru di Abad ke-21”)