Pria Misterius dan Wanita Imajinus

Oleh : Salma Azizah Dzakiyyunnisa

Wanita itu kepayahan. Panas matahari telak membakar tubuh mungilnya. Peluh membasuh seluruh wajahnya. Ransel kuning besar sukses menahan laju langkahnya. Sebuah koper mini nyaris membuat tangannya bergetar kesemutan. Matanya sibuk menatap sekitar, mencari peluang untuk berlalu di antara kerumunan calon penumpang. Kakinya terbata-bata melangkah, bahkan berlagak sempoyongan.

Sakunya tiba-tiba bergetar. Ponsel itu berdering hebat, bahananya memenuhi seisi stasiun. Nada dering reff lagu Meraih Bintang milik Via Vallen sontak membungkam bising sekitar barang sejenak. Sorot mata sejuta umat sontak menghujaninya. Rasanya seperti disengat satu kabilah lebah madu. Dengan gelagapan,  ia raih sumber suara itu sambil menyingkir dari kerumunan, malu.

“Halo, Cunn? Lambat sekali kerjamu ini! Dimana kau sekarang?! Klien kita sudah menunggu dari tadi, kau tahu? Karena ulahmu ini, …”

“Ya, saya faham.” ujarnya singkat, memotong makian si Bos. Ibarat sudah jatuh, ketiban tangga, Cunn harus menanggung malu, dimarahi pula.

 Ia tarik nafas panjang, lantas ia buang perlahan sembari berharap semua penat bisa ikut menguap di antara kepul asap lokomatif. Ia sandarkan bahu ringkihnya, tepat di atas punggung bangku yang kerasnya seperti batu. Wajah kuyu dan mata layu, lengkap bersatu padu. Mendadak rindu akan empuknya kasur, ia peluk mesra ransel kuning yang ada di sampingnya, ransel yang konon membuat bahunya kesakitan.

Tepat di sebelah ransel, seorang pria misterius menatapnya tajam. Tampilannya berantakan. Mirip preman jalanan. Muka kusam dihiasi kacamata hitam mengkilap. Ditambah satu dua codet menyembul di antara brewok yang lebat. Celana dan jaket jeansnya dipenuhi banyak robekan, memamerkan tebal otot tangan dan kaki. Ngeri, batin Cunn dalam hati.

Risih terus menerus diserang tatapan tajam oleh si lelaki misterius itu, Cunn mulai menggila. Asumsi dan sugesti negatif terus bermunculan, entah datang dari mana. Bagaimana jika dia ingin seluruh harta yang kupunya? Bagaimana jika dia penderita ekshibisionisme? Bagaimana jika aku jadi sasaran bogem mentahnya? Batinnya, sembari begidik sebab ngeri sendiri.

Semua sugesti itu sukes mendorongnya untuk segera beranjak pindah membawa koper dan ransel kuning yang dipeluknya. Namun sial, pria itu malah mengikutinya. Cunn memutuskan kembali pindah lokasi, tapi nihil. Pria misterius itu masih saja mengikutinya.

“Sial amat sih hari ini. Tadi dimarahi Bos, sekarang apalagi? Diikuti penguntit?” gerutunya, sebal. Volume suaranya sengaja diperbesar, berharap si doi mendengar, lantas berhenti mengikuti.

Akan tetapi, lelaki misterius itu masih saja duduk di sampingnya, bahkan semakin saksama mengamatinya. Dan ketika Cunn hendak membuka ransel kuningnya, pria itu malah menahan gerak lengannya. Cunn sontak kaget, emosinya meroket. Cepat sekali detak jantungnya. Takut, curiga dan marah bercampur menjadi satu.

Ia pun memutuskan untuk kembali beranjak. Ransel kuning dan koper yang super berat ia seret ala kadarnya. Langkah kakinya tak terkontrol. Ia sesekali mencoba menengok ke belakang. Pria itu masih di sana, terus menatapnya tajam dari balik kacamata hitamnya. Ya, setidaknya kini pria itu tak mengikutinya, pikir Cunn.

Sayangnya, alur cerita terus berputar dan belum berakhir. Kurang dari satu menit ia duduk di lokasi bangku lain seraya bernafas lega, pria itu kembali datang dan duduk di sampingnya. Segera saja Cunn melesat pergi menjauhi pria tersebut. Menuju barisan terujung.

Imajinasi negatifnya melayang tinggi, bagaimana bila pria itu menyergapnya dari belakang? Merampoknya? Menyakitinya? Betapa buruknya nasibku!

Dan ketika itulah, langkah kakinya benar-benar tercekat. Pria itu berhasil mencengkram ransel kuning di pundaknya.

“Hei!!” Panggil pria itu dengan suara beratnya, “aku hanya menginginkan barangku.”

Lantas pria itu mengambil tas kuning di pundak Cunn, dan berkata “Barangmu di sana.”

Telunjuk lelaki itu sambil mengarah pada posisi bangku dimana pertama kali Cunn duduk. Di sana tampak sebuah tas kuning yang kesepian, ditinggal majikan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *