Minta Referendum, Quo Vadis Papua?

Oleh: Salma Azizah Dzakiyyunnisa

Tanggal 27 Agustus menjadi momen yang berarti. Setidaknya, di kota Paris van Java sana, ada dua hal menarik terjadi. Pertama, rindu akan rintik hujan yang menuai temu. Kedua, jalan raya Aceh yang mendadak bisu. Dari ujung perempatan Jl. Wastukencana sana, mobil-motor dihalau polisi agar tidak berlalu. Padahal, dengan ditutupnya jalan ini, ratusan kendaraan terpaksa memutar jalan –yang artinya membuang lebih banyak waktu. Sempat bertanya pada diri, ada apakah gerangan hari ini? Sebab hujan? Atau kecelakaan lalu lintas? Atau, ada pejabat yang melintas? Entahlah, kami si pejalan kaki belum menemukan sabab-musabab-nya.

Setibanya di perempatan Jl. Merdeka, gayung bersambut, kata berjawab. Terungkaplah apa dan siapa sebab bisunya Jl. Aceh –juga Jl. Merdeka menuju arah taman Vanda. Puluhan polisi bersenjata tampak berbaris rapi di persimpangan jalan sana. Mulai dari yang membawa laras panjang serta perisai tameng, hingga yang sekadar pasang badan walau kosong tangan.

Di balik barisan rapi itu, puluhan warga asal Papua menyuarakan aspirai sembari menantang hujan. Berbekal kolaborasi antar tiga organisasi –Ikatan Mahasiswa Papua (Imasepa), Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) dan Front Rakyat Indonesia untuk West Papua (FRI-WP)—mereka angkat suara soal “Berikan Hak Menentukan Nasib Sendiri untuk Mengakhiri Rasisme dan Penjajahan di West Papua.” Uniknya, tanpa (atau minim akan) pakaian. Koteka, katanya. Lalu, mereka kompak berteriak, “Free West Papua!”Terdengar jelas meski kami berada di seberang jalan. Mereka ulang sekian kali sambil memperlihatkan coret wajah bercorak bintang kejora –simbol gerakan sparatis dari ujung pulau sana.

Ternyata, “perjuangan” minta referendum tidak berakhir sampai di situ. Usai menunggu hujan reda, kami menyusuri Jl. Braga, menuju arah alun-alun kota. Dan tepat di perempatan Jl. Asia Afrika, di samping Gedung Merdeka, tanpa disengaja kami berjumpa lagi dengan kawanan yang menggelar aksi. Rupanya, mereka berjalan dari Jl. Merdeka mengarah Kodam III Siliwangi, hendak menyampaikan aspirasi. Namun, polisi memblokir akses menuju markas TNI tersebut. Salah seorang orator, Fernando Billy sempat bernegosiasi, akan tetapi keputusan aparat setempat tetap tak berganti.

Kombespol Imam Sugema menuturkan, Kapolrestabes Bandung tidak mengizinkan massa menggelar aksi di depan Markas Kodam III Siliwagi, dengan dasar Peraturan Kapolri Nomor 7 Tahun 2012 tentang penyampaian suara di muka umum. Di sana termaktub sebuah larangan diadakannya demontrasi di depan instansi militer. “Aksi penyampaian aspirasi hanya boleh dilakukan maksimal 500 meter dari Kodam. Kita hanya coba menaati aturan itu,” ungkapnya.

Dikutip dari jabar.idntimes.com (27/08/2019), Billy mengaku kecewa. Dia menuturkan, “Jika polisi memberi batas 500 meter, maka kami pun menuntut agar tak ada polisi yang memasuki wilayah asrama kami dengan rasio 500 meter.” Dia juga menambahkan, “Kami tidak perlu silaturahmi. Kami menolak siapa pun yang ingin datang ke asrama kami, termasuk para jurnalis.”

Terlepas dari semua itu, demo tersebut tampak damai. Tidak ada kericuhan apalagi tindak kekerasan. Seseorang di antara mereka berorasi, sementara lainnya terduduk mengitari. Di sekelilingnya puluhan polisi –termasuk polwan di barisan terdepan—turut mengawasi.

Sayangnya, aksi yang sempat berdiam diri di samping pusat perbelanjaan BIP serta jalanan protokol ini menuai kemacetan. Senada dengan itu, Kapendam III Siliwangi, Kolonel Inf FX Wellyanto dalam siaran persnya menuturkan, “Aksi ini mengakibatkan kemacetan yang parah di seputaran Jl. Merdeka dan mengganggu aktivitas pengguna jalan baik yang mengarah menujukantor Pemkot Bandung maupun Kodam III Siliwangi.”

Usut punya usut, demonstrasi minta referendum semacam ini tidak hanya terjadi di ibu kota Jawa Barat. Esoknya, Ikatan Mahasiswa Papua (IPM) mengadakan demontrasi serupa di depan kantor DPRD Sumut, Medan.  Di hari itu pula puluhan mahasiswa asal Papua menggelar aksi di depan Mabes TNI AD, Jakarta. Masih pada hari yang sama, sebuah aksi berujung ricuh terjadi di bumi Papua sendiri, tepatnya di halaman kantor Bupati Deiyai. Dan masih banyak lagi aksi yang terjadi di sana.

Lalu, pada 30 Agustus, sejumlah mahasiswa Yogyakarta asal Papua menggelar aksi di titik nol kilomater, Jl. Malioboro, guna meminta referendum. Bahkan, di kota priangan sendiri, Bandung, belum genap satu minggu setelahnya, pada tanggal 2 September, aksi serupa terjadi di depan Gedung Sate. Dan persis di tempat yang sama, pada tanggal 19 Agustus lalu, Imasepa telah melakukan aksi senada.

Ada apa dengan Irian Jaya? Pertanyaan itu terlontar dari lisan seorang “tamu” yang sedang kami ajak jalan melihat-lihat Kota Kembang kala itu. Juga, mungkin, dari penduduk bumi priangan lain yang belum membaca wartanya.

Pasalnya, berbagai polemik Papua atau Irian (singkatan dari Ikut Republik Indonesia Anti Netherland, menurut buku PEPERA 1969, hal. 107-108) ini mengerucut pada peristiwa yang terjadi di Surabaya. Ada asap ada api. Pada pertengahan bulan Agustus, menjelang hari kemerdakaan Indonesia, sejumlah ormas –seperti Patriot Muda, Benteng NKRI, dan Pemuda Pancasila—berusaha memasang bendera merah-putih di depan asrama mahasiswa asal Papua. Namun, usaha tersebut disertai lontaran hate speech dan aksi merusak pagar. Timbullah pertikaian. Guna melerainya, sejumlah aparat datang dan mengamankan penghuni asrama. Sayangnya, saat itu beberapa penghuni malah memprovokasi referendum bagi bumi Papua. Hal ini menyulut reaksi sebagian aparat hingga melontarkan ucapan yang menyinggung pihak terkait. Berangkat dari sini, aksi tuntut referendum menjamur di beberapa kota besar Indonedia.

Fenomena ini bagai api padam puntung berasap. Luka lama yang sengaja dibuka. Banyak hipotesa tentang hidden agenda dan dalang di baliknya. Entah itu pihak yang mendamba keretakan NKRI. Atau, mereka yang merasa terancam dengan pengambilalihan 51% saham freeport. Atau bisa jadi, sekadar pengalihan isu.

Quo vadis Papua? Semoga dia tidak di-Timor Leste-kan.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *