Lebanon, Unjuk Rasa di Negara dengan Rasio Hutang Tertinggi Ketiga

Oleh: S. A. Dzakiyyunnisa

Jumat, 25 Oktober 2019, terhitung sudah delapan hari demonstran tumpah ruah di jalanan. Jumlahnya mencapai ratusan ribu—semakin bertambah seiring bergulirnya hari, memadati jalanan ibu kota negara, Beirut. Demonstran yang berasal dari berbagai latar belakang itu meneriakan satu suara, “Revolusi! Revolusi! Revolusi!”. Kiranya begitulah yang terjadi di negara Timur Tengah terkecil kedua, Lebanon.

Pasalnya, unjuk rasa terbesar pasca kemerdekaan ini dipicu oleh buruknya kondisi ekonomi di negara wilayah pesisir laut Mediterania, Lebanon. Dikutip melalui bbc.com, lembagai Standard & Poor’s menempatkan Lebanon pada posisi negara dengan hutang rasio tertinggi ketiga di dunia. Hutangnya mencapai US$86 miliar, 150% dari PDB nasional. Selain itu, sejak Maret silam, rating kredit ekonominya pun turun, dari status stabil ke negatif (tradingeconomics.com/lebanon/rating, diakses, 25 Oktober 2019).

Seiringan dengan itu, pada hari Kamis, 17 Oktober 2019, pemerintah mengumumkan rencana pengenaan pajak terhadap panggilan telepon demi meningkatkan pendapatan negara. Hal ini mengingat krisis ekonomi yang sedang menimpa tetangga bumi Suriah, Lebanon. Pengenaan pajak ini berlaku pada jenis panggilan telepon yang menggunakan fasilitas Voice Over Internet Protocol (VOIP), seperti Whatsapp, Facebook, Skype, dan lain semacamnya.

Selain itu, krisis ekonomi yang terjadi pun berakibat buruk pada beberapa sektor. Seperti, seringnya terjadi pemadaman listrik bergilir. Ditutupnya beberapa instansi. Hingga meminimalisir jumlah tukar mata uang lokal dengan US dolar. Menyikapi hal tersebut, warga tidak terima dan marah. Mereka pun turun ke jalanan untuk menyuarakan aspirasinya. Alhasil, terciptalah unjuk rasa yang tidak dikepalai oleh afiliasi tertentu selama berhari-hari.

Meski di tengah perjalanan usulan pajak ini akhirnya ditarik kembali, masa tetap memadati jalanan untuk mengutarakan aspirasi. Pada mulanya menuntut perbaikan ekonomi dan penarikan usulan pajak aplikasi pesan, hari ini melebar pada reformasi sistem pemerintahan.

“Kami di sini bukan lantaran soal Whatsapp. Kami protes karena segala hal: bahan bakar, makanan, roti, semuanya.” Komentar Abdullah, salah seorang demostran. “Kami membutuhkan sistem pemerintahan yang benar-benar baru, dari awal.” Tanggap demonstran lainnya, Omar Kammoureh.

Menariknya, ratusan ribu demonstran yang turun ke jalanan ini berasal dari berbagai lapisan masyarakat. Tidak pandang bulu, tidak pandang aliansi dan afiliasi. Begitupula perbedaan sekte dan agama, semua dikesampingkan. Padahal, menurut catatan sejarahnya, Lebanon terkenal dengan politik sektarian, di mana kepentingan politik berjalan beriringan dengan identitas agama dan ajaran sekte.

Artinya, klaim politik sektarian itu berhasil dipatahkan. Atas nama “Warga Lebanon”, mereka berkumpul untuk masa depan bangsanya yang lebih baik. Bersatu atas slogan perjuangan yang sama. Menyanyikan lagu nasional secara serempak. Mengibarkan kain merah-putih-merah dengan hijau pohon Ceddar di tengahnya, bendera Lebanon. Pemandangan yang langka di bumi konsumen rokok terbanyak ketiga di dunia.

“Hari ini yang terpenting adalah seluruh warga Lebanon protes bersama.” Komentar Yara, salah satu pengunjuk rasa. “Saya akan terus memprotes karena saya ingin masa depan di negara ini dan saya ingin hidup yang bermartabat,” tambah Mustafa, pengunjuk rasa lainnya yang sejak tanggal 19 Oktober lalu turun di jalan.

“Para politisi mengira kami saling membenci, padahal tidak. Saya dari sekte tertentu. Teman saya berasal dari sekte lainnya. Tapi kita semua di sini bersama untuk masa depan kita dan masa depan anak-anak kita. Kami tidak ingin hidup seperti orang tua kami.” Ujar Fatima Hammoud, salah satu demonstran. “Kita semua orang Lebanon. Di jalan-jalan, kita bukan Syiah atau Sunni atau Kristen. Kami adalah warga negara.” Timpal Hammoud, demonstran lainnya.

Terkait aksi unjuk rasa ini, Presiden Lebanon, Michel Aoun pun angkat suara, “Saya siap menemui perwakilan demonstran, membawa kekhawatiran dan spesifikasi tuntutan kalian.” Dikutip melalui Reuters pada 24 Oktober lalu.

Sayangnya, unjuk rasa yang dimulai sejak satu pekan lalu gagal direda melalui jalur dialog dan negosiasi. “Tidak ada negosiasi atas nama gerakan di jalanan. Mereka harus  memenuhi  tuntutan publik dan tuntutan utamanya adalah pemerintah mundur,” ungkap salah seorang demonstran, Basir Saleh. Karenanya, baik dari pihak pemerintah maupun pengunjuk rasa, keduanya berada dalam jalan buntu. Perihal yang disengketakan masih mengambang. Belum ada solusi jitu (win-win solution) sebagai akhir dari polemik.

Sebagai upaya meredakan protes Perdana menteri, Saad Hariri, mengumumkan beberapa poin reformasi kebijakan ekonomi. Di antaranya, mengurangi separuh gaji anggota Parlemen saat ini. Juga mengharuskan bank untuk memberikan $3,4 miliar sebagai kontribusi dalam menulanasi hutang nasional. Terakhir, usulan pajak WhatsApp pun dianulir.

Bak air susu dibalas air tuba, nampaknya respon masyarakat tidak sesuai apa yang diduga. “Ini murni sebuah ejekan” ujar salah seorang demonstran, dikutip dari newyorktimes.com. “Ini bukan tentang memotong biaya di sana-sini. Orang-orang sekarang menuntut perubahan besar.” kata Nasser Yassin, Direktur sementara The Issam Fares Institute for Public Policy and International Affairs, American University of Beirut.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *