Esai, Opini  

Potensi Pletora Diaspora

Menkeu Sri Mulyani (tengah) bersama Wakil Presiden ADB Bambang Susantono (kedua kanan), CEO Credit Suisse Asia Pacific Helman Sitohang (kiri), Peneliti Lee Kuan Yew School Mulya Amri (kedua kiri), Managing Director of Chevron IndoAsia Business Unit Chuck Taylor (kanan) saling berbincang usai memberi paparan dalam Kongres Diaspora Indonesia ke-4 di Jakarta, Sabtu (1/7). Diskusi tersebut membahas tentang perekonomian Indonesia, berbagai tantangan dan kesempatan. ANTARA FOTO/Rosa Panggabean/Spt/17.

Oleh: Fakhri Abdul Gaffar Ibrahim

Arus keluar masuknya penduduk baik itu dari kalangan intelektual, pedagang, maupun masyarakat umum berkaitan erat dengan dinamika transmisi ilmu pengetahuan dan kemakmuran. Dalam hal ini,  kontribusi positif dari migrasi berkeahlian/ terampil bagi negara asal terjadi dalam berbagai macam bentuk, antara lain transfer keterampilan dan pengetahuan melalui jaringan diaspora, investasi bisnis, dan kewirausahaan.

Secara historis, diaspora pada awalnya hanya merujuk pada orang-orang Yahudi yang terusir dari negara asalnya (Wahlbeck, 2002). Namun seiring berkembangnya zaman, diaspora tidak lagi sekedar menunjuk pada hal tersebut, tapi juga dapat menunjuk pada hal-hal serupa namun lebih umum. Sepanjang pencarian penulis mengenai pengertian diaspora, penulis menyimpulkan ada tiga kata kunci yang dapat kita jadikan patokan untuk term ini,  yaitu : Perpindahan terpaksa, permukiman di beberapa lokasi, dan tanah leluhur mereka. Namun ketiga kata kunci tersebut, penulis rasa kurang dapat mewakili pengertian diaspora dewasa ini. Karena kita lihat, salah satu kata kunci yang berkaitan erat dengan diaspora adalah perpindahan terpaksa.  Namun pada kenyataanya, diaspora bukan saja dilakukan pada asas keterpaksaan, namun juga pada asas kerelaan. Dan diaspora seakan-akan sudah menjadi suatu kebutuhan bagi masyarakat dunia : karena dengan diaspora, seseorang (atau negara) mendapatkan beberapa manfaat, seperti halnya pekerjaan dan ilmu penghetahuan.

Kita telah menyapakati bahwa banyak negara di dunia telah menyadari manfaat dari diaspora ini. Karena diaspora dapat meningkatkan sisi fundamental suatu negara. Dan Indonesia pun termasuk salah satu negara yang menyadari hal ini. Menurut Ebed Litaay, Presiden Indonesian Diaspora Network [IDN] Global 2015-2017, saat ini ada sekitar 8 juta warga diaspora Indonesia yang tersebar di berbagai negara. “Ada 6 juta diaspora WNI dan kira-kira 2 juta WNA diaspora”. Meski pun angka tersebut terlihat cukup besar, namun jika dibandingkan dengan negara lain, seperti India, angka tersebut belum pantas untuk dikatakan “besar”.  Karena secara data, diaspora India telah menyentuh angka 17 juta.  Sisi lain yang perlu dikritisi dari diaspora di negara kita, yaitu kontribusi diaspora yang masih sebatas remitansi. Sementara sumbangan investasi dan sumber daya finansial, teknis dan profesinalisme kita masih jauh di bawah negara-negara lain, seperti Cina dan India. Lalu bagaimana kita sebagai mahasiswa diaspora memandang itu? Apakah kita dapat memberikan solusi untuk negara kita agar tidak mentok pada “sebatas remitansi” itu?

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, pertama-tama kita harus menghetahui “Alur” atau “Jalan” yang menyebabkan diaspora itu terjadi. Dalam hal ini, penulis rasa proses kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) dan derasnya arus globalisasi dua abad terakhir ini menjadi katalisator berkembangnya diaspora. Globalisasi membuka akses sarana-prasarana transportasi yang seluas-luasnya, sehingga memudahkan penduduk untuk pergi wilayah yang lebih jauh dari sebelumnya dengan biaya yang terjangkau. Revolusi teknologi dan transportasi tersebut telah menurunkan biaya migrasi secara signifikan sehingga mempermudah dan mempercepat migrasi penduduk hingga wilayah yang jauh (Castells, 1996 dalam Czaika dan de Haas, 2014).

Salah satu hasil proses globalisasi adalah peningkatan interkoneksi diaspora. Mereka dengan mudah dihubungkan dengan jaringan informasi dan komunikasi untuk saling mengenal dan kemudian membentuk komunitas-komunitas yang cakupan geografisnya semakin meluas yang pada akhirnya berupaya untuk memperkuat eksistensi diaspora. Eksistensi lain dari diaspora adalah terkait dengan peran mereka dalam mewujudkan sebuah simbiosis yang menguntungkan bagi negara tujuan maupun negara asal. Beberapa contoh negara yang dinilai berhasil memetik keuntungan dari keberadaan diaspora adalah Cina, India, dan Filipina.

Sebagai contoh, diaspora Cina yang berpendidikan tinggi dan terampil telah mendatangkan keuntungan bagi negara asal di bidang investasi. Diaspora Cina terbentuk karena aliran emigran melalui kebijakan pengiriman mahasiswa untuk melanjutkan pendidikan dan peneliti ke negara-negara maju untuk memperdalam teknologi maju. Seperti Cina, India juga merupakan negara yang sudah memperoleh banyak keuntungan dari migrasi terampil/ berkeahlian melalui jaringan diaspora maupun migran kembali. Migrasi bangsa India berpendidikan tinggi dan terampil telah terjadi sejak pertengahan tahun 1960-an.

Keadaan sekarangan menunjukan bahwa diaspora India dan Cina telah berkontribusi terhadap negara asalnya dalam bentuk sumber keahlian dalam hal ketrampilan, teknologi, pasar, sumber kapital, dan sebagai meningkatkan ketrampilan bahasa, pengetahuan, budaya. Selain itu, mereka juga berperan sebagai contact person untuk membangun hubungan bisnis atau kerjasama di bidang lainnya.

Sebenarnya, diaspora Indonesia, terkhusus pelajar, mempunyai andil besar untuk mengembangkan sisi fundamental Indonesia seperti yang sudah penulis katakan di atas tadi. Sebut saja Indische Vereeniging dengan tiga tokoh terkenalnya Suwardi Suryaningrat, Douwes Dekker, dan Tjipto Mangunkusumo yang  membawa “penghetahuan” yang mereka dapatkan dari negara lain, ke dalam Indonesia, dan kemudian berguna bagi pengembangan perpolitikan Indonesia pada awal-awal kemerdekaan.

Begitu pula mahasiswa di Kairo (Mesir), sejak tahun 1925 telah melakukan upaya-upaya perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia dengan cara mereka sendiri. Di antara upaya tersebut adalah membuat Badan Persaudaraan Pelajar Nusantara Al-Azhar Kairo (al-Jam’iyyah al-Khairiyyah li al-Thalabah al-Azhariyyah al-Jâwiyyah) yang saling memupuk rasa kebangsaan dan kemerdekaan antar sesama mereka. Para santri cum mahasiswa Nusantara di Kairo itu memiliki jaringan dan hubungan yang sangat kuat dengan para aristokrat Mesir, aktivis Arab, dan juga media-media terkemuka di Kairo, utamanya surat kabar. Yang nantinya punya peran penting saat dalam memuluskan lawatan diplomasi Agus Salim tahun 1947 dan menjadikan Mesir menjadi salah satu Negara yang mengakui kemerdekaan Indonesia. Di generasi selanjutnya ada B.J Habibie yang punya andil besar dari perkembangan teknologi Indonesia terutama dirgantara. Dalam bidang ekonomi ada mafia Berkeley yang digawangi oleh Widjojo Nitisastro dkk, sebutan ini ditujukan untuk ekonom-ekonom Indonesia jebolan University of California Barkeley. Pengaruhnya kental mewarnai arah kebijakan ekonomi era orde baru.

Lalu kembali kepada pertanyaan awal penulis tadi, Apakah kita dapat memberikan solusi untuk negara kita agar tidak mentok pada “sebatas remitansi” itu? Setelah kita mengetahui, bahwa banyak masyarakat kita yang melakukan diaspora, yang kemudian dapat mengembangkan negara kita. Setidaknya ada empat hal yang penulis ambil untuk menjawab pertannyaan di atas.

Keempat hal itu antara lain, kompetensi di bidang tertentu, kemampuan komunikasi internasional, membawa jaringan yang luas, dan membawa modal kerja. Hal tersebut, menurut dia, sangat berguna untuk membangun negeri di masa mendatang. Maka sebuah kerugian apabila seorang mahasiswa diaspora tak mampu mewujudkan hal itu. Apalagi jika hanya bersosialiasi dalam lingkup komunitas internal diaspora, bagaikan ayam yang mati di lumbung padi. Tidak mampu melihat permasalahan di tanah air dan korelasinya dengan kondisi geopolitik internasional. Lalu apa bedanya mendapatkan gelar di negeri orang? itu sama saja kita menyelesaikan kuliah di negeri sendiri.

Apabila kita sebagai pelajar Indonesia di Mesir dapat merealisasikan empat poin ini. Tak hanya ilmu yang kita serap dari tanah kinanah ini, namun benua Afrika pun bisa menjadi sasaran empuk pasar Indonesia. Bukan hanya sektor industri makanan saja yang dapat kita geluti, lebih dari itu manufaktur dan produk lain Indonesia bisa kita sebarkan dengan luasnya jaringan yang seharusnya kita miliki.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *