Hello Caron Cafe.
Malam itu di tempat yang sama, aku melihat kondisi kafe yang temaram sambil menikmati es krim yang sudah setengah mencair di tanganku. Di sudut kanan cafe, ada dua kursi berhadapan dengan jendela menembus jalan di sebelahnya. Entah siapa yang akan duduk di kursi satunya, tapi kursi yang satu sudah terisi oleh seorang Puan berkemeja putih dengan setangkai mawar layu di tangannya.
Ini bukan yang pertama kalinya aku melihat si Puan. Duduk berjam-jam tanpa siapa pun yang datang untuk ia persilahkan. Awalnya kupikir tidak ada yang salah. Tapi tidak setelah aku menyaksikan ia mengacaukan suasana cafe malam itu.
“Sudah berapa kali aku bilang, ia tak suka kopi yang kau suguhkan. Ia hanya suka kopi yang aku buatkan, jadi jangan pernah sesekali kau tawarkan,” bentaknya pada pelayan sembari menjatuhkan kopi pelanggan di sampingku yang sedang berada di toilet.
Sontak seisi kafe beralih pandangan, menatap fokus pada si Puan. Namun tak seorang pun mendekat, bahkan si pelayan pun lari ketakutan.
“Entah kafe apa ini? Ada perempuan gila seakan baru saja ditinggal mati kekasihnya. Untung kemeja putihku hanya kecipratan sedikit saja,” keluhku pada suasana.
“Kamu tahu tidak Mas. Perempuan itu tiga bulan belakangan ini tak pernah absen duduk berjam-jam disana. Tak ada yang berani mengusirnya atau melarangnya masuk, bahkan si pemilik kafe pun tak ada keberanian,” Jelas seorang pelayan kedua yang datang membersihkan tumpahan.
Entah apa niatku hingga bertanya balik pada si pelayan, “Ha? Maksudnya gimana, Mas? Memangnya perempuan itu siapa?” Tanyaku seolah ingin lebih tahu tentang si Puan.
“Jadi gini, Mas…”
“Tiga bulan yg lalu, tepatnya di tanggal yang sama, 13 Maret. Sore itu, sepasang kekasih dengan baju yang senada dan setangkai mawar ditangan wanitanya. Mereka masuk lalu duduk berhadapan di sebuah meja yang kini Puan itu duduki. Saling menatap, sesekali tawa ditaburi bahagia.”
Entah sudah berapa jam, hingga langit pun menyuguhkan bulan. Lelaki itu berdiri, berpamitan pada si Puan. Terdengar pembicaraan, si Puan hendak sekali dibelikan secorong es krim di seberang jalan. Ia pun pergi, harap secepatnya kembali. Tapi apalah daya, manusia bukanlah Tuhan yang punya nota batas kehidupan.
Si lelaki tertabrak, darah berubah jadi pewarna untuk kemeja putihnya. Hal itu tak langsung disadari si Puan. Sebab ia bilang lelaki itu ada di hadapannya dengan secorong es krim di tangannya.
“Lalu, sampai detik ini ia tidak tahu bahwa si Lelaki sudah tidak ada?” Tanyaku lagi didesak penasaran.
“Tahu. Tapi, setiap tanggal 13 ia akan menjadi sosok di 13 Maret itu,” jelasnya padaku.
Aku tak habis pikir dengan alur ini. Aku kira ini hanya sepotong kisah dari buku yang pelayan itu baca. Tapi setelah raut wajah tak percayaku ia lihat, ia menyarankanku untuk membuka laman berita di tanggal 13 Maret itu.
Air mataku tumpah seusai laman berita 13 Maret kubaca. Terlebih si Puan kini melambai lalu tersenyum mempersilahkanku dari kejauhan. Dan kupastikan sekali lagi, ternyata akulah si Lelaki 13 Maret itu.
Oleh: Maulidya Harahap
(Penulis adalah kru sastra Website Manggala 2023/2024)